REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Berikut mengenai holocaus (holocaust). Holocaus, mengutip Wikipedia Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai penganiayaan dan pemusnahan (genosida) orang Eropa keturunan Yahudi secara sistematis yang disponsori negara Jerman Nazi dan sekutunya, dipimpin Adolf Hitler, antara 1933-1945. Disebutkan, sekitar enam juta orang Yahudi meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Perinciannya, satu juta anak-anak, dua juta wanita, dan tiga juta laki-laki.
Namun, banyak pihak yang hingga kini masih memperdebatkan, baik jumlah korban tewas maupun definisi dan peristiwa holocaus itu sendiri. Ada yang mengatakan, holocaus seharusnya tidak hanya mengenai bangsa Yahudi, tapi juga bangsa-bangsa lain yang menjadi korban pembunuhan Nazi Hitler. Misalnya, orang-orang Romania, Polandia, Rusia, dan bangsa-bangsa lainnya. Jumlah mereka semuanya diperkirakan mencapai 11 hingga 17 juta jiwa. Mereka tewas dalam kamp-kamp Nazi menjelang dan selama Perang Dunia II.
Pertanyaan lainnya, benarkah Hitler pernah memerintahkan pembantaian massal terhadap orang-orang Yahudi itu sendiri. Karena, untuk membunuh massal enam juta orang tentu membutuhkan dana yang sangat besar. Padahal, saat itu Nazi Jermah sedang menghadapi perang besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar pula.
Berikutnya, bila benar Hitler menginstruksikan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Yahudi, lalu untuk tujuan apa. Adakah orang-orang Yahudi dianggap ancaman besar bagi eksistensi bangsa Nazi Jerman, padahal saat itu mereka tidak mempunyai negara dan apalagi militer yang kuat. Kalau begitu, holocaus itu mitos atau benar-benar ada?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu biarlah para sejarawan yang akan membuktikannya. Yang jelas, holocaus kini telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh bangsa Israel, terutama oleh para tokoh dan pimpinan kaum zionis. Mereka menjadikan tragedi holocaus sebagai trik untuk menarik perhatian masyarakat internasional agar jatuh kasihan dan iba. Bahwa, mereka adalah bangsa yang terzalimi. Bahwa, mereka adalah bangsa yang perlu dibantu dan didukung, termasuk pendirian negara Israel meskipun harus menduduki tanah air bangsa Palestina.
Apa yang saya sampaikan mengenai holocaus di atas sebenarnya bukanlah fokus dari tulisan ini. Yang saya ingin garis bawahi adalah sebegitu besar pengaruh lobi Yahudi sehingga mereka telah berhasil mendesak negara-negara Barat agar mempunyai undang-undang tentang holocaus yang disebut UU Gitto. Yakni, siapa pun yang menolak tragedi holocaus (Holocaust Denial) akan dianggap sebagai anti-Yahudi (anti-Semit) dan akan diganjar dengan hukuman penjara dan denda. Selain AS, minimal 10 negara Eropa kini mempunyai UU tersebut, antara lain Prancis, Polandia, Austria, Swiss, Belgia, Romania, dan Jerman.
Sejumlah ilmuwan, mengutip berbagai sumber, telah menjadi korban dari undang-undang tersebut. Seorang peneliti asal Australia, Fredick Toban, diganjar enam bulan penjara ketika menolak peristiwa holocaus. Kata Toban, “Di Eropa, setiap orang bisa menghujat Yesus dan Maryam yang suci, namun tidak dapat mengkritik orang-orang Yahudi dan holocaus.”
Ilmuwan lain yang jadi korban UU Gitto adalah Robert Forison. “Sampai saat ini mereka tidak dapat menjawab argumentasi kita atas kebenaran tragedi holocaus, melainkan menyerang kita dengan menyeret ke pengadilan, menindak, dan menyiksa,” ujar Forison yang berkewarganegaraan Prancis dan Inggris ini.
Forison diberhentikan dari mengajar di Universitas Lion pada 1978 akibat mempertanyakan holocaus dan menolak keberadaan ruangan gas yang ditulis dalam bukunya “Ruangan Gas: Fiktif atau Nyata?”. “Kami para penentang holocaus tidak diberi hak untuk mencetak dan menyebarkan artikel dan buku. Mereka melarang buku-buku kami dan melarang penerbitannya di luar negeri.”
