Oleh: Kholili Hasib
TERLEPAS dari polemik dan kasus-kasus Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa, 22 Juli 2014 secara resmi menetapkan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai pemenang.
Pengumuman dari KPU ini pasti akan mengecewakan sebagai pihak. Apalagi terkait santernya isu kecurangan. Belum lagi, kemenangan Jokowi bukanlah kemenangan mutlak. Kemenangan tipis. Jokowi-Kalla (53,15% atau 70.633.576 suara), Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (46,85% atau 62.262.844 suara). Dengan demikian, separuh orang adalah kelompok yang kurang berkenan pada Jokowi, yang tentu tidak bisa dikecilkan artinya.
Bagaimanapun, bagi umat Islam, kemenangan Jokowi ini perlu diambil hikmahnya.
Pertama, Urusan Agama
Bagi para cendekiawan — khususnya ulama — siapapun presidennya, mereka wajib terus berjuang mewujudkan Indonesia yang bertakwa. Menyampaikan dakwah dengan hikmah, amar ma’ruf nahi munkar. Selalu mengingatkan penguasa agar taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Ketika pertama kali dirancang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers), karakter negara yang diinginkan adalah sebuah ‘Negara berketuhanan, berkeadilan dan bermartabat’.
Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas menunukkan bahwa sila yang paling asas ini mengandung makna tauhid. Klausul negara berketuhanan atas dasar pemahaman tauhid ini tidak berlebihan. Sebab, kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai berkat jasa besar para ulama, santri dan kaum Muslimin, berperang melawan penjajah.
Mendiang Jendral Abdul Haris Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30). Presiden baru Indonesia, diharapkan memperhatikan ini.
Jika negeri ini ingin bermartabat, terhormat dan maju, maka sudah sepatutnya, negara ini siap untuk tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi Wassallam, sesuai amanah pendiri bangsa. Konsep iman dan takwa ini merupakan konsep yang ideal bagi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim.
Selain itum Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pernah berpesan: “Pemimpin diangkat untuk menegakkan agama”. Inilah tugas utama pemimpin.
Karena itu bisa diterima keraguan para ulama terhadap Jokowi bisa menjadi ‘menjaga agama’. Sebab sampai hari ini, dari kalangan santri dan ulama masih bimbang dan khawatir, apakah Jokowi mampu mengemban amanah agung ini?
Nah, mengingkat penentangan kalangan kaum santri saat Pilpres lalu pada pasangan Jokowi-JK, maka sudah saatnya Jokowi membuktikan dan meyakinkan pada kaum santri dan para ulama bahwa Jokowi bisa melaksanakan tugas besar ini.
Kebimbangan dan kekhawatiran tersebut tentu saja bukan atas dasar sentimen ketidaksukaan terhadap pribadi tertentu. Berita-berita Tim sukses (Timses) orang di sekeliling Jokowi yang begitu massif akan mendukung aliran sesat, menutup kolom agama di KTP, menghapus Perda Syariat dll sudah diketahui publik.
Jika Jokowi ingin lebih berdaulat (agar suara mass Praboro yang 46 %) bisa berpihak padanya, buktikan bahwa isu-isu tentang pengaruh tangan asing, komunis baru, Kristen radikal, liberal dan aliran sesat di sekitarnya adalah tidak benar. Bukan dengan balik menekan santri dan ulama. Apalagi memusuhinya. Sambutlah isu itu tersebut dengan cantik. Jokowi perlu mengakomodir aspirasi-aspirasi kaum santri dan ulama, serta memberi seluas-luasnya jalan dakwah. Bukan dengan sekedar pencitraan atau aktifitas pemalsuan. Sebab, pemalsuan dan pencitraan ilusif justru akan menambah masalah baru buat Jokowi di kemudian hari.
Dua, Cara Allah Menampakkan kepada Publik
Munculnya Jokowi sebagai calon presiden sesungguhnya adalah wasilah dan menjadi pembelajaran bagi bangsa dan umat Muslim. Melalu Jokowi Allah menunjukkan yang dulu ‘gelap’ menjadi ‘terang’. Karena al haq tetap tidak akan bisa di sembunyikan.
