Oleh: Abdul Qodir
Senin, 25 Agustus 2014, Pukul 22.01 WIB saya dapat sms dari adik angkatan,
“Mas, di rumah lagi ribut. Masalah ISIS dan ana kebawa2, untuk syabab di daerah ana kena semua”
Spontan saya langsung menelpon untuk mengklarifikasi. Suara parau dia cukup membuat saya sangat tertekan, dia bertutur bahwa pukul 03.00 dini hari dijemput dari kost oleh ayahnya, kepala desa, tokoh masyarakat untuk diklarifikasi Interpol. “Semua syabab (sebutan pemuda yang mengaji) pemalang kena” ujarnya terbata-bata dan sangat lirih di telepon.
Seketika air mata yang ditahan-tahan malah membuat pikiran panas. Munculah pertanyaan besar: Kali ini begitu se-sensitif inikah bicara Islam?. Saya mengingat-ngingat bagai mana anak ini tingkah lakunya, perangainya, keinginannya. Adakah keterkaitan dengan ISIS dan semacamnya? Atau Al-Qaeda? Teroris? Jauh panggang dari api, saya kehabisan akal untuk mengait-ngaitkannya. Tapi mengapa tiba-tiba ia diciduk? Yang paling menyakitkan adalah sesudahnya bahwa ia dipaksa membuat surat pernyataan untuk tidak melanjutkan kuliahnya dengan alasan dalam masa pengawasan.
Di tempat yang lain ada pedagang es, tukang becak, dan pemuda, yang mengalami hal serupa. Mereka diciduk tanpa alasan yang jelas, kemudian dibebaskan tanpa ucapan apapun dengan beban moral yang sudah tercedrai. Mereka kebingungan dengan kesalahan apa yang telah dilakukannya. Media menyorotnya, melambungkannya, menyimpan dalam kolom di headline news, sehingga ketakutan demi ketakutan yang diciptakan memberikan penegasan bahwa inilah saat-saat kita tak boleh bicara ideologi Islam. Inilah saat di mana kita tidak boleh bermimpi menjalankan kewajiban dalam beragama secara utuh, Inilah saat-saat kita bungkam, diam, dan cemas saja melihat penangkapan demi penangkapan yang tak jelas alasannya.
Di tengah kelelahan mengurai kesemrawutan ini, masih ada juga dikalangan manusia yang tidak jujur dalam berbicara, yang tidak mau membaca berita, yang nyaman dengan ketidakmengertian fakta, kemudian melacur pada media yang tak mereka pahami tujuan-tujuannya. Dengan kebodohannya itu lalu mengolok-ngolok dan berkata: Benarlah apa yang dilakukan densus, terorisme harus dimusnahkan, Islam tidak mengajarkan radikalisme.
Terorisme semodel apakah yang dimaksud? hingga anak lugu pun dianggap teroris? hingga Al-Quran pun dijadikan barang bukti? hingga masyarakat yang tak mengeri apa-apa dibiarkan terhipnotis menganggap keyakinan yang sedang mereka anut adalah kesalahan? hingga masjid-masjid menjadi kosong? hingga telunjuk yang diacungkan saat sholat menjadi gamang untuk tegak? hingga muncul kecemasan yang mendalam? hingga pada akhirnya saya berkesimpulan tak terhinggalah kesintingan ini.
Sedangkan Noam Chomsky saat ini sudah menjadi ibarat nabi bagi orang-orang kiri. Pergerakannya yang terus menghantam Kapitalisme dengan teratur sudah melahirkan anak didiknya masuk di roda pemerintahan. Sosialisme tercium dan ia baik-baik saja.
Di lain kubu Obama selalu bersiap dengan penggenjotan opini yang lebih masif, warisan dari Bush tentang konsep “war on terror” nya sambil sesekali engkang kaki mencomoti kekayaan alam di negara jajahannya.
Demikianlah kesintingan ada di mana-mana. Kalau seandainya ideologi Islam tidak mempunyai suatu kekuatan yang tersembunyi, yang sebenarnya mampu membereskannya, maka Islam tidak akan tumbuh kembali.
Tetapi saat ini kita masih hidup. Saat ini para pengembang ideologi ini masih bisa bicara. Kita tidak buta dan tidak tuli bahwa pasang surut Islam itu mulai nampak ke permukaan. Halangan-halangan yang digembor-gemborkan imperialis barat dan invasi yang mulai dimunculkan bangsa Simpanse memang telah sekuat tenaga mencoba menahannya.
Lalu kedepan apa yang akan terjadi?
Jawabannya sudah diwakili Sayyid Quthb dalah salah satu catatannya:
Pasang itu akan terus naik. Bendungan-bendungan itu akan jebol. Para Simpanse akan dihanyutkan ombak dan gelombang. Di waktu itulah Islam akan sempurna. Bendera Islam akan berkibar tinggi. Islam yang benar.Islam yang mengatur seluruh kehidupan.
Ya, Percikan ini hanyalah akan membuat para pengemban Ideologi ini bersemangat.