Ernes Zundel dan almarhum Roger Garaudy adalah contoh lain ilmuwan yang menjadi korban dari UU tentang holocaus. Garaudy, warga Prancis, pernah diseret ke pengadilan ketika menerbitkan buku Mitos-Mitos Pembangunan Politik Israel yang antara lain mempertanyakan kebenaran tragedi holocaus.
Zundel adalah penelitik asal Jerman. Sebelum hijrah ke AS, ia bermukim di Kanada. Namun, akibat tekanan dan intimidasi kaum Zionis di Kanada, Zundel terpaksa pindah ke AS. Di Negeri Paman Sam ini, Zundel terus diburu dan kemudian ditangkap. Ia lalu diekstradisi ke Jerman untuk diadili karena keyakinannya yang menentang adanya holocaus.
Saya tidak sedang mempersoalkan undang-undang tentang holocaus. Yang sedang saya gugat adalah mengapa negara-negara Barat tidak menerapkan undang-undang antipenodaan dan pelecehan terhadap agama, agama apa pun, seperti halnya mereka mempunyai undang-undang Holocaust Denial? Bahwa siapa pun yang menghina, melecehkan, dan menodai suatu agama, dapat dikenai sanksi sebagaimana mereka yang tidak mengakui adanya holocaus.
Karena, selama tidak ada undang-undang yang melarang pelecehan terhadap suatu agama, bisa dipastikan peristiwa film “the Innocence of Muslims”, kartun yang melecehkan Islam, dan hal-hal lain yang menghina agama akan muncul dan muncul lagi. Bisa dipastikan pula protes besar-besaran akan berlangsung di berbagai negara. Kalau sudah begitu, korbannya bukan hanya beberapa orang yang meninggal dunia, tapi juga terganggunya hubungan antara umat Islam dan Barat yang bisa saja justru mempersubur adanya terorisme internasional.
Jangan hanya lantaran alasan demokrasi dan kebebasan berekspresi, orang lalu bisa sebebas-bebasnya berbuat semaunya, termasuk menodai, melecehkan, dan menghina suatu agama.
Berikut mengenai holocaus (holocaust). Holocaus, mengutip Wikipedia Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai penganiayaan dan pemusnahan (genosida) orang Eropa keturunan Yahudi secara sistematis yang disponsori negara Jerman Nazi dan sekutunya, dipimpin Adolf Hitler, antara 1933-1945. Disebutkan, sekitar enam juta orang Yahudi meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Perinciannya, satu juta anak-anak, dua juta wanita, dan tiga juta laki-laki.
Namun, banyak pihak yang hingga kini masih memperdebatkan, baik jumlah korban tewas maupun definisi dan peristiwa holocaus itu sendiri. Ada yang mengatakan, holocaus seharusnya tidak hanya mengenai bangsa Yahudi, tapi juga bangsa-bangsa lain yang menjadi korban pembunuhan Nazi Hitler. Misalnya, orang-orang Romania, Polandia, Rusia, dan bangsa-bangsa lainnya. Jumlah mereka semuanya diperkirakan mencapai 11 hingga 17 juta jiwa. Mereka tewas dalam kamp-kamp Nazi menjelang dan selama Perang Dunia II.
Pertanyaan lainnya, benarkah Hitler pernah memerintahkan pembantaian massal terhadap orang-orang Yahudi itu sendiri. Karena, untuk membunuh massal enam juta orang tentu membutuhkan dana yang sangat besar. Padahal, saat itu Nazi Jermah sedang menghadapi perang besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar pula.
Berikutnya, bila benar Hitler menginstruksikan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Yahudi, lalu untuk tujuan apa. Adakah orang-orang Yahudi dianggap ancaman besar bagi eksistensi bangsa Nazi Jerman, padahal saat itu mereka tidak mempunyai negara dan apalagi militer yang kuat. Kalau begitu, holocaus itu mitos atau benar-benar ada?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu biarlah para sejarawan yang akan membuktikannya. Yang jelas, holocaus kini telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh bangsa Israel, terutama oleh para tokoh dan pimpinan kaum zionis. Mereka menjadikan tragedi holocaus sebagai trik untuk menarik perhatian masyarakat internasional agar jatuh kasihan dan iba. Bahwa, mereka adalah bangsa yang terzalimi. Bahwa, mereka adalah bangsa yang perlu dibantu dan didukung, termasuk pendirian negara Israel meskipun harus menduduki tanah air bangsa Palestina.
