Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.
PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Freeport mulai banyak menarik perhatian masyarakat setelah terungkapnya berbagai permasalahan dan insiden yang terjadi di wilayah konsesi pertambangan perusahaan tersebut. Berbagai pendapat, baik dari media, lembaga swadaya masyarakat, serta akademisi menyoroti masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, adaptasi sosio-kultural, keterlibatan TNI, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan politik separatis dari kelompok penduduk asli. Namun, dalam pembahasan ini permasalahan yang akan diulas adalah yang berkaitan dengan tidak optimalnya pengelolaan potensi ekonomi sumberdaya mineral di wilayah pertambangan tersebut bagi penerimaan negara.
Dalam tulisan berikut akan diuraikan mengenai potensi tembaga dan emas yang tersimpan di Grasberg dan Erstberg, serta pengelolaan pertambangan Freeport yang tidak optimal bagi pemerintah Indonesia. Akibatnya, manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah Indonesia tidak maksimal. Bahkan, dapat dikatakan Indonesia mengalami kerugian negara yang sangat besar karena tidak optimal, tidak adil, tidak transparan dan bermasalahnya pengelolaan sumberdaya mineral itu.
Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi
Freeport memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral di Papua melalui tambang Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (KK I) yang ditandatangani pada tahun 1967. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang mendapat manfaat dari KK I. Dalam perjalanannya, Freeport telah berkembang menjadi salah satu raksasa dalam industri pertambangan dunia, dari perusahaan yang relatif kecil. Hal ini sebagian besar berasal dari keuntungan yang spektakuler sekaligus bermasalah yang diperoleh dari operasi pertambangan tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya, Papua.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia relatif terus meningkat.
Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit. Demikian pula emas yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah berubah menjadi salah satu hasil utama pertambangan.
Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport. Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai berikut.
(1) Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia.
(2) Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
(3) Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.
(4) Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.
(5) Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.
(6) Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenakan kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan indikasi adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000 per hektar per tahun.
Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
foto ilustrasi: safecom
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Potensi Tambang Raksasa Freeport
Permintaan akan bahan tambang di pasar dunia di masa mendatang tampaknya akan terus meningkat. Permintaan tembaga, misalnya, terus naik bersamaan dengan meningkatnya perekonomian negara-negara di dunia. Hal ini dibarengi dengan peningkatan sektor industri, terutama industri yang berkaitan dengan sektor telekomunikasi dan listrik. Freeport sebagai produsen tembaga tentunya sangat diuntungkan oleh kebutuhan industri ini.
Indonesia melalui produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh produsen tembaga terbesar di dunia. Produksi tembaga Indonesia menunjukan peningkatan, misalnya dari 928.2000 ton pada tahun 1993 hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994 dan 1,52 juta ton pada tahun 1995. Proyeksi harga komoditas tembaga oleh Bank Dunia menunjukan kecenderungan untuk terus naik. Sementara itu, negara-negara produsen lainnya seperti Amerika dan Canada telah mencapai titik maksimum produksi.
Dengan permintaan dunia yang terus meningkat dapat diartikan bahwa ke depan Freeport memiliki peluang besar untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat ini produksi ketiga jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport. Produksi tembaga Freeport meningkat sangat tinggi, misalnya pada tahun 1991 sebesar 50% dan tahun 1995 sebesar 42%. Hal ini dapat terpenuhi karena semakin besarnya wilayah eksploitasi yang diberikan pemerintah. Saat ini produksi tembaga Indonesia 100% dihasilkan oleh PT Freeport.
Wilayah penambangan PT Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektar atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Padahal, awal beroperasinya PT FI hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektar. Secara garis besar, wilayah penambangan yang luas itu dapat dianggap dieksploitasi pada 2 periode, yaitu periode Ertsberg (1967-1988) dan periode Grasberg (1988- sekarang). Potensi bijih logam yang dikelola Freeport awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai tahun 1995 naik menjadi hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali lipat. Data tahun 2005 mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta ton metrik bijih.
