Kemenag harus menjadi alat negara yang melindungi umatnya dari ancaman asing yang akan mengancam eksistensi NKRI
Oleh: Kholili Hasib
BEBERAPA hari yang lalu, tepatnya 14 November 2014, ormas Syiah ABI (Ahlul Bait Indonesia) mengadakan Muktamar II, bertempat di Auditorium Prof. Dr. Rasjidi lingkungan Kementrian Agama (Kemenag). Yang patut disayangkan, acara tersebut diadakan di kantor lingkungan Kemenag.
Padahal, Kemenag adalah lembaga pemerintah dan salah satu alat negara yang berkewajiban menjaga hal-hal yang membahayakan NKRI. Selain itu, sebagai alat negara yang mengurus keagamaan, maka wajib hukumnya Kemenag melindungi stabilitas umat mayoritas dari gangguan paham-paham asing yang tidak sesuai nilai-nilai NKRI dan Pancasila.
Pada 21 September 1997, pernah diadakan Seminar Nasional tentang Syiah di Masjid Istiqlal Jakarta. Seminar yang diadakan MUI dan LPPI mengungkap hakikat Syiah itu disambut baik oleh Departemen Agama (sekarang bernama Kemenag). Drs. H. Subagjo, direktur Direktorat Penerangan Agama Islam Departemen Agama hadir dalam seminar tersebut mengaku bahwa Depag cenderung memilih agar Syiah dilarang di Indonesia. Sebagaimana Malaysia dan Brunei Darussalam yang lebih dulu melarang aliran yang dikenal mengajarkan mencela Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam itu.
Sementara, Menteri Agama, yang ketika itu dijabat oleh dr. Tarmizi Taher, juga sepakat bahwa ulama perlu membentengi generasi muda yang agamanya masih kurang dan mudah dirayu hawa nafsu. Menurutnya, berbeda pendapat itu tidak mengganggu ukhuwah (wawancara Majalah Panji Masyarakat 6 Oktober 1997).
Ketika hawa revolusi Syiah di Iran masih hangat, Depag dengan cepat merespon, untuk membendung pengaruhnya sampai ke Indonesia. Pada 5 Desember 1983 Depag mengeluarkan surat edaran bertajuk “Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syih’ah”. surat edaran bernomor D/BA.01/4865/1983 itu ditulis, “Syiah Imamiah tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam sesungguhnya”. Surat edaran tersebut juga menjelaskan sekte-sekte Syiah, termasuk ditulis di salah satu poinnya Syiah ekstrim. Dijelaskan dalam poin enam, bahwa sekte ekstrim ini telah keluar dan menyimpang dari akidah Islam. Kelompok ini disebut al-Ghulat.
Surat edaran Depag tersebut tentunya didasarkan oleh pengamatan dalam konteks keindonesiaan. Berdasarkan itu, dapat diambil kesimpulan, bahwa memang terdapat ekstrimisme Syiah di Indonesia yang mengancam NKRI dengan cita-cita revolusinya sebagaimana di Iran.
Inilah sikap Depag dahulu sebagai peringatan kewaspadaan. Potensi-potensi yang mengancam NKRI segera dipelajari mendalam untuk diambil sikapnya. Pejabat Depag menerima fatwa MUI tentang peringatan kewaspadaan terhadap Syiah. Depag dan MUI juga kompak dengan ormas besar Islam.
Pada tahun itu, gerak ormas-ormas seirama dengan MUI dan Depag. Suasana ukhuwah menjaga NKRI dari pahama yang mengancam sangat dirasakan. Kita lihat misalnya, PBNU pada tahun 1997 menerbitkan surat edaran tentang kewaspadaan terhadap aliran Syiah. Surat edaran bernomor 724/A.II.03/10/1997 menyeru kepada umat nadhliyyin untuk memahami secara jelas perbedaan prinsip antara Ahlus Sunnah dengan aliran Syiah. Atas upaya penolakan-penolakan tersebut, Syiah tiarap. Namun, ‘tidur-nya’ Syiah, bukanlah matinya. Umat Syiah ‘tidur’ untuk melakukan strategi baru.
