Oleh: Harits Abu Ulya
Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Pemerintah keukeh dengan opsi kenaikan harga BBM. Dari rapat maraton Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah (senin,26/3) akhirnya juga sepakat dengan postur RAPBN-P (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan) dan condon mengurangi subsidi BBM. Terkait kenaikan harga BBM, implikasi legislasinya DPR harus menganulir Pasal 7 Ayat 6 UU Nomer 11 Tahun 2012, karena didalam pasal 7 termaktub larangan kenaikan harga BBM di tahun 2012.
Opsi menaikkan harga BBM, pemerintah mendasari alasan yang kesannya logis tapi hakikatnya sangat debatable.Diantaranya, kenaikan harga minyak dunia mengharuskan perlunya revisi RAPBN, agar pemerintah tidak bangkrut dan ekonomi tidak kolaps. Alasan lain dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo saat rapat dengan Banggar DPR (26/3), harga bahan bakar minyak (BBM) harus naik karena ada lonjakkan konsumsi. Lonjakan tersebut ini disebabkan harga BBM bersubsidi di Indonesia yang terbilang murah.
Tak pelak keputusan pemerintah menuai reaksi, mulai dari kalangan politisi parlemen juga masyarakat luas. Dari survei LSI terekam 86% lebih masyarakat menolak kenaikan harga BBM. Dan bahkan meningkatkan keresehan publik yang sangat signifikan. Sekalipun pemerintah sudah menyiapkan kebijakan antisipasi kenaikan harga BBM diantaranya program BLSM selama 9 bulan dengan besaran @ Rp 150.000/bulan dan raskin dalam 14 bulan juga tidak otomatis bisa meredam gejolak penolakan. Bahkan sebagian pejabat (Bupati) daerah juga ikut menolak, tercatat Wakil Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, Wali Kota Probolinggo HM Buchori, Bupati Bangkalan Jawa Timur Fuad Amin Imron, dan tidak mau ketinggalan Bupati Ponorogo Amin dan Wakil Bupatinya Yuni Widyaningsih bergabung dengan masyarakat dalam aksi penolakan kenaikan BBM. Akhirnya pemerintahan SBY menyiapkan aparat TNI siap on calling membantu Polri mengamankan titik-titik vital dan antisipasi dampak demo yang tidak terduga.
Ada point penting alasan masyarakat resisten atas kenaikan harga BBM, yaitu pemerintah dianggap berbohong dalam beberapa persoalan, diantaranya; pertama; APBN terbebani dengan subsidi BBM. Asumsi pemerintah, kosumsi BBM didalam negeri melebihi kuota yang akhirnya subsidi BBM membengkak menjadi Rp 160 trilyun dari Rp 129,7 trilyun.Dan ini mengharuskan penyesuaian dengan harga pasar internasional.Kedua;Subsidi selama ini dianggap tidak tepat sasaran, artinya premium selama ini lebih banyak digunakan oleh orang-orang kaya.Ketiga; terjadinya penurunan produksi secara alamiah tiap tahunnya sekitar 12%.Karenanya pemerintah mengubah target lifting dalam APBN-P 2012 menjadi 930 ribu barel perhari dari sebelumnya 950 ribu barel perhari (bph).
Sementara point diatas berhadapan dengan sisi paradok dari kenaikan BBM, pertama; Menekan daya beli masyarakat sehingga mereka akan semakin sengsara dan orang msikin akan semakin banyak. Kenaikan BBM dipastikan akan meningkatkan inflasi sekitar 7 % , Kenaikan harga bahan Pokok antara 5 - 10 %, kenaikan biaya transportasi dan distribusi produksi barang anatar 30- 35 %. Bahkan sebelum pemerintah menetapkan kenaikan harga tersebut harga-harga saat ini khususnya kebutuhan pokok telah mengalami lonjakan. Selain itu, kegiatan bisnis khususnya pada UMKM juga akan terpukul akibat membengkaknya biaya produksi sehingga akan mendorong pemangkasan tenaga kerja yang berujung pada peningkatan jumlah penggangguran. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin dipastikan akan semakin bertambah karena daya beli mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka akan terpangkas akibat inflasi yang dipicu oleh kenaikan BBM tersebut.
Kedua; BBM selama ini sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dapat ditunjukkan beberapa indikator antara lain: dari total jumlah kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta (2010), sebanyak 82% merupakan kendaraan roda dua yang nota bene kebanyakan dimiliki oleh kelas menengah bawah.