1. Potensi Ertsberg
Pada tahun 1936, seorang geolog Belanda bernama Jean-Jacques Dozy melakukan ekspedisi petualangan ke tanah Papua bersama timnya. Dozy dan timnya sampai pada puncak pegunungan, di mana dijumpai adanya singkapan batuan yang ditengarai mengandung mineral berharga. Dari penemuan lokasi singkapan itu kemudian mengantarkan pada ditemukannya “Ertsberg” atau Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral yang terletak di kaki pegunungan bersalju. Laporan Dozy ini dimuat dalam majalah geologi di Leiden, Belanda pada tahun 1939. Laporan itu mengilhami seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals Company, Forbes Wilson, bersama Del Flint pada tahun 1960 melakukan ekspedisi ke Papua untuk mempelajari lebih jauh tentang hasil temuan tersebut dan meyakini bahwa cadangan mineral Ertsberg akan menjadi cadangan tembaga terbesar. Dugaan tersebut terbukti, Ertsberg merupakan cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan pada saat itu.
Ertsberg terdiri dari 40-50 persen oksida besi dalam bentuk mineral magnetit; 3,5% tembaga dalam bentuk mineral kalkopirit dan bornit (keduanya sulfida besi dan tembaga). Dengan demikian, Ertsberg merupakan deposit tembaga terkaya yang pernah ditemukan di atas permukaan tanah . Analisis laboratorium memastikan perkiraan ekspedisi bahwa terdapat kandungan tembaga sebesar “13 acres”, suatu kode yang dibuat oleh Wilson untuk menyatakan 13 juta ton bijih. Jauh lebih ke dalam tanah, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih untuk setiap kedalaman 100 meter. Jumlah keseluruhan diperkirakan mencapai 50 juta ton bijih.
Kita tidak mempunyai data yang akurat tentang berapa besar produk tambang yang sudah dihasilkan dari Ertsberg. Dalam perencanaan dan kesepakatan awal, tampaknya disetujui bahwa wilayah tambang hanya akan memproduksi tembaga, dan ini yang menjadi dasar mengapa pada awalnya lokasi pertambangan dinamakan Tembagapura. Disamping tembaga, tambang Ertsberg ternyata juga menghasilkan emas. Emas yang semula ”dianggap” hanyalah by product, belakangan menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam deposit yang ditemukan.
Kita tidak terlalu yakin tentang klaim emas adalah by product ini karena pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang maupun di Amerika. Disamping itu Freeport pun belum menjadi perusahaan terbuka yang harus menjalankan prinsip good corporate governance. Dengan demikian, bisa saja sejak awal sebenarnya Freeport telah menghasilkan emas dan atau bahkan perak, tetapi hal ini tidak dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.
Dari data yang kami kumpulkan diperoleh bahwa potensi kandungan mineral Ertsberg mencapai 50 juta ton bijih mineral . Dinas Pertambangan Papua menyebutkan cadangan Ertsberg sebanyak 35 juta ton, dengan kadar Cu 2,5%. Jika diasumsikan harga rata-rata tembaga selama sekitar 20 tahun periode penambangan di Ertsberg adalah US$ 2000/ton, pendapatan yang dapat diraih dari seluruh potensi mineral tambang Ertsbegr adalah (35 juta ton x 2000 US$ /ton) = US$ 70 miliar.
Perlu diingat bahwa selama periode Ertsberg, Freeport adalah perusahaan tertutup, dan smelter yang digunakan untuk memurnikan hasil tambangnya dilakukan di Jepang dan Amerika. Disamping itu, seperti disebutkan di atas tambang ”Tembagapura” juga menghasilkan emas yang diakui sebagai ”by product”, yang saat itu dijual oleh Freeport tanpa kontrol pemerintah. Dengan demikian, total nilai pendapatan yang telah dihasilkan oleh Freeport selama menambang Ertsberg diyakini lebih besar dari US$ 70 miliar yang disebutkan di atas.
2. Potensi Grasberg
Setelah me-review produksi dan pendapatan Ertsberg, kita juga akan membahas potensi produksi dan pendapatan tambang Grasberg. Untuk itu kita melihat data cadangan mineral Grasberg yang terindikasi sejak 31 Desember 1995 pada Tabel 1 di bawah ini.
Wilayah konsesi Freeport di Grasberg menyimpan potensi tembaga, emas dan perak dalam jumlah yang sangat besar. Kandungan logam yang terdapat pada deposit sangat tinggi, yaitu 1,9 miliar ton. Deposit logam tersebut mengandung potensi cadangan tembaga 18 juta ton (40, 3 milyar pond), emas mencapai 1600 ton (52,1 juta ons) dan perak 3400 ton (111 juta ons). Dengan kapasitas yang ada sekarang 115.000 MTPD (million ton per day), diperkirakan umur tambang tersebut sekitar 46 tahun (estimasi tahun 1994 adalah 27 tahun).