Kemenag yang memberi izin Munas II ABI yang diadakan di Auditorium Prof. Dr. Rasjidi merupakan kebijakan yang menyakiti Prof. Dr. Rasjidi. Dan tidak patut dilakukan Kemenag. Dalam karyanya berjudul Apa itu Syi’ah, Prof. Rasjidi mengatakan: “Bahwa hak menjadi khalifah atau penguasa terbatas kepada anak cucu Nabi sampai 12 orang, bahwa semuanya itu ma’shum, bahwa mereka mengetahui yang ghaib, semuanya itu adalah akidah yang tidak benar. Bahwa nabi Muhammad Saw telah berwasiat agar nanti jabatannya sebagai kepala negara hendaknya diteruskan oleh Ali adalah asumsi sepihak. Jika asumsi itu benar, niscaya para Sahabat mengetahuinya” (H.M. Rasjidi, Apa itu Syi’ah, hal. 46).
Secara khusus tentang Syiah Imamiyah – yaitu sekte Syiah yang dianut oleh kaum Syiah di Indonesia – Prof. Rasjidi tidak ragu menyatakan bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau mengatakan: “Semua itu (Syiah Imamiyah, pen) tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam ajaran Syiah Imamiyah pikiran tidak dapat berkembang ijtihad tidak boleh. Semuanya harus menunggu dan tergantung pada imam. Antara manusia biasa dan imam ada gab atau jarak yang menganga lebar, yang merupakan tempat subur untuk segala macam khurafat dan tahayyul yang menyimpang dari ajaran Islam” (Apa itu Syiah, hal. 55). Menurut Prof. Rasjidi, umat Islam Indonesia adalah dari golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang memiliki pandangan berbeda dengan aliran Syiah.
Siapa Prof. Rasjidi? Beliau salah satu orang penting dalam sejarah Indonesia dan kementrian agama. Prof. Rasjidi adalah Menteri Agama pertama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II. Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Mesir, Arab Saudi dan lain-lain. Ia juga pernah aktif sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Islam (UII) Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Guru Besar Filsafat Barat di IAIN Syarif Hidayatullah dan menjadi Dosen tamu di McGill University Canada. Sumbangsih jasa-jasa Prof. Rasjidi buat negara ini tidak ternilai harganya.
Ia juga seorang yang memiliki prestasi akademik membanggakan negeri. Beliaulah Sarjana Cairo pertama dari Mahasiswa Indonesia dengan Nilai Mumtaz (cumlaude) ini dalam hidupnya sangat sederhana, jujur dan amanah.
Kemenang harusnya lebih paham tentang kewaspadaan ini. Jika pada tahun 80-an banyak dijumpai aksi-aksi radikalisme Syiah terutama dilakukan oleh pemudanya. Maka, kini Syiah memakai pendekatan lobi-lobi politik secara halus. Pada tahun 1980 Ayatullah Khomeini pernah berpidato dengan menekankan agar pemimpin negara-negara Muslim mengadakan revolusi seperti yang ia lakukan menggulingkan Syah Reza.
Syiah Indonesia sudah pasti berkiblat ke Iran. Ribuan pelajar sedang belajar di pusat-pusat studi di Iran. Nasionalisme kaum Syiah juga diperkirakan hanyalah nasionalisme pura-pura. Mereka lebih taat marja’ Syiah Iran dari pada Pancasila. Ingatlah kejadian-kajian kerusuhan sosial di Madura dan Jember beberapa waktu lalu. Pemicunya adalah kaum Syiah. Kemenag harus menjadi alat negara yang melindungi umatnya dari ancaman konspirasi halus paham asing yang akan mengancam eksistensi NKRI.*
Penulis adalah anggota MIUMI Jawa Timur, penulis buku ‘Menghadang Ekspansi Syiah di Nusantara
Oleh: Kholili Hasib
BEBERAPA hari yang lalu, tepatnya 14 November 2014, ormas Syiah ABI (Ahlul Bait Indonesia) mengadakan Muktamar II, bertempat di Auditorium Prof. Dr. Rasjidi lingkungan Kementrian Agama (Kemenag). Yang patut disayangkan, acara tersebut diadakan di kantor lingkungan Kemenag.