Ketiga; Kebijakan kenaikan BBM sangat tidak adil. Hal ini anggaran subsidi BBM tanpa skenario kenaikan harga, pada 1 April 2012 akan mencapai Rp178,62 triliun itu dinikmati oleh 230 juta orang. Sementara Pemerintah dengan mudahnya menggelotorkan dana untuk membail-out sektor keuangan dan perbankan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Pemerintah misalnya setiap tahunnya harus membayar bunga obligasi rekap BLBI sebesar 13,2-14,3 persen yang menyedot anggaran sekitar Rp 60 triliun pada tahun 2008. Padahal obligasi yang baru jatuh tempo pada 2033 tersebut hanya dinikmati oleh sejumlah perbankan pemerintah dan swasta yang sebagian sahamnya kini dikuasai asing.
Keempat; Penyebab membengkaknya subsidi akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola energi nasional. Anehnya kegagalan tersebut kemudian ditimpakan kepada rakyat dengan menaikkan harga BBM.
Kelima; Kenaikan harga BBM bersubsidi hanya akan menguntungkan Perusahaan Minyak Asing yang bergerak di sektor hilir dan merugikan Pertamina sebagai BUMN miliki negara
Keenam; Mayoritas pengelolaan migas saat ini dikuasai oleh swasta khususnya pihak asing sehingga pendapatan negara dari migas sangat minim.
Dari total produksi minyak mentah di Indonesia pada 2010 hanya 16 persen yang diproduksi oleh Pertamina. Sisanya dibagi-bagi oleh investor asing dan swasta domestik seperti Chevron (42%) dan Total (10%). Konsekuensinya, dari total produksi minyak mentah yang mencapai 300 juta barel, sebanyak 121 juta atau 40 persen diekpor ke mancanegara. Padahal di saat yang sama Indonesia harus mengimpor 101 juta minyak mentah dari berbagai negara untuk memproduksi BBM dalam negeri. Belum lagi, pemerintah melalui BP Migas justru lebih memprioritaskan untuk memperpanjang kontrak-kontrak pengelolaan ladang minyak kepada pihak swasta ketimbang menyerahkannnya kepada Pertamina.
Asing bermain?
Ada sisi yang seolah terlewatkan oleh publik, kebijakan politik ekonomi pemerintah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari unsur politik global. Jika di runut political-historisnya terbuka tabir interpendensi Indonesia dalam pengelolaan energi. Di mana alur liberalisasi menjadi hulu persoalan yang muncul sekarang. Jika keputusan pemerintah tidak populis dengan menaikkan harga BBM, ini ditengarai karena road map liberalisasi disektor energi harus berjalan sebagaimana keinginan pihak asing melalui beberapa protokoler.
Permainan asing yang kemudian terabsorsi dalam regulasi yang memayungi kebijakan energi Indonesia bisa terlihat dalam banyak indikasi. Dalam sebuah dokumen tertera peran IMF; ”Pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional”. Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000).
Begitu juga dalam sebuah dokumen termaktub; ".. Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.” Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001)
Bank Dunia juga menggarisbawahi; (Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya). Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001)
Lebih tegas bagaimana peran Amerika Serikat melalui USAID dalam sebuah dokumen Energy Sector Governance Strengthened (USAID, 2000); USAID intends to obligate a total of $4 million in DA in FY 2001 to strengthen energy sector governance and help create a more efficient and transparent energy sector. USAID advisors play a catalytic role in helping the Government of Indonesia develop and implement key policy, legal and regulatory reforms. …(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$ 4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan);
USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. (USAID telah membantu pembuatan draft UU MIgas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi);
Dampaknya secara politik adalah lahirnya regulasi Migas yang identik dengan keinginan asing, masyarakat bisa melihat dalam UU Migas Nomer 22 tahun 2001 ( Pasal 9: Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta. Pasal 10: Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir.
Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.Pasal 13: Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja. Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah Kerja.)
Berdampak
Faktor-faktor kebijakan hulu yang liberal melahirkan dampak yang sistemik dan menjangkau banyak sektor kehidupan masyarakat. Paling tidak, dengan regulasi liberal disektor hulu akan muncul kondisi; Pertamina tidak lagi sebagai Single Player dalam pengelolaan migas sektor hulu. Hilangnya kedaulatan energi migas, tidak ada lagi monopoli hulu–hilir oleh negara, ladang minyak dan gas bumi makin banyak yang dikuasi oleh perusahaan asing.Hasil migas lebih banyak dinikmati oleh pihak asing, dan akhirnya rakyatlah yang dirugikan menjadi korban kebijakan yang tidak proporsional.