Potensi cadangan tembaga, emas, dan perak, dari tahun ke tahun dapat saja berubah, tergantung hasil eksplorasi yang dilakukan. Oleh sebab itu, untuk tambang Grasberg potensi cadangan menunjukkan trend yang terus meningkat. Selama periode 1990-1995, potensi cadangan tembaga meningkat 190%, cadangan emas meningkat 167% dan cadangan perak 220%. Sedangkan pada akhir Desember 2001, kita catat bahwa cadangan emas secara agregat adalah 64,5 juta ons, dan cadangan tembaga secara agregat adalah 52,5 miliar ons.
Cadangan Grasberg yang ditemukan tersebut akhirnya melipatgandakan cadangan total menjadi 200 juta ton metrik. Berdasarkan data-data yang ditampilkan pada Laporan Keuangan Freeport bulan Juni 2009, kita menemukan bahwa cadangan emas dan tembaga tambang Grasberg masing-masing sebesar 38,5 juta ons dan 35, 6 juta ton. Dengan harga rata-rata emas dan tembaga sepanjang periode tambang diasumsikan masing-masing sebesar 900US$ /ons, dan 5.000 US$ /ton, total potensi pendapatan emas tambang Grasberg adalah ( 38,5 juta ons X 900US$ /ons) = 34, 65 US$ miliar. Sedangkan total potensi pendapatan tembaga tambang Grasberg adalah (35, 6 juta ton X 5.000 US$/ ton) = 178 US$ miliar.
Jika diasumsikan mineral yang ditambang hanya emas dan tembaga, total potensi pendapatan tambang Grasberg adalah sekitar US$ 212,65 miliar. Namun, karena adanya kandungan perak dan berbagai unsur mineral lainnya, total potensi pendapatan tambang Freeport dapat mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 3000 triliun! Indonesia harus mendapatkan bagian yang lebih besar dari potensi ini.
Pendapatan Freeport dan Perubahan Menjadi Perusahaan Raksasa
Berdasarkan potensi kandungan mineral yang diuraikan di atas, diperoleh bahwa total pendapatan yang dapat diterima di Ertsberg minimal US$ 70 miliar dan total potensi pendapatan di Grasberg bernilai sekitar US$ 300 miliar. Dari total potensi tersebut, kita menemukan bahwa sejauh ini Freeport sebagai penambang, telah memperoleh porsi pendapatan yang lebih besar dibanding negara sebagai pemilik sumberdaya. Hal ini dapat kita temukan dari data-data yang diperoleh maupun dalam laporan keuangan yang diterbitkan Freeport.
Pendapatan berdasarkan estimasi potensi mineral selama periode Ertsberg di atas adalah sekitar US$ 70 miliar. Kami tidak menuduh bahwa Freeport telah melakukan manipulasi. Namun, fakta bahwa emas diakui sebagai by product pada awal penambangan, dan bahwa perak tidak dinyatakan sebagai mineral yang dihasilkan, merupakan potensi pendapatan yang sangat besar yang mungkin saja disembunyikan dalam laporan keuangan resmi Freeport. Dengan demikian, jika hal ini benar, tidak mengherankan kalau Freeport yang pada awal berdirinya adalah perusahaan gurem bisa menjelma menjadi perusahaan raksasa dalam waktu singkat.
Dugaan penipuan atau penyembunyian total pendapatan dari unsur emas sebagai “by product” ini pada gilirannya telah pula merugikan penerimaan negara dalam jumlah sangat besar. Mereka menjadi besar diduga karena menipu dan menjajah. Tetapi memang ini terjadi akibat adanya penyelewengan dan KKN oleh oknum-oknum Indonesia juga.
Berdasarkan tabel di atas, jika kita membandingkan akumulasi pendapatan PT Freeport Indonesia (2004-2008) dengan penerimaan Indonesia (2004-2008) akan dapat terlihat nyata, bahwa Indonesia sangat dirugikan. Total pendapatan PT Freeport Indonesia dari tahun 2004-2008 adalah US$ 17,893 miliar. Jika seluruh pengeluaran biaya operasi dan pajak yang dikeluarkan Freeport diasumsikan 50% dari pendapatan, penerimaan bersih Freeport selama 2004-2008 adalah US$ US$ 8,946 miliar.