Betapa media-media, kaum cendekiawan, peneliti yang dulu dipelajari di buku-buku sebagai kelompok “suci” yang kedudukannya selalu “netral” dan adil” itu tidaklah semua benar.
Justru melalui jalan Jokowi-lah Allah menunjukkan wajah aslinya, siapa sesungguhnya mereka?
Siapa menyangka media-media besar, bahkan wartawan senior sekelas Jacob Oetama, Dahlan Iskan, Goenawan Mohammad tak malu menunjukkan pembelaan bahkan ikut menjadi partisan. Media dan pers yang dulu dianggap menjadi lembaga netral hanya kita kenal di buku-buku.
Tak ketinggalan para peneliti dan cendekiawan yang dulu dikagumi anak muda karena kejernihannya rupanya tak bisa menahan hasrat partisannya. Semua aakhirnya muncul ke permukaan. Semua adalah cara Allah menampakkan pada umat Islam. Bersyukurlah dengan kehadiran Jokowi, Allah menampakkan wajah-wajah asli mereka.
Ingat pesan Imam al-Ghazali yang mengatakan: “Setiap penguasa, selalu mempunyai kemungkinan untuk berbuat dzalim. Kecuali penguasa yang beriman kepada Allah, berteman dan dikelilingi orang-orang yang beriman pula. Mereka saling mengingatkan dan memberi nasihat, hanya demi kebaikan dan bukan untuk kepentingan. Tapi ketika seorang penguasa dikelilingi orang-orang yang jahat, maka kedzaliman hanya tinggal menunggu masa untuk dirasakan. Dan ketika semua itu terjadi, kerusakan akan merajalela, kehancuran di depan mata, menggelincirkan manusia dari jalan kebenaran dan menjadikan kesesatan sebagai panutan.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin).
Tiga, Cara Allah Meringankan Beban
Puluhan kiai dan ulama pesantren di mayoritas kantong-kantong NU di Indonesia menitipkan amanah kepada Prabowo-Hatta. Meminjam istilah Dr Adian Husaini, wakil Ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) kekalahan Prabowo sekaligus menjadi nasehat bagi kita semua, bahwa kita harus melihat semuanya dengan perspektif islami.
Jika tidak jadi Presiden, Allah ta'ala telah meringankan Prabowo Subianto dari beban teramat berat di akhirat. Sebab bagi seorang Muslim, kata Adian, kekuasaan merupakan salah satu jalan untuk ibadah. Sebab masih masih banyak jalan lain untuk ibadah.
“Perjuangan santri dan ulama adalah untuk menegakkan kebenaran. Sukses tidaknya perjuangan jangan hanya diukur dari diraih tidaknya kursi kekuasaan”, demikian nasihat Adian Husaini.
Empat, Tak Cukup di Mimbar
Bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslimin, memang harus terus diedukasi. Para cendekiawan dan ulama harus sering turun ke ‘bawah’. Fakta membuktikan, tidak semuanya umat ini mendengar fatwa para ulama. Masih banyak mereka yang hanya melihat persoalan secara duniawi saja.
Rupanya tak cukup bagi umat sekedar dihimbau sekali hanya melalui mimbar. Sebab para ulama, dai, tokoh agama harus perlu menjelaskan satu-persatu dengan cara turun ke bawah, langsung pada umat.
Fakta membuktikan, masyarakat memang cerdas dalam memilih sosok namun tidak cerdas membedakan mana haq dan mana bathil.
Lima, Cermin Masyakat, Cermin Kita
Mengutip KH Arifin Ilham, umat Islam tidak kalah, sebab sejatinya jumlah umat Islam adalah kelompok mayoritas yang bisa saja dimenangkan Allah, jika Allah berkehandak. Hanya masalahnya, sedikit sekali umat Islam –bahkan menganggap kecil bahkan masih banyak yang main-main– urusan kepemimpinan seperti ini. Sebagian malah suka berteriak-teriat di luar tapi tak ikut ambil bagian/berkontribusi dan tak ikut memberi penyadaran.