Sementara di sektor hilir, upaya liberalisasi seperti yang tertera dalam beberapa dokumen seperti;
UU Migas No. 22 tahun 2001: menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan (Pasal 2).
PP No. 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero.
Tujuan utama persero adalah mendapatkan keuntungan (Pasal 2) dan keputusan tertinggi ada pada RUPS. (Tahun 2011 anak Perusahaan Pertamina PT Pertamina Hulu Energy direncanakan akan melakukan Initial Public Offering [IPO] di Bursa Saham)
Perpres No. 5 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c:
“Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.”
Regulasi diatas akan melahirkan dampak-dampak riil seperti; Pertamina tidak lagi sebagai Single Seller dalam kegiatan distribusi dan niaga migas. Hilangnya kedaulatan energi migas di sektor hilir. Migas menjadi komoditas komersial semata-mata. Hilangnya hak rakyat menikmati migas miliknya, Asing diuntungkan, menguasai pasar Indonesia, Rakyat dirugikan, harga BBM menjadi mahal.
Maka tujuan utama pemerintah menaikkan harga BBM disinyalir kuat bukan karena untuk mengurangi beban APBN, karena yang membebani adalah pembayaran utang dan bunganya. Juga bukan karena subsidi tidak tepat, karena penerima subsidi kebanyakan adalah menengah ke bawah. Tapi untuk memuluskan liberalisasi Migas di sektor hilir.Dan inilah alasan sebenarnya yang kurang tersingkap dihadapan publik selama ini.Dari sini terlihat aroma kepentingan asing lebih dominan dan hanya untungkan asing bukan untuk rakyat.Namun beribu sayang, pemerintahan SBY terkesan membisu dan menutup telinga atas kritikan rakyat yang mereka ekspresikan dalam berbagai aksi. Tidak salah jika sebagian mahasiswa dengan heroismenya melawan dengan jargon “ganti rezim komprador” dan “tolak penguasa neolib”! [hau/Diolah dari berbagai sumber]
Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Pemerintah keukeh dengan opsi kenaikan harga BBM. Dari rapat maraton Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah (senin,26/3) akhirnya juga sepakat dengan postur RAPBN-P (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan) dan condon mengurangi subsidi BBM. Terkait kenaikan harga BBM, implikasi legislasinya DPR harus menganulir Pasal 7 Ayat 6 UU Nomer 11 Tahun 2012, karena didalam pasal 7 termaktub larangan kenaikan harga BBM di tahun 2012.
Opsi menaikkan harga BBM, pemerintah mendasari alasan yang kesannya logis tapi hakikatnya sangat debatable.Diantaranya, kenaikan harga minyak dunia mengharuskan perlunya revisi RAPBN, agar pemerintah tidak bangkrut dan ekonomi tidak kolaps. Alasan lain dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo saat rapat dengan Banggar DPR (26/3), harga bahan bakar minyak (BBM) harus naik karena ada lonjakkan konsumsi. Lonjakan tersebut ini disebabkan harga BBM bersubsidi di Indonesia yang terbilang murah.
Tak pelak keputusan pemerintah menuai reaksi, mulai dari kalangan politisi parlemen juga masyarakat luas. Dari survei LSI terekam 86% lebih masyarakat menolak kenaikan harga BBM. Dan bahkan meningkatkan keresehan publik yang sangat signifikan. Sekalipun pemerintah sudah menyiapkan kebijakan antisipasi kenaikan harga BBM diantaranya program BLSM selama 9 bulan dengan besaran @ Rp 150.000/bulan dan raskin dalam 14 bulan juga tidak otomatis bisa meredam gejolak penolakan. Bahkan sebagian pejabat (Bupati) daerah juga ikut menolak, tercatat Wakil Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, Wali Kota Probolinggo HM Buchori, Bupati Bangkalan Jawa Timur Fuad Amin Imron, dan tidak mau ketinggalan Bupati Ponorogo Amin dan Wakil Bupatinya Yuni Widyaningsih bergabung dengan masyarakat dalam aksi penolakan kenaikan BBM. Akhirnya pemerintahan SBY menyiapkan aparat TNI siap on calling membantu Polri mengamankan titik-titik vital dan antisipasi dampak demo yang tidak terduga.
