10.9.14

Kenaikan Harga BBM: Mengorbankan Rakyat, Menguntungkan Pihak Asing

[Al-Islam edisi 720, 10 Dzulqa’dah 1435 H-5 September 2014 M]

Belakangan ini usulan kenaikan harga BBM mulai ramai didesakkan. Pemerintah SBY didesak untuk menaikkan harga BBM. Desakan di antaranya datang dari calon presiden terpilih Jokowi dan partai pengusungnya, PDIP. Desakan ini diamini oleh parpol pendukung lainnya: Hanura, Nasdem dan PKB.

Demi Rakyat?

Semua pihak, baik yang mendesak agar harga BBM dinaikkan maupun Pemerintah yang kali ini menolak, sama-sama mengatasnamakan rakyat.

Menko perekonomian Chaerul Tanjung mengungkapkan, pada akhir masa jabatannya, kenaikan harga BBM tidak akan dilakukan Pemerintah SBY. Apalagi dalam dua tahun belakangan Pemerintah sudah menaikkan beberapa komoditas. Di antaranya: harga BBM naik 33 persen pada 2012; tarif dasar listrik (TDL) naik pertiga bulan sejak tahun lalu; dan dalam waktu dekat ada rencana menaikan harga gas elpiji 12 kilogram. “Pemerintah tidak ingin membebani masyarakat,” katanya (Republika, 27/8).

Sebaliknya, dari tim Jokowi-JK di bidang Ekonomi, Arif Budimanta, mengungkapkan alasan PDIP sepakat menaikkan harga BBM subsidi tahun ini. Menurut dia, jika subsidi BBM ini tetap diteruskan, pendidikan sampai 12 tahun tidak berjalan; pembangunan rumah sakit dan penjaminan kesehatan juga tidak akan bertambah. ”Kalau mau meningkatkan kemakmuran rakyat, tinggal pilih: kita mau meningkatkan di sektor produktivitas, pendidikan, kesehatan, infrastruktur atau hanya sekadar memikirkan kepentingan subsidi kendaraan,” kata Arif (Tribunnews.com, 1/9).

Tentu kita semua masih ingat, Pemerintah SBY tahun 2012 menaikkan harga BBM 33% dengan alasan demi rakyat. Alasannya, besaran subsidi BBM telah membebani APBN. Anggaran pembangunan pun jadi minim. Karena itu dijanjikan, pengurangan subsidi BBM akan dialihkan untuk pembangunan. Alasan dan dalih yang sama sekarang digunakan oleh mereka yang mendesak agar harga BBM dinaikkan.

Harus diingat, PDIP yang saat ini mendesak kenaikan harga BBM, tahun 2012 sangat getol menolak kenaikan harga BBM, bahkan dengan mengerahkan massa. Alasannya, kenaikan harga BBM akan menyusahkan rakyat. Sekarang, alasan yang sama dipakai oleh Pemerintah SBY untuk menolak desakan kenaikan harga BBM.

Semua itu membuktikan bahwa alasan ‘atas nama rakyat’ dan ‘demi kepentingan rakyat’ itu hanya dijadikan bahan jualan saja.

Sama-Sama Rezim Neolib

Salah satu ciri rezim neo-liberal (neolib) adalah terus mempermasalahkan (besaran) subsidi. Kebijakan rezim ini adalah mengurangi bahkan menghapus subsidi. Jika ciri ini diterapkan pada pemerintah lama dan pemerintah baru mendatang, jelaslah keduanya sama-sama rezim neolib.

Pemerintah SBY telah membuktikan diri sebagai rezim neolib. Besaran subsidi terus dikurangi. Beberapa jenis subsidi bahkan sudah dihilangkan. Kenaikan harga BBM rata-rata 33% pada 2012 lalu menegaskan sifat neolib itu.

Pemerintah baru, Pemerintah Jokowi, sejak awal telah menegaskan diri sebagai rezim neolib. Belum memerintah, Jokowi dan parpol pendukungnya telah menegaskan sifat neolib itu dengan menyetujui bahkan mendesak Pemerintah SBY agar menaikkan harga BBM tahun ini. Ketika desakan itu tidak dituruti, Jokowi menegaskan bahwa pemerintahannya akan menaikkan harga BBM.

