Oleh: Robert Strong
Obsesi saya selama 16 tahun terakhir adalah menemukan pihak yang menjadi dalang kerusuhan Mei 1998 sebab siapapun pihak yang berada di belakang serangkaian peristiwa di bulan-bulan terakhir Orde Baru yang berujung pada kerusuhan Mei 1998 itu sungguh sangat keji dan tidak berprikemanusiaan, membunuh ribuan manusia tidak berdosa hanya sekedar untuk menjatuhkan seorang presiden yang satu-satu kesalahan paling besar adalah berkuasa terlalu lama.
Sebagaimana kebanyakan rakyat Indonesia maka saya juga menghubungkan Kerusuhan Mei 1998 dengan persaingan antara dua jenderal yaitu Wiranto dan Prabowo. Semua bukti yang dipaparkan media massa selama ini memang mengerucut pada dua nama tersebut, masing-masing melakukan berbagai tindakan yang dapat diartikan sebagai usaha untuk mendukung Kerusuhan Mei 1998, seperti kepergian Wiranto ke Malang pada hari kerusuhan dengan membawa seluruh panglima angkatan perang; atau bercandaan Prabowo kepada Lee Kuan Yew menjelang Pemilu 1997 bahwa dia mungkin akan memberontak.
Namun demikian, hasil penelitian saya selama 16 tahun justru menemukan fakta yang berbeda, bahwa dalang sesungguhnya dari Kerusuhan Mei 1998 bukan Wiranto maupun Prabowo, melainkan para barisan sakit hati orde baru, dan berikut ini adalah hasil penelusuran saya tersebut.
Yang harus kita telusuri pertama kali adalah motivasi Kerusuhan Mei 1998, dan berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 ditemukan fakta bahwa pelaku utama kerusuhan adalah bukan rakyat setempat, melainkan orang-orang berbadan tegap berambut cepak yang secara terkoordinir memprovokasi rakyat dan menyiram gedung-gedung dengan bensin yang sudah mereka bawa kemudian membakar. Setelah rakyat terprovokasi orang-orang ini kemudian menghilang.
Semua petunjuk menunjukan bahwa provokator di lapangan adalah militer, namun pertanyaannya militer di bawah komando siapa? Ini adalah pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah terungkap, akan tetapi dari keahlian para provokator itu dapat dipastikan mereka adalah intelijen dan bukan orang lapangan.
Akhirnya selama bertahun-tahun saya hanya bisa menduga-duga pelakunya antara Prabowo atau Wiranto, sampai suatu saat saya menemukan dua buku otobiografi yang melengkapi semua puzzle yang ada, yaitu buku Salim Said, dan Bill Tarrant, mantan kontributor asing the Jakarta Post, keduanya saya beli di Indonesia, yang pertama di Gramedia, yang kedua di Kinokuniya Plaza Senayan.
Banyak informasi penting dalam buku Salim Said, tapi yang paling penting adalah Benny Moerdani pernah mengatakan kepada dia dan angkatan 66 lain bahwa cara menjatuhkan Pak Harto adalah melalui berbagai kerusuhan untuk mendestabilisasi keadaan yang akan membuat kursi Pak Harto goyah dan saat itu Pak Harto akan mudah didongkel. Itu dia, ini jawabannya, dan semua masuk akal, siapa lagi yang bisa mengeksekusi pekerjaan intelijen serapi Kerusuhan Mei 1998 bila bukan raja intelijen, Benny Moerdani?
Jalinan cerita dari Salim Said tersebut kemudian menyambung dengan cerita Bill Tarrant bahwa The Jakarta Post yang tadinya diciptakan pendiri CSIS Jusuf Wanandi dan Ali Moertopo sebagai mesin propaganda Orde Baru ke dunia luar sejak tahun 1990 tiba-tiba ikut menyerang Orde Baru dengan isu HAM, demokrasi, bertepatan dengan tersingkirnya CSIS dari Orde Baru. Selain itu The Jakarta Post juga adalah kekuatan di belakang layar yang membangkitkan para LSM yang sudah menjelang mati suri untuk melawan Orde Baru, dan yang lebih penting lagi, The Jakarta Post adalah donatur utama dari gerakan mahasiswa 1997-1998, dan bahkan markas besar mahasiswa saat itu adalah kantor The Jakarta Post!