Ada point penting alasan masyarakat resisten atas kenaikan harga BBM, yaitu pemerintah dianggap berbohong dalam beberapa persoalan, diantaranya; pertama; APBN terbebani dengan subsidi BBM. Asumsi pemerintah, kosumsi BBM didalam negeri melebihi kuota yang akhirnya subsidi BBM membengkak menjadi Rp 160 trilyun dari Rp 129,7 trilyun.Dan ini mengharuskan penyesuaian dengan harga pasar internasional.Kedua;Subsidi selama ini dianggap tidak tepat sasaran, artinya premium selama ini lebih banyak digunakan oleh orang-orang kaya.Ketiga; terjadinya penurunan produksi secara alamiah tiap tahunnya sekitar 12%.Karenanya pemerintah mengubah target lifting dalam APBN-P 2012 menjadi 930 ribu barel perhari dari sebelumnya 950 ribu barel perhari (bph).
Sementara point diatas berhadapan dengan sisi paradok dari kenaikan BBM, pertama; Menekan daya beli masyarakat sehingga mereka akan semakin sengsara dan orang msikin akan semakin banyak. Kenaikan BBM dipastikan akan meningkatkan inflasi sekitar 7 % , Kenaikan harga bahan Pokok antara 5 - 10 %, kenaikan biaya transportasi dan distribusi produksi barang anatar 30- 35 %. Bahkan sebelum pemerintah menetapkan kenaikan harga tersebut harga-harga saat ini khususnya kebutuhan pokok telah mengalami lonjakan. Selain itu, kegiatan bisnis khususnya pada UMKM juga akan terpukul akibat membengkaknya biaya produksi sehingga akan mendorong pemangkasan tenaga kerja yang berujung pada peningkatan jumlah penggangguran. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin dipastikan akan semakin bertambah karena daya beli mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka akan terpangkas akibat inflasi yang dipicu oleh kenaikan BBM tersebut.
Kedua; BBM selama ini sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dapat ditunjukkan beberapa indikator antara lain: dari total jumlah kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta (2010), sebanyak 82% merupakan kendaraan roda dua yang nota bene kebanyakan dimiliki oleh kelas menengah bawah.
Ketiga; Kebijakan kenaikan BBM sangat tidak adil. Hal ini anggaran subsidi BBM tanpa skenario kenaikan harga, pada 1 April 2012 akan mencapai Rp178,62 triliun itu dinikmati oleh 230 juta orang. Sementara Pemerintah dengan mudahnya menggelotorkan dana untuk membail-out sektor keuangan dan perbankan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Pemerintah misalnya setiap tahunnya harus membayar bunga obligasi rekap BLBI sebesar 13,2-14,3 persen yang menyedot anggaran sekitar Rp 60 triliun pada tahun 2008. Padahal obligasi yang baru jatuh tempo pada 2033 tersebut hanya dinikmati oleh sejumlah perbankan pemerintah dan swasta yang sebagian sahamnya kini dikuasai asing.
Keempat; Penyebab membengkaknya subsidi akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola energi nasional. Anehnya kegagalan tersebut kemudian ditimpakan kepada rakyat dengan menaikkan harga BBM.
Kelima; Kenaikan harga BBM bersubsidi hanya akan menguntungkan Perusahaan Minyak Asing yang bergerak di sektor hilir dan merugikan Pertamina sebagai BUMN miliki negara
Keenam; Mayoritas pengelolaan migas saat ini dikuasai oleh swasta khususnya pihak asing sehingga pendapatan negara dari migas sangat minim.
Dari total produksi minyak mentah di Indonesia pada 2010 hanya 16 persen yang diproduksi oleh Pertamina. Sisanya dibagi-bagi oleh investor asing dan swasta domestik seperti Chevron (42%) dan Total (10%). Konsekuensinya, dari total produksi minyak mentah yang mencapai 300 juta barel, sebanyak 121 juta atau 40 persen diekpor ke mancanegara. Padahal di saat yang sama Indonesia harus mengimpor 101 juta minyak mentah dari berbagai negara untuk memproduksi BBM dalam negeri. Belum lagi, pemerintah melalui BP Migas justru lebih memprioritaskan untuk memperpanjang kontrak-kontrak pengelolaan ladang minyak kepada pihak swasta ketimbang menyerahkannnya kepada Pertamina.
Asing bermain?