Pada Tabel 2 di atas kita juga dapat menghitung total penerimaan dari berasal dari pajak dan royalti sebesar US$ 4,411 miliar. Dengan demikian, Indonesia sebagai pemilik sah sumberdaya mineral tersebut justru memperoleh penerimaan yang lebih kecil dibanding Freeport sebagai kontraktor pemegang hak KK, dengan perbandingan U$ 4,411 miliar (Indonesia): U$$ 8,946 miliar (Freeport). Perbedaan penerimaan yang merugikan Indonesia ini harus segera diubah, dan caranya adalah dengan renegosiasi KK dan pemilikan saham Freeport oleh BUMN.
Seperti disebutkan di atas, disamping tembaga, Freeport merupakan penghasil utama emas Indonesia. Emas saat ini menjadi produk utama Freeport, bukan lagi tembaga. Hal ini disebabkan semakin tingginya konsentrasi emas dan perak dalam bahan galian/deposit yang ditemukan. Produksi emas ini terus meningkat hingga mencapai 67% dari produksi emas nasional pada tahun 1995.
Sejak menemukan deposit emas terbesar dan tembaga terbesar nomor tiga di dunia, Freeport berubah menjadi tambang emas raksasa skala dunia. Total asset yang dimiliki PT Freeport Indonesia hingga akhir tahun 2005 mencapai US$ 5,55 miliar. Pada Januari 2006, PT FI mengumumkan pendapatan tahun 2005 mencapai angka US$ 4,012 miliar (setara Rp 40 triliun), naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Bahkan pada tahun 2007 menyebutkan pendapatan PT FI mencapai US$ 5,315 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan Juni 2008, dapat dilihat bahwa nilai total asset PT FI adalah sebesar US$ 23,35 miliar. Sebagai kesimpulan, kita mendesak agar pemerintah Indonesia segera memiliki saham di Freeport. Namun, harga saham yang harus dibayar bukanlah berdasarkan harga pasar FCX. Harga saham tersebut haruslah lebih kecil, dengan memperhitungkan berbagai penyelewengan dan kemudahan yang telah diterima PTFI selama berinvestasi di Indonesia.
Setelah ditemukannya Grasberg (menyimpan deposit tembaga nomor 3 terbesar dan tambang emas terbesar di dunia) pada tahun 1988, Freeport McMoran Copper Company, Inc (FCX) mendaftarkan diri ke New York Stock Exchange (NYSE). Saat itu Freeport menjual 5.000.000 lembar saham (23,4%) melalui Initial Public Offering (IPO), dan memperoleh sebesar US$ 3,31 miliar.
Freeport Menjadi Perusahaan Publik Tahun 1988
Pada awal berdirinya di tahun 1967 Freeport Indonesia Incorporated, subsidiary dari Freeport Minerals, Inc., merupakan perusahaan tertutup yang seluruh sahamnya dikuasai asing. Freeport mempunyai kebebasan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi hingga pemasaran hasil tambang. Pada tahun 1981 Freeport Mineral, Inc. melakukan merger dengan McMoran Oil and Gas, Inc. dan membentuk Freeport Mineral, Inc. Aset utamanya adalah potensi besar tembaga,emas dan perak yang tersimpan di Gunung Ertsberg. Merger ini jelas mengakibatkan meningkatnya Net Asset Value dari perusahaan tersebut.
Pada tahun 1987 Freeport McMoran membentuk anak perusahaan bernama Freeport McMoran Copper Company, Inc dengan menjual 85,4% dari sahamnya pada PT Freeport Indonesia Inc. Setelah ditemukannya Grasberg (menyimpan deposit tembaga nomor 3 terbesar dan tambang emas terbesar di dunia) pada tahun 1988, Freeport McMoran Copper Company, Inc (FCX) mendaftarkan diri ke New York Stock Exchange (NYSE). Saat itu Freeport menjual 5.000.000 lembar saham (23,4%) melalui Initial Public Offering (IPO), dan memperoleh sebesar US$ 3,31 miliar. Kemudian pada bulan Januari 1991, anak perusahaan tersebut merubah namanya menjadi Freeport McMoran Copper & Gold Company, Inc.
