21.11.14

Mengapa Orang Beragama Lebih Sehat?

Orang yang menjalani kehidupan beragama, cenderung
memiliki ukuran hippocampus lebih kecil dari orang Atheis
PUTUS asa adalah sumber kesesatan; kegelapan hati dan pangkal penderitaan jiwa,” demikian kata-kata hikmah dari Bediuzzaman Said Nursi atau kerap dipanggil Said Nursi. Ucapan bintang intelektual Muslim yang berpengaruh di dunia muslim khususnya di Turki berkat mahakaryanya ”Risalah An-Nur “ ini nampaknya cocok dengan temuan terbaru para peniliti sosial.

Dalam studi yang dilakukan oleh Christopher Scheitle, asisten peneliti senior di bidang sosiologi di Penn State University, di mana menyebutkan, 40 persen orang yang menjalankan praktek agama, dilaporkan dalam kondisi sehat. Sementara orang yang tidak percaya Tuhan cenderung mengabaikan pola hidup sehat, demikian hasil penelitian.

“Kesehatan yang buruk juga dapat memicu seseorang meninggalkan suatu agama dan kehilangan kepercayaannya akan adanya Tuhan,” kata Christopher Scheitle, peneliti dari universitas itu.

Scheitel bukan sedang begosip, ia pernah meneliti 423 kasus yang berhubungan dengan agama antara 1972-2006. Hasil penelitiannya menunjukkan, sekitar 40% penganut agama yang taat, dalam kondisi kesehatan baik dan 25% lainnya yang berpindah keyakinan ke agama lain, juga dalam kondisi kesehatan baik.

Scheiter meneliti penganut Gereja Yesus Kristus Hari Terakhir (Mormon) dan Saksi Jehovah –termasuk penganut garis keras dan ketat dalam aliran Kristen—di mana mempunyai garis pedoman keras bagaimana anggota sebaiknya harus hidup, termasuk tidak konsumsi alkohol atau penggunaan tembakau, dapat memberi dampak baik bagi kesehatan.

Dalam laporannya, Scheitle menyatakan, penurunan kesehatan dapat kelompok agama tersebut. Penelitian juga membuktikan, ketidakpercayaan pada Tuhan juga membawa dampak buruk bagi kehidupan sosial.

Bahkan penelitian yang dimuat di situs www.eMaxHealth.com ini juga menyimpulkan, seperempat di antara orang dengan sikap yang lebih liberal dalam beragama, masih dianggap memiliki manfaat kesehatan istimewa dan akan turun sampai 20 persen jika ia berhenti total dari agama alias Atheis.

Suatu studi yang baru diterbitkan pada Desember 2013 di JAMA Psychiatry, menemukan bahwa kemungkinan risiko depresi jauh lebih kecil bagi orang yang taat beragama. Teknologi MRIs menunjukkan bahwa otak orang yang taat beragama memiliki lapisan yang lebih tebal dibandingkan orang yang sebaliknya.

Harold G. Koenig, direktur Center for Spirituality, Theology, and Health di Duke University menulis beberapa buku seperti The Healing Power of Faith and Mental Health. Buku-buku tersebut berisi mengenai manfaat agama bagi kesehatan. Manfaatnya antara lain, menurunnya stres melalui doa.

“Salah satu perusak otak paling buruk adalah stres,” kata Dr. Majid Fotuhi, seorang pendiri dan ketua NeurExpand, serta dosen di Harvard Medical School. “Stres dapat menghasilkan zat yang beracun bagi tubuh. Salah satu cara untuk mengurangi stres adalah berdoa. Ketika Anda berdoa, Anda akan merasakan pikiran yang lebih tenang,” tambahnya dikutip news.discovery.com.

Sebuah studi di kutip Journal of Affective Disorders, dikutip dari laman Daily Mail, Ahad (19/05/2013), mengatakan, beriman pada sesuatu yang lebih baik ditemukan dapat meningkatkan pengobatan seseorang secara signifikan bagi orang yang menderita penyakit jiwa.

David B. Larson dan timnya dari The American National Health Research Center, pernah membandingkan antara orang Amerika yang taat dan yang tidak taat beragama. Hasilnya, orang yang taat beragama menderita penyakit jantung 60 persen lebih sedikit, tingkat bunuh diri 100 persen lebih rendah, menderita tekanan darah tinggi dengan tingkat yang jauh lebih rendah, dan angka perbandingan ini adalah 7 : 1 di antara para perokok.

Dalam International Journal of Psychiatry in Medicine, sebuah sumber ilmiah penting di dunia kedokteran pernah melaporkan, orang yang mengaku dirinya tidak berkeyakinan agama lebih sering sakit dan mempunyai masa hidup lebih pendek. Mereka yang tidak beragama berpeluang dua kali lebih besar menderita penyakit usus-lambung daripada mereka yang taat beragama, dan tingkat kematian mereka akibat penyakit pernapasan 66 persen lebih tinggi daripada mereka yang beragama.

Penelitian yang dilakukan oleh Hayward, menemukan adanya perkembangan hippocampus mereka selama 28 tahun. Hippocampus adalah bagian otak yang memperbesar peluang depresi serta Alzheimer di usia tua. Penelitian ini sekaligus menunjukkan orang yang menjalani kehidupan beragama, cenderung akan memiliki ukuran hippocampus yang lebih kecil dari yang tidak (orang Atheis).

Bagi umat Islam, Shalat dianggap sebagai tiangnya agama. Dengan mengingat Allah melalui shalat, bisa menjadikan umatnya keluar dari segala persoalan atau masalah yang dihadapi. Dengan menyandarkan segala pertolongan pada Sang Maha Penolong, segala sesuatu akan mudah.

Karena itu, menjalankan shalat sebenarnya juga berarti membuka jalan bagi datangnya pertolongan Allah.

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ

Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan kesabaran dan Shalat.” (QS al-Baqarah [2]: 45; lihat pula ayat 153).

Jika shalat dan ibadahnya benar, seorang Muslim seharusnya lebih siap menghadapi hidup dan problematikanya dibanding sebelumnya. Sebab itu sesuai janji Allah sendiri bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenang, tidak mudah stress, depresi dan ujungnya menjadi lebih sehat.

أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.* (QS: al-Ra‘d [13]: 28)].

Nah, jika semua penelitian sudah menunjukkan bahwa dengan banyak ibadah berdampak baik pada kesehatan dan otak Anda, Apa ruginya jika tak mulai rajin beribadah mulai sekarang? *

No comments:

Post a Comment