Padahal, Kemenag adalah lembaga pemerintah dan salah satu alat negara yang berkewajiban menjaga hal-hal yang membahayakan NKRI. Selain itu, sebagai alat negara yang mengurus keagamaan, maka wajib hukumnya Kemenag melindungi stabilitas umat mayoritas dari gangguan paham-paham asing yang tidak sesuai nilai-nilai NKRI dan Pancasila.
Pada 21 September 1997, pernah diadakan Seminar Nasional tentang Syiah di Masjid Istiqlal Jakarta. Seminar yang diadakan MUI dan LPPI mengungkap hakikat Syiah itu disambut baik oleh Departemen Agama (sekarang bernama Kemenag). Drs. H. Subagjo, direktur Direktorat Penerangan Agama Islam Departemen Agama hadir dalam seminar tersebut mengaku bahwa Depag cenderung memilih agar Syiah dilarang di Indonesia. Sebagaimana Malaysia dan Brunei Darussalam yang lebih dulu melarang aliran yang dikenal mengajarkan mencela Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam itu.
Sementara, Menteri Agama, yang ketika itu dijabat oleh dr. Tarmizi Taher, juga sepakat bahwa ulama perlu membentengi generasi muda yang agamanya masih kurang dan mudah dirayu hawa nafsu. Menurutnya, berbeda pendapat itu tidak mengganggu ukhuwah (wawancara Majalah Panji Masyarakat 6 Oktober 1997).
Ketika hawa revolusi Syiah di Iran masih hangat, Depag dengan cepat merespon, untuk membendung pengaruhnya sampai ke Indonesia. Pada 5 Desember 1983 Depag mengeluarkan surat edaran bertajuk “Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syih’ah”. surat edaran bernomor D/BA.01/4865/1983 itu ditulis, “Syiah Imamiah tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam sesungguhnya”. Surat edaran tersebut juga menjelaskan sekte-sekte Syiah, termasuk ditulis di salah satu poinnya Syiah ekstrim. Dijelaskan dalam poin enam, bahwa sekte ekstrim ini telah keluar dan menyimpang dari akidah Islam. Kelompok ini disebut al-Ghulat.
Surat edaran Depag tersebut tentunya didasarkan oleh pengamatan dalam konteks keindonesiaan. Berdasarkan itu, dapat diambil kesimpulan, bahwa memang terdapat ekstrimisme Syiah di Indonesia yang mengancam NKRI dengan cita-cita revolusinya sebagaimana di Iran.
Inilah sikap Depag dahulu sebagai peringatan kewaspadaan. Potensi-potensi yang mengancam NKRI segera dipelajari mendalam untuk diambil sikapnya. Pejabat Depag menerima fatwa MUI tentang peringatan kewaspadaan terhadap Syiah. Depag dan MUI juga kompak dengan ormas besar Islam.
Pada tahun itu, gerak ormas-ormas seirama dengan MUI dan Depag. Suasana ukhuwah menjaga NKRI dari pahama yang mengancam sangat dirasakan. Kita lihat misalnya, PBNU pada tahun 1997 menerbitkan surat edaran tentang kewaspadaan terhadap aliran Syiah. Surat edaran bernomor 724/A.II.03/10/1997 menyeru kepada umat nadhliyyin untuk memahami secara jelas perbedaan prinsip antara Ahlus Sunnah dengan aliran Syiah. Atas upaya penolakan-penolakan tersebut, Syiah tiarap. Namun, ‘tidur-nya’ Syiah, bukanlah matinya. Umat Syiah ‘tidur’ untuk melakukan strategi baru.
