Media banyak mempengaruhi persepsi remaja tentang gaya hidup. Media juga menggiring mereka dengan gaya hidup yang menyebabkan mudah stres.
Hidayatullah.com--Tahun 2009, fenomena bunuh diri –khususnya melompat dari gedung-gedung tinggi—tiba-tiba marak. Setidaknya ada lima kasus, terjadi di Jakarta dan Surabaya.
Secara bilangan memang ‘cuma’ lima, tapi karena menyangkut nyawa manusia, apalagi itu dilakukan dengan cara bunuh diri, maka fenomena itu sungguh sangat mengejutkan.
Pertanyaannya adalah mengapa mereka begitu mudah mengambil jalan pintas?
Menjawab pertanyaan itu, Hidayatullah.com mewawancarai Dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc, SpKJ, Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang juga seorang psikiater ini.
“Banyak remaja menjadi korban gaya hidup,” ujar lulusan Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini. Apa maksudnya? Simak wawancaranya.
Beberapa waktu lalu, selama dua pekan, ada lima kasus bunuh diri di Jakarta, belum di Surabaya dan beberapa kota lain. Ini fenomena apa?
Sebagian besar (95 persen) kasus bunuh diri dilakukan oleh orang yang mengalami “gangguan jiwa”. Saya rasa ini adalah masalah kesehatan jiwa.
Bukankah mereka orang-orang yang sehat?
Gangguan jiwa tidak hanya gila. Gangguan jiwa ditandai dengan adanya perubahan dalam pemikiran, perasaan atau perilaku seseorang. Orang sering berpendapat bahwa gangguan jiwa identik dengan gila. Padahal tidak. Istilah gila yang dipakai oleh masyarakat kita adalah merupakan gangguan jiwa berat (skizofrenia). Kasusnya hanya 1-3 persen dari populasi penduduk.
Memang ada berapa jenis gangguan jiwa yang dikenal di dunia?
Banyak. Ada gangguan jiwa berat atau biasa disebut dengan gangguan psikotik. Di mana seseorang terganggu daya nilainya terhadap realitas. Ini yang biasa disebut dengan gila. Bicara sendiri, senyum sendiri, marah-marah tanpa sebab, berperilaku aneh, mungkin karena adanya halusinasi.
Kedua, ganguan suasana perasaan (mood). Sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, tak bertenaga, nafsu makan turun, sulit tidur, sulit konsentrasi, pesimis, rendah diri sampai putus asa dan depresi.
Ketiga, gangguan kecemasan. Ditandai perasaan khawatir/cemas yang berlebihan, jantung berdebar-debar, keringat dingin, sulit tidur, gelisah, sulit untuk tenang, seringkali juga dengan keluhan fisik.
Keempat, gangguan mental organik, yaitu gangguan jiwa yang disebabkan oleh penyakit fisik, misalnya tumor otak, trauma kepala, gagal ginjal, dan lain-lain. Juga bisa disebabkan karena penyalahgunaan Napza. Masih ada banyak gangguan-gangguan jiwa lainnya. Yang jelas, gangguan jiwa tidak mesti harus gila.
Berarti banyak masyarakat kita mengalami gangguan jiwa?
Sebenarnya begitu. Tapi kalau pengertian gangguan jiwa disebut gila, wah, bisa ngamuk mereka. Jadi, harus dipahamkan bahwa gangguan jiwa tidak mesti gila. Dalam Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan tahun 2007, dibagi dalam dua istilah. Pertama, gangguan jiwa berat dan kedua, gangguan mental emosional. Gangguan mental emosional yang dipakai untuk mewadahi gangguan jiwa seperti depresi dan cemas. Angka gangguan jiwa berat berkisar 2 persen, sedangkan gangguan mental emosional sekitar 15 persen. Jadi lumayan tinggi.
Angka 15 persen sangat mengerikan. Jika jumlah penduduk Muslim 250 juta jiwa, maka 10 persen saja sudah 25 juta jiwa...
Ya. Makanya kesehatan jiwa sangat penting untuk diprioritaskan. Tidak ada kesehatan yang sesungguhnya tanpa kesehatan jiwa. Manusia adalah makhluk holistik, di mana terkandung unsur biologis, psikologis (jiwa), sosial, kultural dan spiritual. Jadi semua unsur akan saling mempengaruhi.
Kenapa banyak masyarakat mengalami gangguan jiwa?