Apa yang saya sampaikan mengenai holocaus di atas sebenarnya bukanlah fokus dari tulisan ini. Yang saya ingin garis bawahi adalah sebegitu besar pengaruh lobi Yahudi sehingga mereka telah berhasil mendesak negara-negara Barat agar mempunyai undang-undang tentang holocaus yang disebut UU Gitto. Yakni, siapa pun yang menolak tragedi holocaus (Holocaust Denial) akan dianggap sebagai anti-Yahudi (anti-Semit) dan akan diganjar dengan hukuman penjara dan denda. Selain AS, minimal 10 negara Eropa kini mempunyai UU tersebut, antara lain Prancis, Polandia, Austria, Swiss, Belgia, Romania, dan Jerman.
Sejumlah ilmuwan, mengutip berbagai sumber, telah menjadi korban dari undang-undang tersebut. Seorang peneliti asal Australia, Fredick Toban, diganjar enam bulan penjara ketika menolak peristiwa holocaus. Kata Toban, “Di Eropa, setiap orang bisa menghujat Yesus dan Maryam yang suci, namun tidak dapat mengkritik orang-orang Yahudi dan holocaus.”
Ilmuwan lain yang jadi korban UU Gitto adalah Robert Forison. “Sampai saat ini mereka tidak dapat menjawab argumentasi kita atas kebenaran tragedi holocaus, melainkan menyerang kita dengan menyeret ke pengadilan, menindak, dan menyiksa,” ujar Forison yang berkewarganegaraan Prancis dan Inggris ini.
Forison diberhentikan dari mengajar di Universitas Lion pada 1978 akibat mempertanyakan holocaus dan menolak keberadaan ruangan gas yang ditulis dalam bukunya “Ruangan Gas: Fiktif atau Nyata?”. “Kami para penentang holocaus tidak diberi hak untuk mencetak dan menyebarkan artikel dan buku. Mereka melarang buku-buku kami dan melarang penerbitannya di luar negeri.”
Ernes Zundel dan almarhum Roger Garaudy adalah contoh lain ilmuwan yang menjadi korban dari UU tentang holocaus. Garaudy, warga Prancis, pernah diseret ke pengadilan ketika menerbitkan buku Mitos-Mitos Pembangunan Politik Israel yang antara lain mempertanyakan kebenaran tragedi holocaus.
Zundel adalah penelitik asal Jerman. Sebelum hijrah ke AS, ia bermukim di Kanada. Namun, akibat tekanan dan intimidasi kaum Zionis di Kanada, Zundel terpaksa pindah ke AS. Di Negeri Paman Sam ini, Zundel terus diburu dan kemudian ditangkap. Ia lalu diekstradisi ke Jerman untuk diadili karena keyakinannya yang menentang adanya holocaus.
Saya tidak sedang mempersoalkan undang-undang tentang holocaus. Yang sedang saya gugat adalah mengapa negara-negara Barat tidak menerapkan undang-undang antipenodaan dan pelecehan terhadap agama, agama apa pun, seperti halnya mereka mempunyai undang-undang Holocaust Denial? Bahwa siapa pun yang menghina, melecehkan, dan menodai suatu agama, dapat dikenai sanksi sebagaimana mereka yang tidak mengakui adanya holocaus.
Karena, selama tidak ada undang-undang yang melarang pelecehan terhadap suatu agama, bisa dipastikan peristiwa film “the Innocence of Muslims”, kartun yang melecehkan Islam, dan hal-hal lain yang menghina agama akan muncul dan muncul lagi. Bisa dipastikan pula protes besar-besaran akan berlangsung di berbagai negara. Kalau sudah begitu, korbannya bukan hanya beberapa orang yang meninggal dunia, tapi juga terganggunya hubungan antara umat Islam dan Barat yang bisa saja justru mempersubur adanya terorisme internasional.
Jangan hanya lantaran alasan demokrasi dan kebebasan berekspresi, orang lalu bisa sebebas-bebasnya berbuat semaunya, termasuk menodai, melecehkan, dan menghina suatu agama.