Rakyat Indonesia harus menyadari pelajaran dan kebodohan dari kasus penjualan saham ini: bahwa sumberdaya alam milik negara dan rakyat telah dijual dan digadaikan oleh Freeport kepada para investor di pasar modal. Dari hasil penjualan itu Freeport memperoleh modal dan peningkatan value perusahaan yang sangat besar. Karena tidak memiliki saham signifikan dan otomatis tidak ikut mengelola perusahaan, keuntungan peningkatan modal dan value ini tidak turut dinikmati oleh bangsa Indonesia, meskipun pemilik sah sumberdaya tambang itu adalah negara dan rakyat.Rakyat hanya menjadi penonton atas kenikmatan yang diperoleh asing dan prilaku penjajahan ini.
Net investment Freeport yang direalisasikan di Irian Jaya hingga tahun 1995 berjumlah US$ 1,92 miliar. Padahal akumulasi net income selama 10 tahun terakhir saja telah mencapai US$ 1,5 miliar (1986-1995). Ini berarti keuntungan yang dinikmati Freeport dari penambangan di Irian Jaya sangat besar. Sebagai contoh, ROE atau return on equity yang merupakan indikator tingkat pengembalian modal, selama 10 tahun terakhir adalah 38%. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kinerja yang sangat bagus dan tingkat pengembalian yang tinggi kepada para pemegang saham. Sehingga tidak mengherankan posisi modal FCX (equity outstanding) selama 10 tahun terakhir meningkat tajam sebesar 700% hingga mencapai US$ 881,7 juta (Econit, 1995).
FCX perusahaan induk dari PT Freeport Indonesia berkembang pesat selama 10 tahun terakhir. Dengan banyak ditemukannya cadangan-cadangan baru dan prospek penerimaan laba yang bagus, Freeport telah melakukan ekspansi untuk menambah kapasitas produksinya. Ekspansi ini dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti pertambahan aset yang rata-rata 41,3% setiap tahunnya dan kenaikan produksi rata-rata 30% per tahun. Sekali lagi, segala keberhasilan dan kenikmatan yang dirasakan oleh Freeport ini, hanya dapat kita tonton tanpa ikut merasakan atau menikmatinya secara optimal, meskipun sumberdaya alam itu milik negara kita.
Operating income diperoleh FCX (yang sebagian berasal dari PT Freeport Indonesia) selama tahun 1986-1995 rata-rata meningkat sebesar 60 % perta tahun, dan pada tahun 1995 meningkat 112%. Pendapatan FCX rata-rata tumbuh sebesar 34% per tahun dan pada tahun 1995 naik 51 %. Sementara itu, net income selama 10 tahun terakhir rata-rata naik 56% per tahun dan pada tahun 1995 tumbuh 95%. FCX juga melakukan restrukturisasi untuk menekan biaya administrasi dan biaya produksi. Pada tahun 1989, total biaya produksinya per pound tembaga mencapai US$ 0,53, pada tahun 1995 biaya produksinya hanya 0,34 atau turun 36%. Sedang tahun 2008 hanya sekitar US$ 0,24.
Melihat kinerja FCX cukup bagus tersebut, tidak mengherankan bila earning per share (EPS) FCX cukup besar, yaitu mencapai US$ 0,38 pada tahun 1994 dan US$ 0,98 pada tahun 1995 dan menjadi U$ 1,375 tahun 2008. Demikian juga dengan saham FCX nilainya terus naik dari US$ 3,31 pada saat IPO tahun 1988 menjadi US$21,25 pada tahun 1994 dan US$ 93,16 pada tahun 2008. Peningkatan harga saham sebesar 642% ini dan berbagai pertumbuhan yang spektakuler dalam hal nilai aset, ROI, keuntungan dsb., ini hanya dinikmati oleh FCX, investor asing dan pemegang saham swasta tertentu di Indonesia. Berbagai pertumbuhan dan keuntungan tersebut tidak dinikmati oleh bangsa Indonesia.
Pendapatan Negara yang Kecil
Indonesia sewajarnya mendapat manfaat yang proposional dari tambang yang dimilki. Hal ini bisa dicapai jika KK yang ditandatangani antara lain berisi ketentuan-ketentuan yang adil, transparan, dan memihak kepentingan negara dan rakyat. Ternyata pemerintah pada masa lalu, hingga saat, ini tidak mampu mengambil manfaat optimal.