Siapa menyangka bahwa provokator Kerusuhan Mei 1998 adalah kantor redaksi salah satu koran yang paling dihormati di Indonesia? Tapi semua masuk akal sebab Benny Moerdani adalah bagian dari CSIS dan mewarisi jaringan opsus yang sudah dibangun oleh Ali Moertopo beserta strategi penggunaannya. Sedangkan CSIS maupun Benny Moerdani, sebagaimana ditulis Jusuf Wanandi dalam The Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru sangat dendam sebab Soeharto menyingkirkan mereka dan melupakan jasa Ali Moertopo maupun Hoemardani, patron CSIS.
Semua bertambah masuk akal bila kita mengingat strategi favorit Ali Moertopo dalam menjatuhkan lawan adalah mendestabilisasi keadaan. Dengan menggunakan cara ini dia berhasil memaksa Soekarno memberikan supersemar kepada Soeharto; dan dengan menempatkan kuda troya bernama Hariman Siregar, Ali Moertopo berhasil memancing mahasiswa Universitas Indonesia untuk terlibat dalam kerusuhan Malari yang pada akhirnya menjatuhkan saingan Ali Moertopo, Jenderal Soemitro. Adapun keterangan bahwa Hariman Siregar adalah anak buah Ali Moertopo dan mendapat posisi di senat Universitas Indonesia adalah keterangan Jenderal Soemitro di pembelaan dirinya mengenai Malari.
Semua bertambah masuk akal bila kita juga mengingat bahwa Benny Moerdani ada di belakang Megawati ketika kerusuhan 27 Juli 1996 pecah; dan menjelaskan mengapa jenderal-jenderal seperti Agum Gumelar; SBY; Sutiyoso; Hendropriyono berani bersekongkol dengan Megawati mencetuskan Kerusuhan 27 Juli 1996, sebab mereka mendapat dukungan dari Benny Moerdani.
Soeharto sendiri tampaknya sudah tahu bahwa Benny Moerdani ada di belakang kejatuhan dirinya, sebab sesaat setelah dia lengser keprabon, Soeharto segera merajut hubungan kembali dengan Benny, termasuk pertemuan bertiga antara dirinya, Gus Dur dan Benny di luar kota Jakarta.
Berdasarkan semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa CSIS dan Benny Moerdani adalah aktor utama Kerusuhan Mei 1998 dan bukan Wiranto maupun Prabowo.
Sumber: http://kabarnet.in/2014/05/18/inilah-dalang-kerusuhan-mei-1998/
Obsesi saya selama 16 tahun terakhir adalah menemukan pihak yang menjadi dalang kerusuhan Mei 1998 sebab siapapun pihak yang berada di belakang serangkaian peristiwa di bulan-bulan terakhir Orde Baru yang berujung pada kerusuhan Mei 1998 itu sungguh sangat keji dan tidak berprikemanusiaan, membunuh ribuan manusia tidak berdosa hanya sekedar untuk menjatuhkan seorang presiden yang satu-satu kesalahan paling besar adalah berkuasa terlalu lama.
Sebagaimana kebanyakan rakyat Indonesia maka saya juga menghubungkan Kerusuhan Mei 1998 dengan persaingan antara dua jenderal yaitu Wiranto dan Prabowo. Semua bukti yang dipaparkan media massa selama ini memang mengerucut pada dua nama tersebut, masing-masing melakukan berbagai tindakan yang dapat diartikan sebagai usaha untuk mendukung Kerusuhan Mei 1998, seperti kepergian Wiranto ke Malang pada hari kerusuhan dengan membawa seluruh panglima angkatan perang; atau bercandaan Prabowo kepada Lee Kuan Yew menjelang Pemilu 1997 bahwa dia mungkin akan memberontak.
Namun demikian, hasil penelitian saya selama 16 tahun justru menemukan fakta yang berbeda, bahwa dalang sesungguhnya dari Kerusuhan Mei 1998 bukan Wiranto maupun Prabowo, melainkan para barisan sakit hati orde baru, dan berikut ini adalah hasil penelusuran saya tersebut.
Yang harus kita telusuri pertama kali adalah motivasi Kerusuhan Mei 1998, dan berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 ditemukan fakta bahwa pelaku utama kerusuhan adalah bukan rakyat setempat, melainkan orang-orang berbadan tegap berambut cepak yang secara terkoordinir memprovokasi rakyat dan menyiram gedung-gedung dengan bensin yang sudah mereka bawa kemudian membakar. Setelah rakyat terprovokasi orang-orang ini kemudian menghilang.
Semua petunjuk menunjukan bahwa provokator di lapangan adalah militer, namun pertanyaannya militer di bawah komando siapa? Ini adalah pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah terungkap, akan tetapi dari keahlian para provokator itu dapat dipastikan mereka adalah intelijen dan bukan orang lapangan.
