"Man Jadda Wa Jada.” (Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya)
Hidayatullah.com--Kemiskinan bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan, boleh jadi, justru kemiskinanlah yang menjadi ‘cambuk’ penyemangat untuk menggapai cita-cita yang tinggi. Itulah yang dilakukan oleh Hadi beberapa puluhan tahun silam. Tak pingin terpuruk terus menerus dalam hal ekonomi, membuat Hadi nekat untuk terus melanjutkan sekolah, seklaipun hasratnya tersebut bertentangan dengan kehendak kedua orang tuanya. Ia menyadari, bahwa, hanya ilmulah yang mampu mengangkat derajat keluarganya, khususnya, dirinya sendiri dari ketidakberdayaan hidup, terutama masalah ekonomi, “Nabi kan pernah bersabda, bahwa barang siapa yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, maka ilmulah kuncinya” ujar Hadi menyitir salah satu hadits Nabi Muhammad.
“Siapa yang akan membiayai sekolahmu? Wong makan saja kita sulit. Sudahlah, bantu saja bapak ngaret atau nyari kayu di hutan, ndak usah mikirin sekolah”. Demikianlah jawaban yang diterima Hadi, ketika ia menuturkan keinginannya untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi lagi.
Waktu itu, Hadi baru lulus SD. Sekalipun dapat balasan yang negatif dari orangtua, tidak membuat Hadi uring-uringan. Dia faham, bahwa kondisilah yang menyebabkan mereka memiliki pemikiran demikian. sebab itu, dia menjelaskan kepada kedua orang tuanya, soal biaya sekolah, dia tidak akan membebani mereka, ”Saya akan mencari uang sendiri untuk biaya sekolah. Yang terpenting, ibu dan bapak mengizinkan saya sekolah,” tegas Hadi waktu itu, yang kemudian dikabulkan oleh ibu dan bapaknya.
Dari segi finansial, memang, waktu itu, keluarga Hadi tergolong keluarga papa. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan saja, mereka masih kelepotan. Hampir setiap hari, yang menjadi menu utama mereka adalah nasih putih dan sepotong tempe atau ikan asin, ”kalau lauknya ikan asin, semuanya harus habis, hatta kepala dan tulang-tulangnya. Kalau tidak, ibu akan marah. Dibilang mubadzir” kenang Hadi.
Karena itu, nyaris masa kanak-kanaknya digunakan untuk membantu orang tua menyari kayu atau merumput di hutan. Setiap sepulang sekolah, dia langsung tancap gas untuk menunaikan tugas-tugas tersebut, tak peduli panasnya terik sinar matahari atau derasnya guyuran hujan. Jadi, bisa dibilang, sejak dini, Hadi telah terlatih untuk hidup mandiri. Sebab itu, senyum sumringah nampak di wajahnya, ketika orang tuanya mengabulkan permohonannya untuk melanjutkan studi, sekalipun harus berjuang sendiri.
Merantau
Tidak lama setelah itu, Hadi kecilpun mulai menyusun rencana. Dia putuskan untuk melanjutkan sekolah di salah satu sekolah Islam yang berlokasi di kota Surabaya. Padahal, daerah kelahirannya itu Lamongan. Jarak antar keduanya (Lamongan-Surabaya) ± 90 km.
Tidak berapa lama setibanya di kota pahlawan tersebut, Hadi langsung bergerak untuk mencari biaya hidup. Berbagai macam pekerjaan pernah dilakoni, salah satunya adalah sebagai sales roti. Jangan dibayangkan, dalam mengedarkan barang-barangnya, Hadi menggunakan sepedah motor, sehingga mempermudah jarak tempuh. Tidak sama sekali. Dia menggunakan sepedah pancal. Hampir setiap hari, Hadi harus menempuh berkilo-kilo meter perjalanan dengan mengayuh sepedah untuk menjajakan jualannya.
