SEMUA mukmin
tentu sudah tahu bahwa setiap orang hidup pasti akan menemui kematian.
Hidup di dunia ini hanya sementara, dan kita semua akan pergi ke
kampung akhirat. Meninggalkan harta benda yang sekian lama dikumpulkan;
anak, istri dan keluarga yang dicintai; jabatan yang dikejarnya dan
terputus dari berbagai kesenangan dunia.
Jasad manusia dari tanah dan akan kembali ke tanah. Sedangkan ruhnya di alam Barzakh. Kelak di alam akhirat, manusia dibangkitkan dan dikumpulkan kembali seolah terbangun dari tidur sesaat di siang hari. Maka pada saat itu barulah orang-orang yang tak mempercayai akhirat akan merasa rugi.
"Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sungguh merugi orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, dan mereka tidak mendapat petunjuk." (QS Yunus: 45)
Kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah dunia berakhir. Yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya kehidupan sesudah dunia berakhir.
Seorang yang beriman pada akhirat tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan akhir tetapi sebagai ladang amal.
Tertipu Dunia
Meski sudah tahu akan mati dan melihat sendiri banyak orang yang lebih muda umurnya mendahului, kadang manusia tidak terdorong bersiap diri. Orientasi hidup yang dibangun di hati semata dunia saja. Dalam hal harta, yang dipikirkan berapa banyak harta yang bisa dikumpulkan. Inginnya menambah dan menyimpan rapat- rapat. Dalam hal jabatan, selalu mendongak ke atas bagaimana meraih jabatan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Tak segan harus mengeluarkan dan berkorban uang banyak sampai ratusan juta bahkan milyaran sekali pun demi jabatan yang direbutnya. Kecintaan pada dunia membuatnya tertipu dan tak peduli dengan hari kemudian.
“Sesungguhnya mereka menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memedulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat.” (QS al-Insaan: 27)
Karena kesenangan dunia yang menjadi tujuan hidupnya, semua waktu dan energi dikerahkan untuk meraih dunia. Lupa bahwa semua yang dikejar dan diraih itu hanyalah sementara. Semua akan terlepas pada akhirnya. Siapa pun orangnya tak kan dapat menghindar saat maut datang menjemput; tak dapat diundurkan barang sesaat pun.
“…Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat menundanya dan tidak (pula) mempercepatnya sesaat pun.” (QS an-Nahl: 61)
Bekerja keras untuk memiliki harta yang banyak tidak dilarang. Berkorban untuk menduduki jabatan tinggi juga tak salah. Yang tidak boleh adalah bila hal itu sampai mengabaikan akhirat. Lupa ada kehidupan baru setelah kematiannya di dunia.Mereka mengira semua persoalan selesai pasca kematiannya. Padahal justru kematian itu mengantarkannya pada persoalan yang lebih besar, sehingga ketika mereka dibangkitkan dari kubur mereka berangan-angan seandainya saja tidak ada kehidupan baru setelah kematian mereka di dunia.
“Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku.” (QS al-Haqqah: 27-29).
Orientasi Akhirat
Bangunlah orientasi akhirat sekarang juga. Sadari bahwa harta yang akan abadi menjadi milik kita sampai di akhirat adalah yang telah diinfakkan di jalan Allah. Sedangkan harta yang masih tersimpan di tangan belum tentu nasibnya, bahkan bisa lepas dari genggaman.
Dengan orientasi akhirat, kita tidak terjebak pada perlombaan memamerkan kekayaan. Karena ukuran kemuliaan bukan dari banyaknya harta, tetapi dari banyaknya persentase sedekah.
Misalkan, jika seseorang memiliki dua dirham dan ia bersedekah satu dirham maka berarti dia telah mengeluarkan 50% (separuh) hartanya. Itu nilainya besar di hadapan Allah. Tapi jika seseorang penghasilannya sepuluh ribu dirham lalu berderma seratus dirham maka yang dikeluarkan itu hanya 1% nya. Itu sebabnya Rasulullah pernah bersabda, “Sedekah satu dirham bisa mengalahkan amal seratus dirham.”