Kemenag yang memberi izin Munas II ABI yang diadakan di Auditorium Prof. Dr. Rasjidi merupakan kebijakan yang menyakiti Prof. Dr. Rasjidi. Dan tidak patut dilakukan Kemenag. Dalam karyanya berjudul Apa itu Syi’ah, Prof. Rasjidi mengatakan: “Bahwa hak menjadi khalifah atau penguasa terbatas kepada anak cucu Nabi sampai 12 orang, bahwa semuanya itu ma’shum, bahwa mereka mengetahui yang ghaib, semuanya itu adalah akidah yang tidak benar. Bahwa nabi Muhammad Saw telah berwasiat agar nanti jabatannya sebagai kepala negara hendaknya diteruskan oleh Ali adalah asumsi sepihak. Jika asumsi itu benar, niscaya para Sahabat mengetahuinya” (H.M. Rasjidi, Apa itu Syi’ah, hal. 46).
Secara khusus tentang Syiah Imamiyah – yaitu sekte Syiah yang dianut oleh kaum Syiah di Indonesia – Prof. Rasjidi tidak ragu menyatakan bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau mengatakan: “Semua itu (Syiah Imamiyah, pen) tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam ajaran Syiah Imamiyah pikiran tidak dapat berkembang ijtihad tidak boleh. Semuanya harus menunggu dan tergantung pada imam. Antara manusia biasa dan imam ada gab atau jarak yang menganga lebar, yang merupakan tempat subur untuk segala macam khurafat dan tahayyul yang menyimpang dari ajaran Islam” (Apa itu Syiah, hal. 55). Menurut Prof. Rasjidi, umat Islam Indonesia adalah dari golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang memiliki pandangan berbeda dengan aliran Syiah.
Siapa Prof. Rasjidi? Beliau salah satu orang penting dalam sejarah Indonesia dan kementrian agama. Prof. Rasjidi adalah Menteri Agama pertama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II. Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Mesir, Arab Saudi dan lain-lain. Ia juga pernah aktif sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Islam (UII) Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Guru Besar Filsafat Barat di IAIN Syarif Hidayatullah dan menjadi Dosen tamu di McGill University Canada. Sumbangsih jasa-jasa Prof. Rasjidi buat negara ini tidak ternilai harganya.
Ia juga seorang yang memiliki prestasi akademik membanggakan negeri. Beliaulah Sarjana Cairo pertama dari Mahasiswa Indonesia dengan Nilai Mumtaz (cumlaude) ini dalam hidupnya sangat sederhana, jujur dan amanah.
Kemenang harusnya lebih paham tentang kewaspadaan ini. Jika pada tahun 80-an banyak dijumpai aksi-aksi radikalisme Syiah terutama dilakukan oleh pemudanya. Maka, kini Syiah memakai pendekatan lobi-lobi politik secara halus. Pada tahun 1980 Ayatullah Khomeini pernah berpidato dengan menekankan agar pemimpin negara-negara Muslim mengadakan revolusi seperti yang ia lakukan menggulingkan Syah Reza.
Syiah Indonesia sudah pasti berkiblat ke Iran. Ribuan pelajar sedang belajar di pusat-pusat studi di Iran. Nasionalisme kaum Syiah juga diperkirakan hanyalah nasionalisme pura-pura. Mereka lebih taat marja’ Syiah Iran dari pada Pancasila. Ingatlah kejadian-kajian kerusuhan sosial di Madura dan Jember beberapa waktu lalu. Pemicunya adalah kaum Syiah. Kemenag harus menjadi alat negara yang melindungi umatnya dari ancaman konspirasi halus paham asing yang akan mengancam eksistensi NKRI.*
Penulis adalah anggota MIUMI Jawa Timur, penulis buku ‘Menghadang Ekspansi Syiah di Nusantara
No comments:
Post a Comment