Dalam KK Generasi I, Freeport dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, royalti dan dividen sampai tahun 1976. Sementara dari tahun 1976-1983 pemerintah hanya mengenakan pajak penghasilan badan (PPh) sebesar 35% (pada saat tarif pajak yang berlaku 41, 75%). Setelah tahun 1983, PPh yang dikenakan meningkat menjadi 41,75%. Sepanjang tahun 1974-1984, renegosiasi ketentuan kontrak, terutama terkait pajak dan royalti, serta pemilikan saham, terus dilakukan. Hasil renegosiasi tersebut antara lain adalah diberlakukannya royalti sebesar 1,4%-3,5% atas penjualan bersih tembaga, dan royalti 1% atas penjualan emas dan perak. Kesepakatan tentang royalti ini tertuang dalam ketentuan KK Generasi V.
Pembayaran pajak Freeport kepada pemerintah, seperti tercermin dalam Laporan Keuangan Freeport McMoran Copper and Gold, Co. (FCX), mengalami evolusi dari tahun 1973 sampai 1995. Pada tahun 1986, misalnya pajak yang dibayarkan US$ 5,9 juta. Jumlah ini meningkat menjadi US$ 190, 7 juta pada tahun 1995. Pajak yang dibayarkan ini relatif kecil jika dibandingkan dengan pendapatan FCX. Pada tahun 1986 misalnya, pajak ini hanyalah 7% dari pendapatan FCX, sedangkan tahun 1995 jumlahnya 10% dari pendapatan FCX. Sementara itu, berdasarkan Kontrak Karya Generasi V, saham Indonesia di PT Freeport Indonesia mencapai 20% dan PT Freeport Indonesia diharuskan membayar pajak penghasilan badan sebesar 35% dan pajak deviden dan bunga sebesar 15%, serta royalti atas penjualan produknya.
Untuk deviden, pada tahun buku 2001, pemerintah hanya mendapatkan deviden sebesar Rp 38,2 miliar (US$ 4,49 juta) dari kepemilikan saham sebesar 9,36 persen. Sementara FCX mengantongi sebagian besar deviden dengan kepemilikan saham sekitar 81,28%, yakni sebsar US$ 38,99 juta. Jumlah deviden tersebut jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya (2000), pemerintah hanya meneima deviden sebesar US$ 5 juta (sekitar Rp 42, 5 miliar).
Berdasarkan laporan keuangan tahun 2008, total pendapatan Freeport (FCX) adalah US$ 3,703 miliar. Dari pendapatan tersebut, Freeport memperoleh keuntungan total sebesar US$ 1,415 miliar. Sedangkan pemerintah Indonesia, melalui pajak dan royalti hanya mendapat total penerimaan sebesar US$ 725 juta. Perbandingan penerimaan negara dan pendapatan atau pun keuntungan Freeport ini cukup jauh, pemerintah hanya mendapatkan setengah dari keuntungan Freeport. Padahal dalam membelanjakan kebutuhan operasi dan investasi perusahaan setiap tahun (capex dan opex), Freeport pasti telah mendapat keuntungan tambahan yang besar. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh FCX tahun 2008 tidak hanya sebesar US$ 1,415 miliar, tetapi lebih besar dari itu, dan dapat saja mencapai US$ 2 miliar.
Kita telah melihat bahwa dari tahun ke tahun, penerimaan negara dari tambang di Timika selalu jauh lebih kecil dibanding keuntungan yang diperoleh Freeport. Tak dapat dipungkiri, kecilnya penerimaan negara tersebut berpangkal dari kebijakan dan kontrak yang salah dan tidak adil. Hal ini sangat mendesak untuk dikoreksi.
Kebijakan Pemerintah yang Bermasalah
Pemerintah Indonesia seharusnya menggunakan posisi tawar (bargaining position) yang tinggi untuk mendapatkan hasil eksploitasi sumberdaya yang optimal. Secara teoritis, eksploitasi sumberdaya alam akan menghasilkan rente ekonomi, atau keuntungan yang melebihi keuntungan normal (normal profit). Keuntungan normal dapat didefinisikan sebagai keuntungan yang diperoleh dari struktur pasar yang “fully competitive”. Sementara itu, rente ekonomi adalah keuntungan yang diperoleh dari suatu struktur pasar yang tidak kompetitif ataupun dari hasil akumulasi alamiah (natural acumulation).