Karena itu, bagaimana pun keadaan kita, prioritaskanlah beramal shalih; baik dengan harta ataupun tenaga. Mereka yang terus berusaha untuk mendapatkan harta yang lebih banyak, yang tak kalah pentingnya adalah terus meningkatkan kekuatan mental beramal yang lebih besar. Tambahnya penghasilan hendaknya diiringi dengan tambahnya sedekah.
Jika kekuatan sedekah dan pengorbanan tidak bertambah, maka tambahnya penghasilan bukannya menambah kemuliaan di hadapan Allah tapi kehinaan. Apalagi kalau cara yang ditempuh mendapat harta tidak memedulikan halal dan haram, maka sama saja menyiapkan neraka sejak di dunia ini.
Untuk meningkatkan amal shalih, bukan tamak yang harus kita perturutkan, tetapi iman pada akhirat yang harus ditingkatkan. Iman akan mendorong kita menjadikan dunia ini sebagai ladang amal.
Iman kepada akhirat, bukan semata dihafal tetapi harus diresapi. Iman yang hakiki juga bukan sekedar diketahui tetapi dihayati sampai membawa kesadaran diri seolah melihat akhirat di pelupuk mata. Inilah yang dirasakan al-Harist sehingga membuatnya gigih beramal.
''Bagaimana keadaanmu pagi ini?'' tanya Rasulullah kepada al-Harist yang sedang lewat di depan beliau.
''Pagi ini saya menjadi mukmin yang sebenarnya,'' jawab al-Harist.
Kemudian Rasulullah bersabda, ''Perhatikanlah apa yang engkau ucapkan itu, karena tiap- tiap sesuatu itu memiliki hakikat. Apakah hakikat keimananmu?''
al-Harist menjawab, ''Diriku telah menjauhi keduniaan, aku berjaga (tidak tidur) pada malam hari dan haus (berpuasa) pada siang hari, seolah- olah aku melihat Arasy Tuhanku tampak jelas, seakan-akan aku melihat para penghuni sorga sedang saling berkunjung, dan seakan-akan aku melihat penghuni neraka sedang meliuk- liuk kelaparan dan kepanasan''
Rasulullah bersabda, ''Wahai Harist, engkau sudah mengerti, maka istiqamahlah!'' Beliau mengucapkan perkataan ini tiga kali. Semoga kita diberi istiqamah oleh Allah. Amiiin.* /Hanif Hanan
Jasad manusia dari tanah dan akan kembali ke tanah. Sedangkan ruhnya di alam Barzakh. Kelak di alam akhirat, manusia dibangkitkan dan dikumpulkan kembali seolah terbangun dari tidur sesaat di siang hari. Maka pada saat itu barulah orang-orang yang tak mempercayai akhirat akan merasa rugi.
"Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sungguh merugi orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, dan mereka tidak mendapat petunjuk." (QS Yunus: 45)
Kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah dunia berakhir. Yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya kehidupan sesudah dunia berakhir.
Seorang yang beriman pada akhirat tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan akhir tetapi sebagai ladang amal.
Tertipu Dunia
Meski sudah tahu akan mati dan melihat sendiri banyak orang yang lebih muda umurnya mendahului, kadang manusia tidak terdorong bersiap diri. Orientasi hidup yang dibangun di hati semata dunia saja. Dalam hal harta, yang dipikirkan berapa banyak harta yang bisa dikumpulkan. Inginnya menambah dan menyimpan rapat- rapat. Dalam hal jabatan, selalu mendongak ke atas bagaimana meraih jabatan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Tak segan harus mengeluarkan dan berkorban uang banyak sampai ratusan juta bahkan milyaran sekali pun demi jabatan yang direbutnya. Kecintaan pada dunia membuatnya tertipu dan tak peduli dengan hari kemudian.
“Sesungguhnya mereka menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memedulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat.” (QS al-Insaan: 27)
Karena kesenangan dunia yang menjadi tujuan hidupnya, semua waktu dan energi dikerahkan untuk meraih dunia. Lupa bahwa semua yang dikejar dan diraih itu hanyalah sementara. Semua akan terlepas pada akhirnya. Siapa pun orangnya tak kan dapat menghindar saat maut datang menjemput; tak dapat diundurkan barang sesaat pun.
