JAKARTA (voa-isla.com) - Berbicara tentang skandal BLBI kita harus melihat secara komperhensif agar fair. Yaitu mulai dari awal terjadinya krisis moneter thn 97.Dari situ kita akan melihat betapa bangsa ini telah dirampok secara licik dan habis2an baik oleh asing maupun oleh anak2 bangsa sendiri.
Skandal BLBI adalah perampokan terbesar sejak republik ini berdiri. Bahkan hingga saat ini rakyat masih harus membayar cicilannya.Menurut @RamliRizal kita masih harus membayar cicilan sebesar 60T/tahun hingga 20 tahun kedepan akibat perampokan besar2an ini
Jadi masalah BLBI dan segala penyelewengan atasnya masih sangat relevan utk diusut. Sebab hingga saat ini kita masih dibebani cicilannya., Kejahatan seputar BLBI ini sesungguhnya sangat rumit dan canggih, tapi bisa disederhanakan kira2 seperti ini:Saat krisis moneter melanda negeri ini, pemerintah memutuskan menyelamatkan bank-bank agar tidak berguguran.
Pada kenyataannya bank-bank yang diselamatkan dgn guyuran dana besar2an ini tidak hanya bermasalah karena krismon saja. Tetapi juga sejak awal sudah bermasalah karena kenakalan pemiliknya. Jadi mereka justru mengambil manfaat dari krismon itu sendiri. Tidak cukup sampai disitu, kucuran dana uang rakyat ternyata diselewengkan oleh bank2 tersbut utk keperluan lain diluar penanganan krisis.
Masih belum puas merampok uang rakyat, setelah menyelewengkan dana BLBI mereka berkelit tidak mau membayar kewajibannya. Sebagai gantinya para konglomerat ini menyerahkan aset yang nilainya jauh dibawah hutang mereka pada negara untuk dijual. Makin menjijikkan ulah mereka ketika aset2 tersebut ternyata akhirnya mereka beli sendiri melalui anak2 perusahaan mereka di luar negeri.
Dan harga belinya pun jauh dibawah harga pasar. Contohnya yg terjadi pada BCA, dimana dijual dgn harga obral dgn nilai total hanya 10T. Padahal saat itu BCA punya tagihan kpd Pemerintah sebesar Rp. 60 T, dan ketika BCA dijual sudah punya laba ditahan sebesar Rp. 4 triliun. Bagaimana semua kekonyolan itu bisa terjadi? Jawabnya adalah karena terjadi perselingkuhan dan pengkhianatan dari berbagai pihak. Mulai dari para konglomerat nakal, Pemerintah, DPR, Kejaksaan, IMF, BI, dll. Mereka bersatu menelikung bangsanya sendiri.
Lalu seberapa besar kerugian negara atas pengkhianatan ini? Bandingkan saja kerugian akibat Century 6,7 T sementara BLBI 600 T lebih! Lalu siapa yang harus disalahkan dan dimintai pertanggungan jawab? Untuk itu kita harus mengulang kembali kronologinynya sejak awal. Berikut adalah poin-poin penting kronologis terciptanya skandal BLBI tersebut.
1 September 1997, BI menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai bebrp bank besar yg mengalami. Kalah kliring dan rugi dlm transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan. 3 September 1997, Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha.
Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 1 November 1997, 16 bank dilikuidasi.
Terjadilah rush besar-besaran akibat kepanikan luar biasa 27 Desember 1997, Presiden menyetujui saran direksi BI utk mengganti saldo debit bank dgn SBPU agar tidak banyak bank yg tutup. Mei 1998, BLBI yg dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 T, dana penjaminan antarbank Rp 54 T, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 T.
Penerima terbesar hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 T, BCA Rp 26,596 T, Bank Danamon Rp 23,046 T, dan BUN Rp 12,067 T. 4 Juni 1998, Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt.
Ini merupakan syarat agar L/C yg diterbitkan bank dlm negeri bs diterima di dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI 18 T. 21 Agustus 1998, Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
Tenggat berlalu begitu saja. Para konglomerat tdk menggubris ancaman pemerintah. Jangankan pidana, sanksi administratif pun tak terdengar. 26 September 1998, Pemerintah mengalah. Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun. 27 September 1998, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita meralat dari 5 tahun menjadi setahun. Pelunasan BLBI harus tunai dalam tempo setahun.
18 Oktober 1998, IMF mulai ikut campur. Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Meminta pelunasan kembali menjadi lima tahun. 10 November 1998, Akhirnya pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun.
8 Januari 1999, Pemerintah terbitkan surat utang Rp 64,5 triliun sbg tambahan dana yg dikeluarkan BI atas tagihan bank yg dialihkan ke BPPN. 6 Februari 1999, BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kpd pemerintah senilai Rp 144,53 triliun.
Dengan ini maka resmi beban yang harusnya ditanggung para konglomerat nakal tersebut dialihkan menjadi beban rakyat Indonesia. 9 Februari 1999, Ketua BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
1 September-7 Desember 1999, BPK mengaudit neraca BI dan menemukan bahwa jumlah BLBI yg dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, Sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat dipertangggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI.
26 Oktober 2000, Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI. 3 Januari 2001, 2 Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke penyidikan krn penyalahgunaan dana BLBI. 10 Maret 2001, Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.
22 Maret 2001, Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI. 9 April 2001, Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal Kejaksaan Agung.
29 Maret 2001, Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri (Jusup Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono). 30 April 2001, Kejagung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI.
Abimantrono anwar/dbs/voa-islam.com - See more at: http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2015/02/28/35927/perampokan-besarbesaran-terhadap-negara-mega-skandal-blbi-rp-650-triliun/
No comments:
Post a Comment