Alkisah ada seorang khawarij yang datang menemui Ali bin Abi Thalib ra seraya berkata, “Wahai khalifah Ali, mengapa pemerintahanmu banyak di kritik oleh orang tidak sebagaimana pemerintahannya Abu Bakar dan Umar?!” Sahabat Ali Menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang semisalku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu!”
Sesunnguhnya keadaan rakyat itu ya mencerminkan bagaimana pemimpinnya.
كَمَا تَكُوْنُوْنَ يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Bagaimanapun keadaan kalian (rakyat), maka begitulah keadaan pemimpin kalian.”
Enam, Memperbaiki Diri
Jika ingin mendapatkan pemimpin yang baik maka, mari kita mulai berjuang memperbaiki diri kita dari sekarang untuk mendapatkan pemimpin yang baik di masa yang akan datang. Kita kaum Muslimin masih gemar berpecah-belah. Mengungkit-ungkit persoalan kecil dalam agama sehingga menjadi isu besar.
Bahkan ada yang suka mencela ulama dan menyesatkan gara-gara ikut Pemilu yang dianggap haram. Bisakah untuk mengutakaman persatuan umat yang suka memvonis itu menahan diri untuk tidak mencela?
Tujuh, Berkhusnudzon kepada Jokowi
Kini, amanah di pundak Jokowi. Sebagai seorang Muslim, Jokowi, sudah sepatutnya juga mendengarkan nasihat santri, ulama dan keraguan umat Islam selama ini atasnya. Amanahnya adalah, dirikan negeri ini berdasarkan atas iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah ketika menjadi Wali Kota Solo, Jokowi sempat merapat juga ke ulama?
Kepada presiden baru, kami menitipkan, bahwa negara ini lebih beradab jika pemimpin memerikan prioritas dan penghargaan yang tinggi kepada ulama, ilmuan dan orang-orang yang berjasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dalam negara yang beradab, maka pengaturan anggaran harus diproritaskan untuk membangun kemandirian bangsa, sehingga bangsa ini tidak tergantung kepada bangsa lain, agar tidak menjadi bangsa yang hina dan gambang didikte oleh bangsa asing.
Rakyat yang mayoritas Muslim ini wajib didorong untuk dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, agar mereka menjadi manusia yang jujur dalam keimanannya kepada Allah, tidak mengikuti prilaku iblis.
Agar semua terlaksana dengan baik, seorang pemimpin harus menempatkan Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati. Karena itu sangat tepat keputusan Mahkamah Konstitusi RI tahun 2010, yang mempertahankan UU No. 1/PNPS/1965 yang melarang berkembangnya aliran atau paham yang merusak bangsa dan agama yang tidak diakui di Inonesia.
Mari camkan pesan Imam al-Gazali: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381)
Karena itu sudah wajar jika umat Islam menginginkan Jokowi ikut menjaga akidah umat Islam, memberantas kezaliman dan nahi munkar, serta mengawal umat Islam agar bisa melaksanakan syariatnya.
Delapan, Itulah Takdir
Tauhid kita mengajarkan ada takdir Allah di setiap kejadian, bahkan termasuk jarum jatuh ke bumi atau debu-debu yang beterbangan. Kekuasaan itu milik Allah dan akan selalu dipergilirkan oleh Allah. Kejadian ini bukan semata-mata kemenangan media atau tim sukses, tapi memang Allah yang berkendak.
Sebagaimana firman Allah:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada yang Kau hendaki, Engkau cabut kekuasaan kepada yang Kau hendaki, Engkau muliakan orang melalui kekuasaan kepada yang Kau hendaki, dan Engkau hinakan melalui kekuasaan kepada Yang Kau hendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran: 26).
Jikapun ada yang merasa kalah, tetaplah gembira, setidaknya yang kalan telah ikut bersama barisan ulama, meski Allah tidak mentakdirkannya.*
TERLEPAS dari polemik dan kasus-kasus Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa, 22 Juli 2014 secara resmi menetapkan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai pemenang.