Selain tekun bekerja, ada kelebihan lain yang dimiliki Hadi. Dia mampu membaca peluang bisnis. Dan keistimewaan inilah yang kemudian hari, menyebabkannya menjadi orang sukses. Pernah suatu hari, kenangnya, dia menghadap kepala sekolah, untuk mengajukan diri menjadi fasilitator dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekolah/guru. –misal- pembuatan seragam guru. Bagai kejatuhan buah duren, sang-kepala sekolah pun mengabulkan. Dan dari sini, penghasilan Hadi mulai bertambah. Bahkan, meskipun tidak banyak, dia mampu mengirimi keluarganya uang, untuk belanja atau sebagai tambahan biaya sekolah adik-adiknya.
Siswa Berprestasi
Hadi bukanlah tipe anak yang hanya piawai dalam mencari ma’isyah (kehidupan). Dalam hal intelektualitas, dia juga tidak ketinggalan. Terbukti, hampir setiap semesteran, nilainya selalu yang terbaik, sehingga berhak mendapatkan beasiswa dari pihak sekolah. Terang saja, kondisi demikian sedikit-banyak telah meringankan biaya hidupnya.
Selesai mengetaskan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Hadi langsung melanjutkan sutidanya (SMA) di almamater yang sama. Prestasi-prestasi akademis, terus dia peroleh, sehingga nyaris dia tidak pernah membayar uang sekolah.
Terakhir beasiswa dia dapatkan ketika dirinya dinyatakan lulus di salah satu Universitas Negeri ternama di kota yang sama, Surabaya. Hal ni diberikan pihak sekolah untuk jangka waktu satu semester kepadanya, sebagai bentuk apresiasi, karena Hadi merupakan alumnus pertama sekolah tersebut yang mampu lulus di universitas negeri,”sebelumnya tidak pernah ada yang lulus”, paparnya.
Ada kenangan yang tak terlupakan oleh Hadi, ketika dia dinyatakan lulus SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasis Baru) di universitas tersebut. Perasaan senang dan bingung, bahagia dan sedih bercampur aduk mengiringi kesuksesannya. Betapa tidak, sebagai calon mahasiswa, tentu dia bangga dengan kekeberhasilannya. Akan tetapi, di lain pihak, dia juga dibingungkan dengan biaya kuliah yang pastinya tidak sedikit.
Di tengah kekalutannya tersebut, Hadi memutuskan untuk berkonsultasi dengan pihak keluarga, terutama kepada sang-ayah dan ibu. Mendengar tuturan dari buah hatinya, air mata sang-ibu tak terbendung, membasahi kedua pipinya. Dengan suara agak tertahan oleh isakan tangis bahagia, perempuan tersebut menyerahkan sesuatu pada Hadi, ”Ini maskawin ibu. Ambillah untuk biaya kuliahmu,” tuturnya yang membuat Hadi agak merinding mendengarnya, yang kemudian juga mencucurkan air mata. Pada awalnya, pemberian tersebut ditolak oleh Hadi, namun, karena melihat begitu kerasnya keinginan bundanya tersebut, Hadipun mengambilnya sebagai bekal untuk kuliah.
Emas tersebut kemudia dijual oleh Hadi. Sebagian untuk biaya kuliah dan biaya hidupnya, sebagian lagi, untuk membuka bisnis warung kecil-kecilan. Setelah menyelesaikan studinya, yang memang fokus mengambil jurusan ekonomi, Hadi langsung terjun kelapangan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh.