Ada sisi yang seolah terlewatkan oleh publik, kebijakan politik ekonomi pemerintah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari unsur politik global. Jika di runut political-historisnya terbuka tabir interpendensi Indonesia dalam pengelolaan energi. Di mana alur liberalisasi menjadi hulu persoalan yang muncul sekarang. Jika keputusan pemerintah tidak populis dengan menaikkan harga BBM, ini ditengarai karena road map liberalisasi disektor energi harus berjalan sebagaimana keinginan pihak asing melalui beberapa protokoler.
Permainan asing yang kemudian terabsorsi dalam regulasi yang memayungi kebijakan energi Indonesia bisa terlihat dalam banyak indikasi. Dalam sebuah dokumen tertera peran IMF; ”Pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional”. Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000).
Begitu juga dalam sebuah dokumen termaktub; ".. Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.” Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001)
Bank Dunia juga menggarisbawahi; (Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya). Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001)
Lebih tegas bagaimana peran Amerika Serikat melalui USAID dalam sebuah dokumen Energy Sector Governance Strengthened (USAID, 2000); USAID intends to obligate a total of $4 million in DA in FY 2001 to strengthen energy sector governance and help create a more efficient and transparent energy sector. USAID advisors play a catalytic role in helping the Government of Indonesia develop and implement key policy, legal and regulatory reforms. …(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$ 4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan);
USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. (USAID telah membantu pembuatan draft UU MIgas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi);
Dampaknya secara politik adalah lahirnya regulasi Migas yang identik dengan keinginan asing, masyarakat bisa melihat dalam UU Migas Nomer 22 tahun 2001 ( Pasal 9: Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta. Pasal 10: Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir.
Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.Pasal 13: Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja. Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah Kerja.)
Berdampak
Faktor-faktor kebijakan hulu yang liberal melahirkan dampak yang sistemik dan menjangkau banyak sektor kehidupan masyarakat. Paling tidak, dengan regulasi liberal disektor hulu akan muncul kondisi; Pertamina tidak lagi sebagai Single Player dalam pengelolaan migas sektor hulu. Hilangnya kedaulatan energi migas, tidak ada lagi monopoli hulu–hilir oleh negara, ladang minyak dan gas bumi makin banyak yang dikuasi oleh perusahaan asing.Hasil migas lebih banyak dinikmati oleh pihak asing, dan akhirnya rakyatlah yang dirugikan menjadi korban kebijakan yang tidak proporsional.
Sementara di sektor hilir, upaya liberalisasi seperti yang tertera dalam beberapa dokumen seperti;
UU Migas No. 22 tahun 2001: menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan (Pasal 2).
PP No. 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero.
Tujuan utama persero adalah mendapatkan keuntungan (Pasal 2) dan keputusan tertinggi ada pada RUPS. (Tahun 2011 anak Perusahaan Pertamina PT Pertamina Hulu Energy direncanakan akan melakukan Initial Public Offering [IPO] di Bursa Saham)
Perpres No. 5 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c:
“Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.”
Regulasi diatas akan melahirkan dampak-dampak riil seperti; Pertamina tidak lagi sebagai Single Seller dalam kegiatan distribusi dan niaga migas. Hilangnya kedaulatan energi migas di sektor hilir. Migas menjadi komoditas komersial semata-mata. Hilangnya hak rakyat menikmati migas miliknya, Asing diuntungkan, menguasai pasar Indonesia, Rakyat dirugikan, harga BBM menjadi mahal.
Maka tujuan utama pemerintah menaikkan harga BBM disinyalir kuat bukan karena untuk mengurangi beban APBN, karena yang membebani adalah pembayaran utang dan bunganya. Juga bukan karena subsidi tidak tepat, karena penerima subsidi kebanyakan adalah menengah ke bawah. Tapi untuk memuluskan liberalisasi Migas di sektor hilir.Dan inilah alasan sebenarnya yang kurang tersingkap dihadapan publik selama ini.Dari sini terlihat aroma kepentingan asing lebih dominan dan hanya untungkan asing bukan untuk rakyat.Namun beribu sayang, pemerintahan SBY terkesan membisu dan menutup telinga atas kritikan rakyat yang mereka ekspresikan dalam berbagai aksi. Tidak salah jika sebagian mahasiswa dengan heroismenya melawan dengan jargon “ganti rezim komprador” dan “tolak penguasa neolib”! [hau/Diolah dari berbagai sumber]
No comments:
Post a Comment