Pengumuman dari KPU ini pasti akan mengecewakan sebagai pihak. Apalagi terkait santernya isu kecurangan. Belum lagi, kemenangan Jokowi bukanlah kemenangan mutlak. Kemenangan tipis. Jokowi-Kalla (53,15% atau 70.633.576 suara), Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (46,85% atau 62.262.844 suara). Dengan demikian, separuh orang adalah kelompok yang kurang berkenan pada Jokowi, yang tentu tidak bisa dikecilkan artinya.
Bagaimanapun, bagi umat Islam, kemenangan Jokowi ini perlu diambil hikmahnya.
Pertama, Urusan Agama
Bagi para cendekiawan — khususnya ulama — siapapun presidennya, mereka wajib terus berjuang mewujudkan Indonesia yang bertakwa. Menyampaikan dakwah dengan hikmah, amar ma’ruf nahi munkar. Selalu mengingatkan penguasa agar taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Ketika pertama kali dirancang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers), karakter negara yang diinginkan adalah sebuah ‘Negara berketuhanan, berkeadilan dan bermartabat’.
Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas menunukkan bahwa sila yang paling asas ini mengandung makna tauhid. Klausul negara berketuhanan atas dasar pemahaman tauhid ini tidak berlebihan. Sebab, kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai berkat jasa besar para ulama, santri dan kaum Muslimin, berperang melawan penjajah.
Mendiang Jendral Abdul Haris Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30). Presiden baru Indonesia, diharapkan memperhatikan ini.
Jika negeri ini ingin bermartabat, terhormat dan maju, maka sudah sepatutnya, negara ini siap untuk tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi Wassallam, sesuai amanah pendiri bangsa. Konsep iman dan takwa ini merupakan konsep yang ideal bagi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim.
Selain itum Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pernah berpesan: “Pemimpin diangkat untuk menegakkan agama”. Inilah tugas utama pemimpin.
Karena itu bisa diterima keraguan para ulama terhadap Jokowi bisa menjadi ‘menjaga agama’. Sebab sampai hari ini, dari kalangan santri dan ulama masih bimbang dan khawatir, apakah Jokowi mampu mengemban amanah agung ini?
Nah, mengingkat penentangan kalangan kaum santri saat Pilpres lalu pada pasangan Jokowi-JK, maka sudah saatnya Jokowi membuktikan dan meyakinkan pada kaum santri dan para ulama bahwa Jokowi bisa melaksanakan tugas besar ini.
Kebimbangan dan kekhawatiran tersebut tentu saja bukan atas dasar sentimen ketidaksukaan terhadap pribadi tertentu. Berita-berita Tim sukses (Timses) orang di sekeliling Jokowi yang begitu massif akan mendukung aliran sesat, menutup kolom agama di KTP, menghapus Perda Syariat dll sudah diketahui publik.
Jika Jokowi ingin lebih berdaulat (agar suara mass Praboro yang 46 %) bisa berpihak padanya, buktikan bahwa isu-isu tentang pengaruh tangan asing, komunis baru, Kristen radikal, liberal dan aliran sesat di sekitarnya adalah tidak benar. Bukan dengan balik menekan santri dan ulama. Apalagi memusuhinya. Sambutlah isu itu tersebut dengan cantik. Jokowi perlu mengakomodir aspirasi-aspirasi kaum santri dan ulama, serta memberi seluas-luasnya jalan dakwah. Bukan dengan sekedar pencitraan atau aktifitas pemalsuan. Sebab, pemalsuan dan pencitraan ilusif justru akan menambah masalah baru buat Jokowi di kemudian hari.
Dua, Cara Allah Menampakkan kepada Publik
Munculnya Jokowi sebagai calon presiden sesungguhnya adalah wasilah dan menjadi pembelajaran bagi bangsa dan umat Muslim. Melalu Jokowi Allah menunjukkan yang dulu ‘gelap’ menjadi ‘terang’. Karena al haq tetap tidak akan bisa di sembunyikan.
Betapa media-media, kaum cendekiawan, peneliti yang dulu dipelajari di buku-buku sebagai kelompok “suci” yang kedudukannya selalu “netral” dan adil” itu tidaklah semua benar.
Justru melalui jalan Jokowi-lah Allah menunjukkan wajah aslinya, siapa sesungguhnya mereka?