Bisnis di area pelabuhan adalah incarannya. Hal itu dipilih, karena dia yakin bahwa pelabuhan merupakan pusat dari kegiatan ekonomi, ”Di sinilah (pelabuhan), seluruh barang-barang ekspor/impor mangkal untuk pertama kali, sebelum diedarkan ke seluruh daerah/negara. Peluang ini yang saya tangkap”. terangnya menuturkan alasannya. Berkat keuletan Hadi, tak ayal, dari tahun ke tahun bisnisnya terus berkembang. Bahkan, kini Hadi telah menjadi salah satu milioder. Dia telah memiliki ratusan kayawan/karyawati. Bisnisnyapun telah melebar ke penyewaan villa, butik, apotik, dan lain-lain. Bahkan, relasi bisnisnya pun tidak lagi seputar Indonesia, namun, telah melebar ke beberapa negara, salah satunya adalah China.
“Siapa yang akan membiayai sekolahmu? Wong makan saja kita sulit. Sudahlah, bantu saja bapak ngaret atau nyari kayu di hutan, ndak usah mikirin sekolah”. Demikianlah jawaban yang diterima Hadi, ketika ia menuturkan keinginannya untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi lagi.
Waktu itu, Hadi baru lulus SD. Sekalipun dapat balasan yang negatif dari orangtua, tidak membuat Hadi uring-uringan. Dia faham, bahwa kondisilah yang menyebabkan mereka memiliki pemikiran demikian. sebab itu, dia menjelaskan kepada kedua orang tuanya, soal biaya sekolah, dia tidak akan membebani mereka, ”Saya akan mencari uang sendiri untuk biaya sekolah. Yang terpenting, ibu dan bapak mengizinkan saya sekolah,” tegas Hadi waktu itu, yang kemudian dikabulkan oleh ibu dan bapaknya.
Dari segi finansial, memang, waktu itu, keluarga Hadi tergolong keluarga papa. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan saja, mereka masih kelepotan. Hampir setiap hari, yang menjadi menu utama mereka adalah nasih putih dan sepotong tempe atau ikan asin, ”kalau lauknya ikan asin, semuanya harus habis, hatta kepala dan tulang-tulangnya. Kalau tidak, ibu akan marah. Dibilang mubadzir” kenang Hadi.
Karena itu, nyaris masa kanak-kanaknya digunakan untuk membantu orang tua menyari kayu atau merumput di hutan. Setiap sepulang sekolah, dia langsung tancap gas untuk menunaikan tugas-tugas tersebut, tak peduli panasnya terik sinar matahari atau derasnya guyuran hujan. Jadi, bisa dibilang, sejak dini, Hadi telah terlatih untuk hidup mandiri. Sebab itu, senyum sumringah nampak di wajahnya, ketika orang tuanya mengabulkan permohonannya untuk melanjutkan studi, sekalipun harus berjuang sendiri.
Merantau
Tidak lama setelah itu, Hadi kecilpun mulai menyusun rencana. Dia putuskan untuk melanjutkan sekolah di salah satu sekolah Islam yang berlokasi di kota Surabaya. Padahal, daerah kelahirannya itu Lamongan. Jarak antar keduanya (Lamongan-Surabaya) ± 90 km.
Tidak berapa lama setibanya di kota pahlawan tersebut, Hadi langsung bergerak untuk mencari biaya hidup. Berbagai macam pekerjaan pernah dilakoni, salah satunya adalah sebagai sales roti. Jangan dibayangkan, dalam mengedarkan barang-barangnya, Hadi menggunakan sepedah motor, sehingga mempermudah jarak tempuh. Tidak sama sekali. Dia menggunakan sepedah pancal. Hampir setiap hari, Hadi harus menempuh berkilo-kilo meter perjalanan dengan mengayuh sepedah untuk menjajakan jualannya.
Selain tekun bekerja, ada kelebihan lain yang dimiliki Hadi. Dia mampu membaca peluang bisnis. Dan keistimewaan inilah yang kemudian hari, menyebabkannya menjadi orang sukses. Pernah suatu hari, kenangnya, dia menghadap kepala sekolah, untuk mengajukan diri menjadi fasilitator dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekolah/guru. –misal- pembuatan seragam guru. Bagai kejatuhan buah duren, sang-kepala sekolah pun mengabulkan. Dan dari sini, penghasilan Hadi mulai bertambah. Bahkan, meskipun tidak banyak, dia mampu mengirimi keluarganya uang, untuk belanja atau sebagai tambahan biaya sekolah adik-adiknya.