Jokowi mengatakan bahwa menaikkan harga BBM merupakan jalan satu-satunya untuk menekan defisit anggaran. “Sudah bolak-balik saya sampaikan bahwa untuk menekan defisit anggaran pada tahun 2015 itu memang jalan satu-satunya di situ. Kamu harus mengerti dong, subsidi BBM itu gede banget, 400 triliun, bahkan 433 triliun untuk tahun depan,” ujar Jokowi (Tribunnews.com, 30/8).

Jika opsi (pilihan) ini diambil, itu akan dilakukan pada November 2014 atau setelah Januari 2015. Opsi kenaikannya antara 500-3000 rupiah perliter (Kontan.co.id, 1/9). Boleh jadi, kenaikan harga BBM akan menjadi ‘kado pertama’ dari Jokowi-JK untuk rakyat.

Subsidi untuk Pihak Asing

Dalam pandangan Pemerintah, yang disebut subsidi BBM adalah saat BBM dijual di bawah harga pasar internasional. Jika demikian maknanya, maka selama ini Pemerintah terus mensubsidi pihak asing seperti Cina, Korea, Jepang, AS dan lainnya. Mengapa? Karena Pemerintah menjual gas tersebut jauh di bawah harga pasar internasional. Gas Blok Tangguh sejak masa Megawati dijual ke Cina melalui kontrak 25 tahun dengan harga jauh di bawah harga internasional. Saat itu harganya hanya US$ 2,7 per MMBTU. Lalu naik menjadi US$ 3,5 per MMBTU. Harga internasionalnya saat itu adalah US$ 15-18 per MMBTU. Kerugian negara atas penjualan gas murah ke Cina itu diperkirakan sekitar Rp 500 triliun pertahun (Tribunnews.com, 12/3). Artinya, Pemerintah Indonesia mensubsidi Cina sekitar US$ 12 per MMBTU gas. Awal Juli lalu, Pemerintah mengklaim sukses merenegosiasi harga gas ke Cina menjadi US$ 8 per MMBTU (Detik.finance, 30/6). Meski naik, subsidi ke Cina masih besar sekitar US$ 10 per MMBTU. Begitu juga subsidi ke Korea. Harga jual gas Tangguh ke Korea hanya US$ 4,1 per MMBTU. Hal ini juga terjadi pada harga jual gas ke Jepang dan AS.

Alasan Dusta!

Menaikkan harga BBM diklaim sebagai satu-satunya jalan karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan APBN. Alasan itu dipakai Pemerintahan SBY kala itu dan ditolak oleh PDIP. Sekarang, alasan yang sama dipakai Jokowi dan PDIP. Namun, alasan dulu atau sekarang sama saja: sama-sama dusta! Masih banyak jalan lain.

Sebelum Pilpres, menurut tim ekonomi Jokowi-JK, Darmawan Prasodjo, untuk mengatasai masalah subsidi BBM, di antara langkah pertama Jokowi adalah janji bahwa pemerintahannya akan fokus mengurangi kebocoran-kebocoran akibat penyelundupan BBM ke luar negeri. Ada kebocoran penggunaan BBM karena adanya penyelundupan sebesar 15% atau sekitar Rp 42 triliun. Jika pengawasan kepada aparat daerah diperkuat, setidaknya Rp 42 triliun itu bisa dihemat. Lalu pada tahun pertama akan dimulai konversi BBM yang mahal ke gas yang murah. Selain itu, pemborosan 20% BBM bersubsidi juga akan ditekan dengan memperbanyak transportasi publik (Kontan.co.id, 12/6/14).

Jokowi juga berjanji akan memotong subsidi energi secara bertahap. Contohnya adalah penggunaan bahan bakar untuk pembangkit listrik milik PLN yang mesti diganti dari BBM ke gas atau batubara. ”Itu sudah menghemat sekitar Rp 70 triliun,” katanya (Kompas.com, 16/8).