Penyebab gangguan jiwa multifaktorial (banyak faktor). Di antaranya faktor genetik, faktor lingkungan (stresor), faktor kematangan kepribadian (ketahanan mental) seseorang. Makanya tidak semua orang yang menghadapi masalah yang sama, akan mengalami gangguan yang sama.
Tapi mengapa banyak kasus depresi dan bunuh diri menghinggapi kalangan remaja?
Zaman sekarang stresor psikososial makin banyak: persaingan hidup, kesulitan ekonomi, tuntutan kebutuhan yang makin meningkat dan konflik makin beragam. Umumnya, banyak kalangan remaja menjadi korban gaya hidup. Depresi karena faktor ini termasuk tinggi. Banyak remaja merasa rendah diri di kala semua temannya hidup wah, sementara kenyataannya mereka tidak mampu.
Menurut Anda, adakah sesuatu yang kurang pada mereka?
Pasti. Terutama masalah lingkungan dan keluarga. Bagaimanapun keluarga adalah tempat pertama dan paling utama bagi perkembangan kepribadian anak. Dari sana anak belajar melihat, mengamati, merasakan, dan mencontoh apa yang terjadi di sekitarnya. Jadi, sebenarnya jika di rumah hubungan keluarga berjalan baik, anak bisa belajar menanggulangi streor.
Hanya saja, kadangkala orangtua tanpa sengaja membuat anak-anak tumbuh menjadi dependent (tergantung). Misalnya orangtua yang over-protectiv, otoriter, mudah mendikte, menyebabkan anak-anak mereka tidak berani berpendapat dan berdialog. Juga orangtua yang menuntut anak-anak mereka harus berprestasi, suka membanding-bandingkan, suka mencelanya dan kurang memberi motivasi. Hal-hal seperti itu bisa membuat ia lebih mudah tertekan, kurang percaya diri, dan mudah depresi. Di situlah pentingnya kematangan kepribadian, dukungan positif orangtua, teman sebaya, guru, keluarga lain, dan orang-orang sekitarnya.
Selain kehangatan dalam keluarga, apa yang membuat anak agar dapat tumbuh tanpa masalah?
Pemahaman dan pengamalan agama. Dalam Islam, ada konsep sabar, ikhlas, ridha, dan ujian. Jika ia menghadapi sesuatu, ia akan ridha, karena ia menganggap sedang diuji. Karena itulah ia harus sabar. Seorang Mukmin dituntut harus tawakal, ikhlas, sabar dan syukur. Nah, soal hasil, apa pun itu urusan Allah.
Orang Mukmin diwajibkan ikhtiar, namun harus yakin bahwa di sana ada qadha dan qadar, apa pun hasilnya. Jika itu tertanam dan diyakini dalam hati kaum Muslim, kecil kemungkinan ia akan depresi. Orang mukmin juga diajarkan zikir. “Dengan berzikir, kalian akan menjadi tenang”. Islam melarang umatnya berputusa asa. Islam mengatur hubungan dan pergaulan. Mengharamkan obat-orang terlarang atau Napza. Jadi sebenarnya, Islam itu sudah mengatur umatnya agar terhindar dari kecemasan, depresi, dan berbagai bentuk jenis penyakit jiwa.
Selain yang kita bicarakan tadi, faktor apalagi yang memicu kaum remaja mudah depresi dan cemas?
Media massa. Media sangat mempengaruhi persepsi mereka tentang gaya hidup. Media menggiring mereka dengan gaya hidup baru. Media menggiring mereka mengidolakan gaya hidup artis, model atau bintang film. Hidup serba mewah, pakaian gaul, nongkrong di mall, HP bermerk, pacaran, ikut Valentine’s, ikut gank, itulah gambaran mereka sebagai remaja masa kini dan remaja yang ideal.
Mereka berusaha diet dan menurunkan berat badan karena media memberikan citra body-image bahwa menjadi seksi harus kurus. Jangan kaget jika banyak remaja menjadi rendah diri jika tak mengikuti trend gaya hidup seperti ini. Mereka merasa aneh, tersisih jika menikah tanpa pacaran atau merasa jomblo. Di sinilah awal mereka menjadi mudah cemas dan berpikir pendek. Media seharusnya menjadi sarana edukasi generasi muda, namun faktanya tidak. [Cholis Akbar/www.hidayatullah.com]
No comments:
Post a Comment