Akhirnya selama bertahun-tahun saya hanya bisa menduga-duga pelakunya antara Prabowo atau Wiranto, sampai suatu saat saya menemukan dua buku otobiografi yang melengkapi semua puzzle yang ada, yaitu buku Salim Said, dan Bill Tarrant, mantan kontributor asing the Jakarta Post, keduanya saya beli di Indonesia, yang pertama di Gramedia, yang kedua di Kinokuniya Plaza Senayan.
Banyak informasi penting dalam buku Salim Said, tapi yang paling penting adalah Benny Moerdani pernah mengatakan kepada dia dan angkatan 66 lain bahwa cara menjatuhkan Pak Harto adalah melalui berbagai kerusuhan untuk mendestabilisasi keadaan yang akan membuat kursi Pak Harto goyah dan saat itu Pak Harto akan mudah didongkel. Itu dia, ini jawabannya, dan semua masuk akal, siapa lagi yang bisa mengeksekusi pekerjaan intelijen serapi Kerusuhan Mei 1998 bila bukan raja intelijen, Benny Moerdani?
Jalinan cerita dari Salim Said tersebut kemudian menyambung dengan cerita Bill Tarrant bahwa The Jakarta Post yang tadinya diciptakan pendiri CSIS Jusuf Wanandi dan Ali Moertopo sebagai mesin propaganda Orde Baru ke dunia luar sejak tahun 1990 tiba-tiba ikut menyerang Orde Baru dengan isu HAM, demokrasi, bertepatan dengan tersingkirnya CSIS dari Orde Baru. Selain itu The Jakarta Post juga adalah kekuatan di belakang layar yang membangkitkan para LSM yang sudah menjelang mati suri untuk melawan Orde Baru, dan yang lebih penting lagi, The Jakarta Post adalah donatur utama dari gerakan mahasiswa 1997-1998, dan bahkan markas besar mahasiswa saat itu adalah kantor The Jakarta Post!
Siapa menyangka bahwa provokator Kerusuhan Mei 1998 adalah kantor redaksi salah satu koran yang paling dihormati di Indonesia? Tapi semua masuk akal sebab Benny Moerdani adalah bagian dari CSIS dan mewarisi jaringan opsus yang sudah dibangun oleh Ali Moertopo beserta strategi penggunaannya. Sedangkan CSIS maupun Benny Moerdani, sebagaimana ditulis Jusuf Wanandi dalam The Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru sangat dendam sebab Soeharto menyingkirkan mereka dan melupakan jasa Ali Moertopo maupun Hoemardani, patron CSIS.
Semua bertambah masuk akal bila kita mengingat strategi favorit Ali Moertopo dalam menjatuhkan lawan adalah mendestabilisasi keadaan. Dengan menggunakan cara ini dia berhasil memaksa Soekarno memberikan supersemar kepada Soeharto; dan dengan menempatkan kuda troya bernama Hariman Siregar, Ali Moertopo berhasil memancing mahasiswa Universitas Indonesia untuk terlibat dalam kerusuhan Malari yang pada akhirnya menjatuhkan saingan Ali Moertopo, Jenderal Soemitro. Adapun keterangan bahwa Hariman Siregar adalah anak buah Ali Moertopo dan mendapat posisi di senat Universitas Indonesia adalah keterangan Jenderal Soemitro di pembelaan dirinya mengenai Malari.
Semua bertambah masuk akal bila kita juga mengingat bahwa Benny Moerdani ada di belakang Megawati ketika kerusuhan 27 Juli 1996 pecah; dan menjelaskan mengapa jenderal-jenderal seperti Agum Gumelar; SBY; Sutiyoso; Hendropriyono berani bersekongkol dengan Megawati mencetuskan Kerusuhan 27 Juli 1996, sebab mereka mendapat dukungan dari Benny Moerdani.
Soeharto sendiri tampaknya sudah tahu bahwa Benny Moerdani ada di belakang kejatuhan dirinya, sebab sesaat setelah dia lengser keprabon, Soeharto segera merajut hubungan kembali dengan Benny, termasuk pertemuan bertiga antara dirinya, Gus Dur dan Benny di luar kota Jakarta.
Berdasarkan semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa CSIS dan Benny Moerdani adalah aktor utama Kerusuhan Mei 1998 dan bukan Wiranto maupun Prabowo.
Sumber: http://kabarnet.in/2014/05/18/inilah-dalang-kerusuhan-mei-1998/
No comments:
Post a Comment