Pemerintahan Jokowi juga berjanji akan: memberantas mafia minyak yang disoal banyak pihak; membeli minyak mentah dan olahan langsung dari produsen, tidak melalui broker seperti selama ini; membangun kilang di dalam negeri; mengurangi anggaran perjalanan yang di RAPBN 2015 sebesar 32 triliun; mengganti BBM dengan gas untuk pembankit PLN yang selama ini memang sudah siap memakai gas; mengalihkan pembayaran bunga utang termasuk bunga utang obligasi rekap BLBI; mengefisienkan belanja pegawai termasuk dengan merampingkan lembaga dan jabatan yang tumpang-tindih; dan jalan lainnya.

Pertanyaannya: seriuskah janji-janji itu akan diwujudkan?

Demi Para Kapitalis dan Pihak Asing

Yang jelas, kenaikan harga BBM pasti membuat rakyat susah. Jika harga BBM naik, harga transportasi pasti naik; harga bahan baku naik; harga semua kebutuhan pasti akan naik dan inflasi akan naik. Akibatnya, daya beli rakyat turun. Yang paling terdampak adalah rakyat dengan pendapatan pas-pasan. Kenaikan harga BBM akan menambah jutaan jumlah orang miskin.

Jika pun benar pengurangan subsidi dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, yang pertama-tama untung adalah para kapitalis dan pihak asing. Pasalnya, Jokowi senang menyerahkan pembangunan infrastruktur kepada pihak asing. Pembangunan MRT, misalnya, diserahkan ke Jepang; pengadaan Bus Transjakarta dan kereta monorel diserahkan ke Cina.

Pengurangan subsidi juga diklaim untuk menciptakan pertumbuhan. Ini pun akan lebih banyak dinikmati oleh orang kaya dan para kapitalis. Pasalnya, rasio gini terus meningkat. Pada 2012 saja rasio gini sebesar 0,41. Artinya, 1% penduduk menikmati 41% pendapatan, kekayaan atau sumberdaya.

Jika harga BBM naik, yang langsung untung adalah pihak asing pelaku bisnis eceran BBM. Jika harga BBM naik, orang akan belanja BBM ke SPBU asing seperti Shell dan Total. Pembeli BBM di SPBU Pertamina yang BUMN pasti berkurang.

Sebenarnya, pengurangan subsidi termasuk kenaikan harga BBM adalah amanat liberalisasi dalam LoI IMF, Januari 2000. Pengurangan subsidi sekaligus merupakan perintah Bank Dunia dan syarat pemberian utang (Indonesia Country Assistance Strategy, World Bank, 2001).

Bank Dunia bahkan sudah mewanti-wanti: pemenang Pemilu harus menaikkan BBM. Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A. Chaves mengatakan, Bank Dunia ingin agar pemerintahan yang baru bisa mengurangi subsidi BBM. “Tidak terlalu penting siapa yang menang. Yang diperhatikan adalah bagaimana mereka yang terpilih menerapkan kebijakan. Salah satunya, siapa nantinya yang berani mengurangi subsidi BBM,” ujar Chaves (Detikfinance, 21/7/2014).

Alhasil, demi para kapitalis dan pihak asinglah sesungguhnya kenaikan harga BBM itu dilakukan meski harus dengan mengorbankan rakyat banyak.

Harus Dikelola Sesuai Syariah

Minyak dan gas (migas) serta sumberdaya alam (SDA) lainnya yang melimpah dalam pandangan Islam merupakan milik umum. Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. Tambang migas itu tidak boleh dikuasai swasta apalagi pihak asing. Rasul saw. bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلاَءِوَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Karena itu, kebijakan kapitalistik, yakni liberalisasi migas baik di sektor hilir (termasuk kebijakan harganya) maupun di sektor hulu yang sangat menentukan jumlah produksi migas, juga kebijakan zalim dan khianat serupa harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, migas dan SDA lainnya harus dikelola sesuai syariah. Jalannya hanya satu, melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. Saat itulah SDA dan migas akan menjadi berkah yang menyejahterakan seluruh rakyat. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

No comments:

Post a Comment