Pemerintah dinilai kurang optimal mengelola sumberdaya alam mineral tambang di Irian Jaya. Hal ini dapat dilihat dari keputusan serta kebijakan pemerintah dalam KK I dan KK V. Meskipun dalam KK V posisi tawar pemerintah sedikit diuntungkan, namun hal ini dapat dikatakan sebagai hal yang wajar karena Indonesia adalah pemilik sumberdaya alam mineral tambang yang dikelola Freepot. Beralihnya KK I menjadi KK V mewajibkan Freeport mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia, dengan ketentuan:
• Pengalihan sampai dengan 51% saham kepada perusahaan/perorangan nasional dalam waktu 20 tahun;
• Jika 20% saham dijual di Bursa Efek Jakarta, kewajiban pengalihan hanya sampai 45% (dan bukan 51%); yang 25% lagi dapat dijual kepada perusahaan dan perorangan nasional;
• Lima tahun setelah penandatanganan kontrak Freeport 20% sahamnya sudah harus dimiliki pihak nasional Indonesia.
Ketentuan divestasi saham kepada pemerintah secara umum berlaku untuk semua perusahaan yang menandatangani KK Generasi V. Namun, pada saat itu semua perusahaan yang menandatangani KK Generasi V masih berada dalam tahap penyelidikan umum atau eksplorasi, kecuali Freeport yang sudah berada dalam tahap produksi. KK Generasi V Freeport menetapkan bahwa Freeport sudah harus mengalihkan sahamnya segera setelah penandatanganan KK, selambat-lambatnya lima (5) tahun setelah itu.
Saham Freeport yang harus dialihkan adalah sebesar 10%, atau kalau diambil time frame 5 tahun, maka harus ada pengalihan sebesar 2% setiap tahun. Karena dalam kurun waktu lima tahun setelah KK ditandatangani Freeport telah merencanakan untuk melakukan investasi besar-besaran di Grasberg, pihak Freeport berharap bahwa ketentuan divestasi dalam KK Generasi V dapat diperingan khusus bagi Freeport.
Ternyata Freeport berhasil! Presiden dan Anggota kabinetnya kemudian mengeluarkan PP No.20/1004 yang mengizinkan investasi asing secara penuh (100%). PP ini dikeluarkan pada tahun 1994 sedang KK V dengan Freeport ditandatangani pada bulan Desember tahun 1991, atau 3 tahun sebelum PP No.20 dikeluarkan. Pada waktu disusunnya KK Generasi V Freeport, sama sekali tidak terbayangkan akan keluar peraturan yang meringankan ketentuan divestasi tersebut. Dengan PP No.20 ini pula, kesempatan pemerintah untuk ikut memiliki saham mayoritas di Freeport (FCX) menjadi hilang.
Lebih lanjut kita mencatat bagaimana penguasa orba telah bertindak merugikan negara dengan sengaja tidak memanfaatkan kesempatan membeli 10% saham, yang merupakan kelanjutan program divestasi 20% saham Freeport. Pemerintah justru memberikan kesempatan itu kepada Grup Bakrie. Ketika itu, Menteri Keuangan hanya menyetujui peningkatan pemilikan saham Indonesia dari 9% menjadi 10%. Menteri Keuangan dengan sengaja tidak menghendaki saham pemerintah lebih dari 10%. Karena itu maka Freeport menjual sahamnya kepada grup Bakrie. Masalah pembelian saham oleh Bakrie Brothers ini mendapat sorotan dari berbagai kalangan, antara lain dari Kejaksaan Agung. Namun, kelanjutan kasusnya hilang tak berbekas. Pemerintah antara lain beralasan bahwa ketentuan divestasi kepada nasional dalam KK V terutama untuk mendorong agar perusahaan pertambangan asing masuk ke dalam bursa saham di Indonesia sehingga dapat dimiliki oleh masyarakat luas. Hal ini jelas menghilangkan kesempatan bagi BUMN dan BUMD untukmendapat keuntungan.