Siswa Berprestasi
Hadi bukanlah tipe anak yang hanya piawai dalam mencari ma’isyah (kehidupan). Dalam hal intelektualitas, dia juga tidak ketinggalan. Terbukti, hampir setiap semesteran, nilainya selalu yang terbaik, sehingga berhak mendapatkan beasiswa dari pihak sekolah. Terang saja, kondisi demikian sedikit-banyak telah meringankan biaya hidupnya.
Selesai mengetaskan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Hadi langsung melanjutkan sutidanya (SMA) di almamater yang sama. Prestasi-prestasi akademis, terus dia peroleh, sehingga nyaris dia tidak pernah membayar uang sekolah.
Terakhir beasiswa dia dapatkan ketika dirinya dinyatakan lulus di salah satu Universitas Negeri ternama di kota yang sama, Surabaya. Hal ni diberikan pihak sekolah untuk jangka waktu satu semester kepadanya, sebagai bentuk apresiasi, karena Hadi merupakan alumnus pertama sekolah tersebut yang mampu lulus di universitas negeri,”sebelumnya tidak pernah ada yang lulus”, paparnya.
Ada kenangan yang tak terlupakan oleh Hadi, ketika dia dinyatakan lulus SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasis Baru) di universitas tersebut. Perasaan senang dan bingung, bahagia dan sedih bercampur aduk mengiringi kesuksesannya. Betapa tidak, sebagai calon mahasiswa, tentu dia bangga dengan kekeberhasilannya. Akan tetapi, di lain pihak, dia juga dibingungkan dengan biaya kuliah yang pastinya tidak sedikit.
Di tengah kekalutannya tersebut, Hadi memutuskan untuk berkonsultasi dengan pihak keluarga, terutama kepada sang-ayah dan ibu. Mendengar tuturan dari buah hatinya, air mata sang-ibu tak terbendung, membasahi kedua pipinya. Dengan suara agak tertahan oleh isakan tangis bahagia, perempuan tersebut menyerahkan sesuatu pada Hadi, ”Ini maskawin ibu. Ambillah untuk biaya kuliahmu,” tuturnya yang membuat Hadi agak merinding mendengarnya, yang kemudian juga mencucurkan air mata. Pada awalnya, pemberian tersebut ditolak oleh Hadi, namun, karena melihat begitu kerasnya keinginan bundanya tersebut, Hadipun mengambilnya sebagai bekal untuk kuliah.
Emas tersebut kemudia dijual oleh Hadi. Sebagian untuk biaya kuliah dan biaya hidupnya, sebagian lagi, untuk membuka bisnis warung kecil-kecilan. Setelah menyelesaikan studinya, yang memang fokus mengambil jurusan ekonomi, Hadi langsung terjun kelapangan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh.
Bisnis di area pelabuhan adalah incarannya. Hal itu dipilih, karena dia yakin bahwa pelabuhan merupakan pusat dari kegiatan ekonomi, ”Di sinilah (pelabuhan), seluruh barang-barang ekspor/impor mangkal untuk pertama kali, sebelum diedarkan ke seluruh daerah/negara. Peluang ini yang saya tangkap”. terangnya menuturkan alasannya. Berkat keuletan Hadi, tak ayal, dari tahun ke tahun bisnisnya terus berkembang. Bahkan, kini Hadi telah menjadi salah satu milioder. Dia telah memiliki ratusan kayawan/karyawati. Bisnisnyapun telah melebar ke penyewaan villa, butik, apotik, dan lain-lain. Bahkan, relasi bisnisnya pun tidak lagi seputar Indonesia, namun, telah melebar ke beberapa negara, salah satunya adalah China.
No comments:
Post a Comment