@aab_elkarimi | Mahasiswa Universitas Negeri Semarang, Ketua Gema Pembebasan Komsat Unnes
Senin, 25 Agustus 2014, Pukul 22.01 WIB saya dapat sms dari adik angkatan,
“Mas, di rumah lagi ribut. Masalah ISIS dan ana kebawa2, untuk syabab di daerah ana kena semua”
Spontan saya langsung menelpon untuk mengklarifikasi. Suara parau dia cukup membuat saya sangat tertekan, dia bertutur bahwa pukul 03.00 dini hari dijemput dari kost oleh ayahnya, kepala desa, tokoh masyarakat untuk diklarifikasi Interpol. “Semua syabab (sebutan pemuda yang mengaji) pemalang kena” ujarnya terbata-bata dan sangat lirih di telepon.
Seketika air mata yang ditahan-tahan malah membuat pikiran panas. Munculah pertanyaan besar: Kali ini begitu se-sensitif inikah bicara Islam?. Saya mengingat-ngingat bagai mana anak ini tingkah lakunya, perangainya, keinginannya. Adakah keterkaitan dengan ISIS dan semacamnya? Atau Al-Qaeda? Teroris? Jauh panggang dari api, saya kehabisan akal untuk mengait-ngaitkannya. Tapi mengapa tiba-tiba ia diciduk? Yang paling menyakitkan adalah sesudahnya bahwa ia dipaksa membuat surat pernyataan untuk tidak melanjutkan kuliahnya dengan alasan dalam masa pengawasan.
Di tempat yang lain ada pedagang es, tukang becak, dan pemuda, yang mengalami hal serupa. Mereka diciduk tanpa alasan yang jelas, kemudian dibebaskan tanpa ucapan apapun dengan beban moral yang sudah tercedrai. Mereka kebingungan dengan kesalahan apa yang telah dilakukannya. Media menyorotnya, melambungkannya, menyimpan dalam kolom di headline news, sehingga ketakutan demi ketakutan yang diciptakan memberikan penegasan bahwa inilah saat-saat kita tak boleh bicara ideologi Islam. Inilah saat di mana kita tidak boleh bermimpi menjalankan kewajiban dalam beragama secara utuh, Inilah saat-saat kita bungkam, diam, dan cemas saja melihat penangkapan demi penangkapan yang tak jelas alasannya.
Di tengah kelelahan mengurai kesemrawutan ini, masih ada juga dikalangan manusia yang tidak jujur dalam berbicara, yang tidak mau membaca berita, yang nyaman dengan ketidakmengertian fakta, kemudian melacur pada media yang tak mereka pahami tujuan-tujuannya. Dengan kebodohannya itu lalu mengolok-ngolok dan berkata: Benarlah apa yang dilakukan densus, terorisme harus dimusnahkan, Islam tidak mengajarkan radikalisme.
Terorisme semodel apakah yang dimaksud? hingga anak lugu pun dianggap teroris? hingga Al-Quran pun dijadikan barang bukti? hingga masyarakat yang tak mengeri apa-apa dibiarkan terhipnotis menganggap keyakinan yang sedang mereka anut adalah kesalahan? hingga masjid-masjid menjadi kosong? hingga telunjuk yang diacungkan saat sholat menjadi gamang untuk tegak? hingga muncul kecemasan yang mendalam? hingga pada akhirnya saya berkesimpulan tak terhinggalah kesintingan ini.
Sedangkan Noam Chomsky saat ini sudah menjadi ibarat nabi bagi orang-orang kiri. Pergerakannya yang terus menghantam Kapitalisme dengan teratur sudah melahirkan anak didiknya masuk di roda pemerintahan. Sosialisme tercium dan ia baik-baik saja.
Di lain kubu Obama selalu bersiap dengan penggenjotan opini yang lebih masif, warisan dari Bush tentang konsep “war on terror” nya sambil sesekali engkang kaki mencomoti kekayaan alam di negara jajahannya.
Demikianlah kesintingan ada di mana-mana. Kalau seandainya ideologi Islam tidak mempunyai suatu kekuatan yang tersembunyi, yang sebenarnya mampu membereskannya, maka Islam tidak akan tumbuh kembali.
Tetapi saat ini kita masih hidup. Saat ini para pengembang ideologi ini masih bisa bicara. Kita tidak buta dan tidak tuli bahwa pasang surut Islam itu mulai nampak ke permukaan. Halangan-halangan yang digembor-gemborkan imperialis barat dan invasi yang mulai dimunculkan bangsa Simpanse memang telah sekuat tenaga mencoba menahannya.
Lalu kedepan apa yang akan terjadi?
Jawabannya sudah diwakili Sayyid Quthb dalah salah satu catatannya:
Pasang itu akan terus naik. Bendungan-bendungan itu akan jebol. Para Simpanse akan dihanyutkan ombak dan gelombang. Di waktu itulah Islam akan sempurna. Bendera Islam akan berkibar tinggi. Islam yang benar.Islam yang mengatur seluruh kehidupan.
Ya, Percikan ini hanyalah akan membuat para pengemban Ideologi ini bersemangat.
@aab_elkarimi | Mahasiswa Universitas Negeri Semarang, Ketua Gema Pembebasan Komsat Unnes
No comments:
Post a Comment