Siapa menyangka media-media besar, bahkan wartawan senior sekelas Jacob Oetama, Dahlan Iskan, Goenawan Mohammad tak malu menunjukkan pembelaan bahkan ikut menjadi partisan. Media dan pers yang dulu dianggap menjadi lembaga netral hanya kita kenal di buku-buku.
Tak ketinggalan para peneliti dan cendekiawan yang dulu dikagumi anak muda karena kejernihannya rupanya tak bisa menahan hasrat partisannya. Semua aakhirnya muncul ke permukaan. Semua adalah cara Allah menampakkan pada umat Islam. Bersyukurlah dengan kehadiran Jokowi, Allah menampakkan wajah-wajah asli mereka.
Ingat pesan Imam al-Ghazali yang mengatakan: “Setiap penguasa, selalu mempunyai kemungkinan untuk berbuat dzalim. Kecuali penguasa yang beriman kepada Allah, berteman dan dikelilingi orang-orang yang beriman pula. Mereka saling mengingatkan dan memberi nasihat, hanya demi kebaikan dan bukan untuk kepentingan. Tapi ketika seorang penguasa dikelilingi orang-orang yang jahat, maka kedzaliman hanya tinggal menunggu masa untuk dirasakan. Dan ketika semua itu terjadi, kerusakan akan merajalela, kehancuran di depan mata, menggelincirkan manusia dari jalan kebenaran dan menjadikan kesesatan sebagai panutan.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin).
Tiga, Cara Allah Meringankan Beban
Puluhan kiai dan ulama pesantren di mayoritas kantong-kantong NU di Indonesia menitipkan amanah kepada Prabowo-Hatta. Meminjam istilah Dr Adian Husaini, wakil Ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) kekalahan Prabowo sekaligus menjadi nasehat bagi kita semua, bahwa kita harus melihat semuanya dengan perspektif islami.
Jika tidak jadi Presiden, Allah ta'ala telah meringankan Prabowo Subianto dari beban teramat berat di akhirat. Sebab bagi seorang Muslim, kata Adian, kekuasaan merupakan salah satu jalan untuk ibadah. Sebab masih masih banyak jalan lain untuk ibadah.
“Perjuangan santri dan ulama adalah untuk menegakkan kebenaran. Sukses tidaknya perjuangan jangan hanya diukur dari diraih tidaknya kursi kekuasaan”, demikian nasihat Adian Husaini.
Empat, Tak Cukup di Mimbar
Bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslimin, memang harus terus diedukasi. Para cendekiawan dan ulama harus sering turun ke ‘bawah’. Fakta membuktikan, tidak semuanya umat ini mendengar fatwa para ulama. Masih banyak mereka yang hanya melihat persoalan secara duniawi saja.
Rupanya tak cukup bagi umat sekedar dihimbau sekali hanya melalui mimbar. Sebab para ulama, dai, tokoh agama harus perlu menjelaskan satu-persatu dengan cara turun ke bawah, langsung pada umat.
Fakta membuktikan, masyarakat memang cerdas dalam memilih sosok namun tidak cerdas membedakan mana haq dan mana bathil.
Lima, Cermin Masyakat, Cermin Kita
Mengutip KH Arifin Ilham, umat Islam tidak kalah, sebab sejatinya jumlah umat Islam adalah kelompok mayoritas yang bisa saja dimenangkan Allah, jika Allah berkehandak. Hanya masalahnya, sedikit sekali umat Islam –bahkan menganggap kecil bahkan masih banyak yang main-main– urusan kepemimpinan seperti ini. Sebagian malah suka berteriak-teriat di luar tapi tak ikut ambil bagian/berkontribusi dan tak ikut memberi penyadaran.
Alkisah ada seorang khawarij yang datang menemui Ali bin Abi Thalib ra seraya berkata, “Wahai khalifah Ali, mengapa pemerintahanmu banyak di kritik oleh orang tidak sebagaimana pemerintahannya Abu Bakar dan Umar?!” Sahabat Ali Menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang semisalku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu!”
Sesunnguhnya keadaan rakyat itu ya mencerminkan bagaimana pemimpinnya.
