JAKARTA (voa-islam.com) - Sungguh hina kehadiran pimpinan DPR dalam kampanye bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, dan anggota DPR lainnya telah melanggar konstitusi karena berbisnis dengan Donald Trump dan difasilitasi oleh bos MNC Group, Harry Tanoesoedibjo.
"Ketika Setya Novanto dan Fadli Zon menggunakan alibi bahwa kehadirannya di kampanye Donald Trump adalah bagian dari upaya menarik investor, maka apa yang mulanya dianggap sebagai pelanggaran etik, sekarang berubah menjadi pelanggaran konsitusi terkait hak, kewenangan, dan kewajiban DPR," kata politisi PDIP Adian Napitulus yang pernah akitf sebagai aktifis kiri FORKOT, Minggu (13/9).
Adian menjelaskan, salah satu tugas DPR adalah menyusun anggaran, bukan pencari dan pengelola anggaran. Pencari dan pengelola anggaran 100 persen adalah hak dan kewajiban eksekutif dengan semua jajaran dan lembaga di bawahnya.
Anggota Komisi II DPR ini menambahkan, dalam kerja sama investasi antara negara, ada tiga pola yang dikenal. Pertama, government to government atau kerja sama antar-pemerintah. Kedua, government to business atau kerja sama antara pemerintah ke perusahaan atau swasta di negara lain.
Adian pun menilai Setya Novanto dan Fadli Zon sudah menyalahartikan maksud dari Pasal 69 ayat 2, yang selama ini dijadikan mereka sebagai pembelaan bahwa DPR boleh mencari investor.
Menurut Adian, pasal tersebut hanya mengatur agar DPR membuat legislasi, budgeting, dan pengawasan yang ramah investasi terkait upaya mendukung politik luar negeri. Kewenangan terjauh pasal itu adalah membicarakan peluang investasi melalui pertemuan parlemen dengan parlemen yang dilakukan oleh alat kelengkapan DPR, yaitu Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP).
Belakangan, diketahui pertemuan pimpinan DPR dan Trump ini diinisiasi oleh bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo. Pada Jumat (11/9/2015) lalu, Trump Hotels Collection menyetujui kerja sama dengan MNC Group. Pertanyaannya, mengapa Ketua DPR bisa menjadi 'kacungnya' Hary Tanoe? Bagaimana bisa ketua DPR menjadi alatnya Hary Tanoe? Aneh memang. (alf/dbs/voa-islam.com)
"Ketika Setya Novanto dan Fadli Zon menggunakan alibi bahwa kehadirannya di kampanye Donald Trump adalah bagian dari upaya menarik investor, maka apa yang mulanya dianggap sebagai pelanggaran etik, sekarang berubah menjadi pelanggaran konsitusi terkait hak, kewenangan, dan kewajiban DPR," kata politisi PDIP Adian Napitulus yang pernah akitf sebagai aktifis kiri FORKOT, Minggu (13/9).
Adian menjelaskan, salah satu tugas DPR adalah menyusun anggaran, bukan pencari dan pengelola anggaran. Pencari dan pengelola anggaran 100 persen adalah hak dan kewajiban eksekutif dengan semua jajaran dan lembaga di bawahnya.
Anggota Komisi II DPR ini menambahkan, dalam kerja sama investasi antara negara, ada tiga pola yang dikenal. Pertama, government to government atau kerja sama antar-pemerintah. Kedua, government to business atau kerja sama antara pemerintah ke perusahaan atau swasta di negara lain.
Adian pun menilai Setya Novanto dan Fadli Zon sudah menyalahartikan maksud dari Pasal 69 ayat 2, yang selama ini dijadikan mereka sebagai pembelaan bahwa DPR boleh mencari investor.
Menurut Adian, pasal tersebut hanya mengatur agar DPR membuat legislasi, budgeting, dan pengawasan yang ramah investasi terkait upaya mendukung politik luar negeri. Kewenangan terjauh pasal itu adalah membicarakan peluang investasi melalui pertemuan parlemen dengan parlemen yang dilakukan oleh alat kelengkapan DPR, yaitu Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP).
Belakangan, diketahui pertemuan pimpinan DPR dan Trump ini diinisiasi oleh bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo. Pada Jumat (11/9/2015) lalu, Trump Hotels Collection menyetujui kerja sama dengan MNC Group. Pertanyaannya, mengapa Ketua DPR bisa menjadi 'kacungnya' Hary Tanoe? Bagaimana bisa ketua DPR menjadi alatnya Hary Tanoe? Aneh memang. (alf/dbs/voa-islam.com)
No comments:
Post a Comment