Grup Bakrie telah menikmati keuntungan dari divestasi saham Freeport karena kebijakan pemerintah yang bermasalah. FCX juga diuntungkan dengan terbitnya PP No.20/1994. Kedua hal ini merupakan satu paket kebijakan yang diduga sarat KKN. Dalam jangka panjang Bakrie dan terutama FCX akan terus diuntungkan, kecuali ada kebijakan korektif. Terlepas dari itu, kita mencatat fakta bahwa ketentuan yang telah tercantum dalam kontrak bisa dirubah oleh ketentuan yang ada dalam PP No.20/1994. Oleh sebab itu, demi keadilan bagi seluruh rakyat, sebuah PP dari pemerintahan SBY sudah cukup untuk menghilangkan berbagai kerugian yang dalam KK Freeport dan untuk menjadikan BUMN dan BUMD menjadi pemegang saham mayoritas di Freeport/FCX.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Perusahaan asing Amerika, Freeport, baik pada saat masih menjadi perusahaan tertutup (1967-1988), maupun setelah terbuka di tahun 1988, telah mendapatkan keuntungan yang melimpah dari sumberdaya mineral di Timika Papua. Keuntungan tersebut telah menjadikan Freeport berubah dari perusahaan gurem tak dikenal menjadi perusahaan tambang raksasa di dunia hanya dalam waktu singkat. Namun, harap dicatat bahwa perubahan menjadi perusahaan raksasa ini diperoleh dengan berbagai penyelewengan, manipulasi, dugaan KKN, tekanan politik, dan jauh dari kaidah-kaidah bisnis dan pola hubungan bisnis dan negara yang terpuji dan beradab.
Di sisi lain, selama 42 tahun periode tambang (1967-2009) bangsa Indonesia tidak mendapatkan hasil yang optimal dan sebanding dari potensi Tambang Timika. Ketidakadilan ini tercermin pada penerimaan negara yang kecil dibanding keuntungan yang diperoleh Freeport dan ketimpangan yang terus berlangsung di sekitar wilayah operasi. Sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa di limbah Freeport. Dari tahun ke tahun Freeport terus menikmati keuntungan melimpah, dan jika tidak ada perubahan KK, akan terus mengeruk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia hingga tahun 2041.
Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Pemerintah harus mengajiulang dan mengoreksi kebijakan dan peraturan, serta KK pertambangan tersebut. KK dengan Freeport harus diubah sehingga mengikuti amanat konstitusi dan lebih menguntungkan bagi Indonesia dan rakyat Papua khususnya. Pemerintah, melalui BUMN, harus menguasai sebagian saham Freeport agar dapat ikut mengelola jalannya perusahaan, mengamankan penerimaan negara lewat pajak, mengawasi seluruh proses produksi, dan memperoleh peningkatan pendapatan melalui deviden.
Upaya untuk melakukan koreksi dan perbaikan kontrak mungkin telah dilakukan, namun tanpa rencana dan desain komprehesif, tanpa perjuangan yang konsisten dan berkesinambungan, serta terdistorsi oleh berbagai oknum dan prilaku KKN sehingga berujung pada kegagalan. Kegagalan upaya tersebut, di satu sisi karena kita berhadapan dengan penjajah yang sangat kuat, dan di sisi lain belum bersatunya seluruh komponen bangsa, termasuk adanya komprador. Kita sebagai bangsa harus memulai langkah-langkah perbaikan saat ini juga, diawali dengan penerbitan sebuah PP/Keppres korektif, perubahan KK, pemilikan saham, hingga penguasaan perusahaan secara mayoritas oleh konsorsium BUMN dan BUMD milik Papua.[]
foto ilustrasi: safecom
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
kita jadi tau apa yang sebenarnya terjadi... orang2 indonesia gampang dibodohi amerika... =D
ReplyDeletePenghasilan PTFI tahun 2007 sebesar ENAM RIBU LIMA RATUS LIMA PULUH LIMA US DOLLAR atau ENAM MILIAR KOMA LIMA RATUS LIMA PULUH US ? Hal ini penting sebab jika angka 6.555 Miliar USD per 2007 itu artinya PTFI berpenghasilan sebesar IDR 88.492 T bisa menutupi APBN selama 35 tahun @2.500 T/tahun tetapi jika angka anda adalah 6,555 Miliar USD berarti PTFI punya penghasilan sebesar IDR 88 T atau 4,40% terhadap APBN 2018 (IDR 13.500/USD) ya make sense-lah. Dan perhitungan sederhana oleh saya PTFI mempunyai besaran Revenue kisaran IDR 95 - 110 T per tahun (ini mirip-mirip dengan angka anda jika pemghasilan PTFI = ENAM MILIAR KOMA LIMA RATUS LIMA PULUH USD/2007.
ReplyDelete