كَمَا تَكُوْنُوْنَ يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Bagaimanapun keadaan kalian (rakyat), maka begitulah keadaan pemimpin kalian.”
Enam, Memperbaiki Diri
Jika ingin mendapatkan pemimpin yang baik maka, mari kita mulai berjuang memperbaiki diri kita dari sekarang untuk mendapatkan pemimpin yang baik di masa yang akan datang. Kita kaum Muslimin masih gemar berpecah-belah. Mengungkit-ungkit persoalan kecil dalam agama sehingga menjadi isu besar.
Bahkan ada yang suka mencela ulama dan menyesatkan gara-gara ikut Pemilu yang dianggap haram. Bisakah untuk mengutakaman persatuan umat yang suka memvonis itu menahan diri untuk tidak mencela?
Tujuh, Berkhusnudzon kepada Jokowi
Kini, amanah di pundak Jokowi. Sebagai seorang Muslim, Jokowi, sudah sepatutnya juga mendengarkan nasihat santri, ulama dan keraguan umat Islam selama ini atasnya. Amanahnya adalah, dirikan negeri ini berdasarkan atas iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah ketika menjadi Wali Kota Solo, Jokowi sempat merapat juga ke ulama?
Kepada presiden baru, kami menitipkan, bahwa negara ini lebih beradab jika pemimpin memerikan prioritas dan penghargaan yang tinggi kepada ulama, ilmuan dan orang-orang yang berjasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dalam negara yang beradab, maka pengaturan anggaran harus diproritaskan untuk membangun kemandirian bangsa, sehingga bangsa ini tidak tergantung kepada bangsa lain, agar tidak menjadi bangsa yang hina dan gambang didikte oleh bangsa asing.
Rakyat yang mayoritas Muslim ini wajib didorong untuk dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, agar mereka menjadi manusia yang jujur dalam keimanannya kepada Allah, tidak mengikuti prilaku iblis.
Agar semua terlaksana dengan baik, seorang pemimpin harus menempatkan Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati. Karena itu sangat tepat keputusan Mahkamah Konstitusi RI tahun 2010, yang mempertahankan UU No. 1/PNPS/1965 yang melarang berkembangnya aliran atau paham yang merusak bangsa dan agama yang tidak diakui di Inonesia.
Mari camkan pesan Imam al-Gazali: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381)
Karena itu sudah wajar jika umat Islam menginginkan Jokowi ikut menjaga akidah umat Islam, memberantas kezaliman dan nahi munkar, serta mengawal umat Islam agar bisa melaksanakan syariatnya.
Delapan, Itulah Takdir
Tauhid kita mengajarkan ada takdir Allah di setiap kejadian, bahkan termasuk jarum jatuh ke bumi atau debu-debu yang beterbangan. Kekuasaan itu milik Allah dan akan selalu dipergilirkan oleh Allah. Kejadian ini bukan semata-mata kemenangan media atau tim sukses, tapi memang Allah yang berkendak.
Sebagaimana firman Allah:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada yang Kau hendaki, Engkau cabut kekuasaan kepada yang Kau hendaki, Engkau muliakan orang melalui kekuasaan kepada yang Kau hendaki, dan Engkau hinakan melalui kekuasaan kepada Yang Kau hendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran: 26).
Jikapun ada yang merasa kalah, tetaplah gembira, setidaknya yang kalan telah ikut bersama barisan ulama, meski Allah tidak mentakdirkannya.*
Ada satu senjata yang hebat dan paling ampuh yang "mereka" kuasai. Saking hebatnya, senjata tsb bisa menyerang dan masuk ke rumah2 dan kamar2 kaum muslimin yang ada di negara ini tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti.
ReplyDeleteDengan nyanyian, GUYONAN dan GOYANGAN, senjata tersebut berhasil membuat masyarakat kita yang mayoritas muslim terhipnotis, tersihir... lalai dan malas berfikir. Belum lagi senjata tersebut lihai dalam memainkan dan membolak-balik data dan fakta (TIPU DAYA). Ketahuilah senjata mereka itu adalah TV alias TELEVISI!