”Apakah kita sampai hati menyatakan Mohamammad Natsir, Buya Hamka, dan banyak ulama serta pejuang Islam lain telah melakukan dosa syirik karena ikut Pemilu?“
Hidayatullah.com–Banyak kalangan muda dan orangtua Muslim bersemangat meneriakkan “Khilafah versus demokrasi”. Bagi mereka, berjuang dari dalam sistem demokrasi itu haram.
Menurut peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Dr Adian Husaini logika seperti itu, konsekuensinya, umat Islam diminta menyerahkan kekuasaan negara Indonesia kepada orang-orang non Muslim, sebab, orang-orang Muslim sudah difatwa haram masuk sistem.
“Mari kita sempatkan berpikir sejenak: apakah NKRI sekarang sama status “kafirnya” dengan negara AS, Rusia, dan negara Hindu Majapahit? Tidak adakah “sedikit saja” hasil perjuangan para ulama dan mujahidin yang mengorbankan jiwa, harta, dan pikiran mereka mengusir penjajah kafir?,” demikian kata Adian Husaini dalam tulisan di rubik kolom Majalah Suara Hidayatullah edisi 12 | XXVI | April 2014.
Menurut pria yang juga kolumnis rubrik Catatan Akhir Pekan [CAP] di hidayatullah.com ini, penduduk NKRI dulunya 100 persen Hindu-Budha dan animis. Setelah beratus tahun berproses dalam dakwah, negeri ini berubah menjadi negeri Muslim, dengan hampir 100 persen penduduknya beragama Islam.
“Apakah ini tidak ada artinya? Apakah negeri ini tetap dikatakan negara kafir yang wajib ditinggalkan oleh kaum Muslim?”
Selanjutnya, peraih doktor dari University Malaysia (ISTAC-IIUM) ini mengajak umat islam mengenali kata “adil” yang lazimnya diberi makna wadh’u syaiin ilaa mahallihi (meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuatu dengan ketentuan Allah).
Umat Islam perlu berlaku adil dalam soal khilafah. Artinya, khilafah perlu diletakkan pada tempatnya, sesuai dengan kedudukannya dalam konstruksi konsep-konsep Islam lainnya. Negara khilafah –dengan berbagai sebutan– memang pernah diwujudkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Khilafah dalam makna sebuah negara ideal dalam konsep Islam memang penting. Tapi, masalah terpenting bagi umat Islam adalah soal aqidah.
“Tanpa aqidah Islam, maka tidak ada Islam. Tanpa khilafah, Islam masih ada,” demikian tulisnya.
Dalam tulisannya ia sempat menyinggung perjuangan, Partai Islam Masjumi yang ikut Pemilu tahun 1955. Jika ijtihad Masyumi dinilai keliru, apakah pejuang Islam seperti M Natsir dan BUYA Hamka melakukan dosa syirik?
”Apakah kita sampai hati menyatakan Mohamammad Natsir, Buya Hamka, dan banyak ulama serta pejuang Islam lain telah melakukan dosa syirik karena ikut Pemilu?“
Menanggapi masalah Golput, Wakil Ketua PP Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini pun menyarankan untuk mempertimbangkan. Menurutnya, jika ada partai atau caleg yang secara tegas dan sungguh-sungguh memperjuangkan Islam; bukan berjuang untuk kebanggaan pribadi dan kelompoknya; maka sepatutnya dipertimbangkan untuk dipilih. Meskipun masih dalam sistem demokrasi.
“Andaikan dalam Pilpres mendatang muncul hanya dua nama capres resmi: KH Didin Hafidhuddin dan Ahok, maka bismillah, saya akan memilih KH Didin Hafidhuddin. Insya Allah saya tidak salah pilih!”.
"Andaikan yang muncul nama KH Didin Hafidhuddin & Ahok, maka bismillah, saya akan memilih KH Didin Hafidhuddin. Insya Allah saya tidak salah pilih!”. |
Menurut peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Dr Adian Husaini logika seperti itu, konsekuensinya, umat Islam diminta menyerahkan kekuasaan negara Indonesia kepada orang-orang non Muslim, sebab, orang-orang Muslim sudah difatwa haram masuk sistem.
“Mari kita sempatkan berpikir sejenak: apakah NKRI sekarang sama status “kafirnya” dengan negara AS, Rusia, dan negara Hindu Majapahit? Tidak adakah “sedikit saja” hasil perjuangan para ulama dan mujahidin yang mengorbankan jiwa, harta, dan pikiran mereka mengusir penjajah kafir?,” demikian kata Adian Husaini dalam tulisan di rubik kolom Majalah Suara Hidayatullah edisi 12 | XXVI | April 2014.
Menurut pria yang juga kolumnis rubrik Catatan Akhir Pekan [CAP] di hidayatullah.com ini, penduduk NKRI dulunya 100 persen Hindu-Budha dan animis. Setelah beratus tahun berproses dalam dakwah, negeri ini berubah menjadi negeri Muslim, dengan hampir 100 persen penduduknya beragama Islam.
“Apakah ini tidak ada artinya? Apakah negeri ini tetap dikatakan negara kafir yang wajib ditinggalkan oleh kaum Muslim?”
Selanjutnya, peraih doktor dari University Malaysia (ISTAC-IIUM) ini mengajak umat islam mengenali kata “adil” yang lazimnya diberi makna wadh’u syaiin ilaa mahallihi (meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuatu dengan ketentuan Allah).
Umat Islam perlu berlaku adil dalam soal khilafah. Artinya, khilafah perlu diletakkan pada tempatnya, sesuai dengan kedudukannya dalam konstruksi konsep-konsep Islam lainnya. Negara khilafah –dengan berbagai sebutan– memang pernah diwujudkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Khilafah dalam makna sebuah negara ideal dalam konsep Islam memang penting. Tapi, masalah terpenting bagi umat Islam adalah soal aqidah.
“Tanpa aqidah Islam, maka tidak ada Islam. Tanpa khilafah, Islam masih ada,” demikian tulisnya.
Dalam tulisannya ia sempat menyinggung perjuangan, Partai Islam Masjumi yang ikut Pemilu tahun 1955. Jika ijtihad Masyumi dinilai keliru, apakah pejuang Islam seperti M Natsir dan BUYA Hamka melakukan dosa syirik?
”Apakah kita sampai hati menyatakan Mohamammad Natsir, Buya Hamka, dan banyak ulama serta pejuang Islam lain telah melakukan dosa syirik karena ikut Pemilu?“
Menanggapi masalah Golput, Wakil Ketua PP Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini pun menyarankan untuk mempertimbangkan. Menurutnya, jika ada partai atau caleg yang secara tegas dan sungguh-sungguh memperjuangkan Islam; bukan berjuang untuk kebanggaan pribadi dan kelompoknya; maka sepatutnya dipertimbangkan untuk dipilih. Meskipun masih dalam sistem demokrasi.
“Andaikan dalam Pilpres mendatang muncul hanya dua nama capres resmi: KH Didin Hafidhuddin dan Ahok, maka bismillah, saya akan memilih KH Didin Hafidhuddin. Insya Allah saya tidak salah pilih!”.
PiLeg... NO!
PilPres (Pemimpin)... YES! (HARUS/WAJIB!!!)
No comments:
Post a Comment