[image: ilustrasi] |
Para dai yang tergabung dalam "Majelis Silaturahmi Kiai dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia" (MKSP3I) bakal dibekali pendidikan oleh Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Puslitbang Kemenag.
“Inisiatif melatih 30 orang da’i selama dua hari ini akan ditindaklanjuti dengan mengirimkan mereka ke pelbagai tempat yang rawan masuk ajaran radikal,” kata Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Prof Abdul Djamil, seperti dilansir laman Kemenag.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai tradisi keberagaaman Indonesia pada dasarnya unik. Menurut dia, umat tidak perlu mendebatkan perbedaan yang ada.
“Kita seharusnya sudah bisa melakukan sharing dan giving berupa ritual. Justru ajaran Islam yang saling bergesekan, bisa disalahgunakan atas nama demokrasi dan kebebasan memudahkan sebuah kelompok mengkafirkan orang lain,” kata dia saat menjadi salah satu nara sumber pada acara pelatihan dai ini.
Usai acara ini, mereka langsung ditempatkan di Bogor, Indramayu, Sukabumi, Kuningan, Cirebon, Pandeglang, Mesuji, Solo, Karanganyar, Sampit, Sampang, hingga Kediri, papar Abdul Djamil usai pembukaan “Halaqoh Ulama dan Launching Dai Rahmatan Lil Alamin di Hotel Millenium” di Jakarta, Senin (12/11/2012).
Ikut menjadi narasumber, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyad Mbai, beberapa tokoh nasional, cendekiawan, dan akademisi.
Sedangkan pembekalan “Dai Rahmatan Lil ‘Alamin” merupakan kegiatan lanjutan setelah Halaqoh. Pembekalan bertujuan untuk memberi wawasan pengetahuan serta pemahaman tentang kegiatan dakwah di lapangan yang meliputi aspek, deskripsi geografis, demografis, dan aspek aktivitas dakwah.
“Para da’i diarahkan dakwahnya untuk ikut memerangi perbuatan asusila, korupsi, narkoba, tawuran, dan konflik horizontal,“ terang Prof Djamil. Mereka juga harus bisa mengupayakan penanaman nilai dan perilaku kemanusiaan di setiap ideologi umat.
Ketua Umum MSKP3I, Noer Muhammad Iskandar SQ menegaskan siap memberikan pencerahan bagi rakyat Indonesia yang tergabung dalam kelompok yang dinilai radikal ataupun kelompok yang longgar terhadap nilai-nilai keislaman.
“Aliran sesat timbul karena miskinnya silaturahim. Kami siap menyebarkan lagi ajaran ahlussunah wal jamaah hingga ke pelosok agar selamat dari kelompok ekstremis,” tegasnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai tradisi keberagaaman Indonesia pada dasarnya unik. Umat, ujarnya, tidak perlu mendebatkan perbedaan yang ada.
“Kita seharusnya sudah bisa melakukan sharing dan giving berupa ritual. Justru ajaran Islam yang saling bergesekan, bisa disalahgunakan atas nama demokrasi dan kebebasan memudahkan sebuah kelompok mengkafirkan orang lain,“ungkapnya.
Sementara itu, Rois Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) KH Masdar Farid Mas’udi mengatakan, umat Islam harus siap dengan segala perbedaan karena mempunyai propabilitas beda paling tinggi.
“Untuk menanggulanginya, negara juga tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama mayoritas dengan minoritas,” kata salah satu nara sumber pada acara pelatihan dai tersebut.
Pentingnya pemerintah ikut campur, kata dia, lantaran isu perbedaan mahzab kini diselipi politik. Bukan lagi terkait umat, tapi juga berebut kekuasaan. Konflik keagamaan ini disebutnya beragenda ideologis politik.
“Prinsip menghalalkan segala cara menjadi stadium konflik beda mahzab menjadi berdarah-darah,” ungkapnya.
Azyumardi juga ingin agar pemerintah dan ulama mendekati setiap lapisan masyarakat untuk berdialog. Berikut menanamkan rasa nasionalisme. Hal tersebut untuk menghindari sektarianisme dan pembedaan mahzab seperti di Timur Tengah.*
No comments:
Post a Comment