“…Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat menundanya dan tidak (pula) mempercepatnya sesaat pun.” (QS an-Nahl: 61)
Bekerja keras untuk memiliki harta yang banyak tidak dilarang. Berkorban untuk menduduki jabatan tinggi juga tak salah. Yang tidak boleh adalah bila hal itu sampai mengabaikan akhirat. Lupa ada kehidupan baru setelah kematiannya di dunia.Mereka mengira semua persoalan selesai pasca kematiannya. Padahal justru kematian itu mengantarkannya pada persoalan yang lebih besar, sehingga ketika mereka dibangkitkan dari kubur mereka berangan-angan seandainya saja tidak ada kehidupan baru setelah kematian mereka di dunia.
“Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku.” (QS al-Haqqah: 27-29).
Orientasi Akhirat
Bangunlah orientasi akhirat sekarang juga. Sadari bahwa harta yang akan abadi menjadi milik kita sampai di akhirat adalah yang telah diinfakkan di jalan Allah. Sedangkan harta yang masih tersimpan di tangan belum tentu nasibnya, bahkan bisa lepas dari genggaman.
Dengan orientasi akhirat, kita tidak terjebak pada perlombaan memamerkan kekayaan. Karena ukuran kemuliaan bukan dari banyaknya harta, tetapi dari banyaknya persentase sedekah.
Misalkan, jika seseorang memiliki dua dirham dan ia bersedekah satu dirham maka berarti dia telah mengeluarkan 50% (separuh) hartanya. Itu nilainya besar di hadapan Allah. Tapi jika seseorang penghasilannya sepuluh ribu dirham lalu berderma seratus dirham maka yang dikeluarkan itu hanya 1% nya. Itu sebabnya Rasulullah pernah bersabda, “Sedekah satu dirham bisa mengalahkan amal seratus dirham.”
Karena itu, bagaimana pun keadaan kita, prioritaskanlah beramal shalih; baik dengan harta ataupun tenaga. Mereka yang terus berusaha untuk mendapatkan harta yang lebih banyak, yang tak kalah pentingnya adalah terus meningkatkan kekuatan mental beramal yang lebih besar. Tambahnya penghasilan hendaknya diiringi dengan tambahnya sedekah.
Jika kekuatan sedekah dan pengorbanan tidak bertambah, maka tambahnya penghasilan bukannya menambah kemuliaan di hadapan Allah tapi kehinaan. Apalagi kalau cara yang ditempuh mendapat harta tidak memedulikan halal dan haram, maka sama saja menyiapkan neraka sejak di dunia ini.
Untuk meningkatkan amal shalih, bukan tamak yang harus kita perturutkan, tetapi iman pada akhirat yang harus ditingkatkan. Iman akan mendorong kita menjadikan dunia ini sebagai ladang amal.
Iman kepada akhirat, bukan semata dihafal tetapi harus diresapi. Iman yang hakiki juga bukan sekedar diketahui tetapi dihayati sampai membawa kesadaran diri seolah melihat akhirat di pelupuk mata. Inilah yang dirasakan al-Harist sehingga membuatnya gigih beramal.
''Bagaimana keadaanmu pagi ini?'' tanya Rasulullah kepada al-Harist yang sedang lewat di depan beliau.
''Pagi ini saya menjadi mukmin yang sebenarnya,'' jawab al-Harist.
Kemudian Rasulullah bersabda, ''Perhatikanlah apa yang engkau ucapkan itu, karena tiap- tiap sesuatu itu memiliki hakikat. Apakah hakikat keimananmu?''
al-Harist menjawab, ''Diriku telah menjauhi keduniaan, aku berjaga (tidak tidur) pada malam hari dan haus (berpuasa) pada siang hari, seolah- olah aku melihat Arasy Tuhanku tampak jelas, seakan-akan aku melihat para penghuni sorga sedang saling berkunjung, dan seakan-akan aku melihat penghuni neraka sedang meliuk- liuk kelaparan dan kepanasan''
Rasulullah bersabda, ''Wahai Harist, engkau sudah mengerti, maka istiqamahlah!'' Beliau mengucapkan perkataan ini tiga kali. Semoga kita diberi istiqamah oleh Allah. Amiiin.* /Hanif Hanan
No comments:
Post a Comment