”Saya percaya Allah tak pernah tidur.” Siapa yang mau membantu agama Allah, Allah sendiri yang akan membantunya!
DAKWAH ibarat jalan. Tidak selamanya lurus dan mulus. Terkadang, terjal menanjak dan penuh onak. Seorang Nabi SAW- kekasih Allah SWT- kakinya pernah berdarah dilempar batu ketika berdakwah di Thaif. Tapi, Nabi juga pernah dapat “kalungan bunga” oleh penduduk Yastrib. Demikianlah suka-duka dalam berdakwah.
Setidaknya, itulah yang pernah saya alami beberapa tahun silam. Ceritanya, usai nikah, saya diamanahi membuka lahan dakwah dari pesantren tempat saya dibesarkan. Tugas baru saya adalah Kota Madiun.
Pertama kali melangkahkan kaki bersama istri, saya tidak membawa bekal sama sekali. Hanya ongkos perjalanan. Itu saja. Bahkan sampai di Madiun, cuma tersisa uang Rp. 3 ribu dan langsung habis untuk beli nasi pecel untuk kami berdua.
Esok harinya, karena tidak ada uang lagi, saya memberanikan diri meminjam uang ke istri. Kebetulan, istri waktu itu punya Rp. 150 ribu dari mertua. Uang tersebut kami gunakan untuk bertahan hidup beberapa hari. Dan, di sela-sela itu, saya memulai dakwah dan bersilaturahim ke sejumlah warga.
Belum lama tinggal, bekal pun belum ada, rumah sementara yang saya tempati akan dijadikan poliklinik. Saya dan istri akhirnya harus pindah dalam waktu dekat. Kontan, saya pun bingung bukan kepalang.
”Wah, tinggal di mana nanti,” lirihku dalam hati. Kendati begitu, saya harus yakin ada rumah yang bisa saya tempati.
Ketika itu, keyakinanku makin kuat. Keyakinan ini berdasar pada salah satu surat dalam al-Quran yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Haj:40].
Saat itu saya haqqul yakin, siapa yang menolong agama Allah, pasti akan ditolong-Nya. Saya pun tak putus asa berdoa sambil terus berusaha, meski deadline tinggal di rumah tersebut tinggal beberapa hari lagi.
Alhamdulillah, istri saya tidak ikut bingung meski dia tahu kekalutan yang ada di benakku. Dia justru menyakinkanku. ”Abi, insya Allah, pertolongan Allah tidak telat. Percayalah,” ujarnya pelan. Saya pun jadi berfikir lebih jernih.
Suatu hari, saya bersilaturahim ke salah satu direktur sebuah perusahaan barang bangunan. Sebut saja Abdullah (Hamba Allah). Dia direktur baru di perusahaan itu. Dia pun tahu kondisi saya. Ternyata, dia akan pindah ke Jawa Barat (Jabar) untuk menjadi direktur baru di sana. Di Madiun, dia tinggal di perumahan paling elit dengan perabotan rumah yang baru dan lengkap. Rumah tersebut, dia kontrak untuk jangka tiga tahun. Padahal, dia bersama istri dan kedua anaknya baru menempati selama satu tahun.
”Saya mau pindah ke Jabar, bapak tinggal di sini saja,” begitu katanya secara tiba-tiba.
Subhanallah, saya terbengong seolah tak percaya. ”Rumah ini masih dua tahun lagi masa kontraknya. Jadi bisa diteruskan. Lebih baik bapak tinggal dulu di sini, ya kan?” katanya meyakinkan. Entah, karena kaget atau apa, saya masih diam tanpa kata.
”Tinggal di rumah mewah seperti ini,” batinku seolah tak percaya. Betapa cepat Allah membantu kesulitan saya berdua?
Sebenarnya berat juga rasanya. Bukan apa-apa, selama ini, saya tinggal di rumah kecil seadanya, kini harus tinggal di rumah termewah se-Madiun. Tapi, mau bagaimana lagi. Mungkin sudah takdir Allah. Sebab, sampai saat itu, saya belum dapat rumah yang bisa ditempati. Bismillah, akhirnya, tawarannya saya terima.
Ia akhirnya memberikan kunci rumah kepada saya. Tak hanya itu, ternyata seluruh isi rumah yang baru dia beli, diberikan kepada saya. Dia hanya membawa TV dan kasur kecil. Padahal sisanya masih banyak dan puluhan juta jika dirupiahkan. Ada perlengkapan sofa, almari terbuat dari kayu jati, ranjang, meja belajar dan berbagai perabotan dapur yang mewah dan cukup mahal.
Tak hanya itu, dia juga memberikan bunga anggrek yang mahal-mahal. Untuk almari dari kayu jati, harganya kira-kira Rp 5 juta. Itu sekitar tahun 1997. Jadi, sangat besar nilainya. Penjual almari saja ketika tahu dia akan pindah, buru-buru hendak membelinya kembali. Namun sang pemilik, justru tak suka menjualnya.
Dia memang bijak. Tak ingin hanya memberi begitu saja. Setidaknya, ada jerih payah sebagai pengorbanan. Meski, hemat saya, jumlah sebesar itu, bagi dia tidak terlalu berarti. Akhirnya, dia meminta saya membeli semua perabotan rumah itu dengan harga sangat murah, Rp. 2 juta saja. Itupun bisa dicicil dalam tempo setahun.
Setelah kejadian itu, saya jadi sadar, bahwa Allah memang tidak pernah tidur. Allah tahu keperluan yang dimiliki kekasih-Nya, para dai dalam mendakwahkan agama-Nya.
Memberatkan
Akhirnya, saya bersama istri, yang kala itu masih berbulan-madu akhirnya bisa tinggal di rumah mewah. Hanya saja, tinggal di rumah seperti ini juga tidak lantas membuatku tenang.
Tinggal di kompleks seperti ini, justru sering memberatkanku. Saya harus membayar berbagai tagihan. Mulai dari kebersihan, keamanan, arisan, sumbangan, iuran dan tetek bengek lainnya. Tak seperti di kampung kecil. Tapi, ya itulah. Setidaknya saya bisa merasakan bagaimana dipandang menjadi orang kaya. Saya yakin, pengalaman ini tak akan terjadi jika bukan karena ada di barisan ”penolong agama Allah”.
Pertolongan demi pertolongan semacam itu tak hanya sekali. Bahkan kerap terjadi. Hampir jika sedang butuh, Allah langsung memberikan bantuan-Nya.
Sebagai dai, saya sudah ditugaskan ke berbagai daerah. Pernah di Gresik, pernah di Malang, Kota Batu, Jawa Timur, bahkan ke Aceh. Nah, karena nomaden dan harus tinggal lama, keluarga sering saya tinggal sendiri di kampung, di Kota Jember, Jawa Timur, bersama mertua.
Untuk membawa istri jelas tidak mungkin. Pasalnya, dakwah dalam keadaan minus, akan menyulitkan keluarga. Terlebih, waktu itu istri harus mengurusi nenek yang lagi kena stroke. Tak pelak, dari sekitar tahun 1997 hingga sekarang, saya selalu tinggal jauh dengan keluarga. Apalagi waktu jadi relawan tsunami di Aceh. Selama tiga tahun, hanya bisa pulang beberapa kali saja. Kontan, seluruh tanggung jawab di rumah di-handle istri. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah juga, istri selalu bisa melakukan itu dengan baik.
Jika tak pulang, saya sering mengirim uang kepada istri. Kadang banyak, kadang secukupnya yang saya miliki. Bahkan kadang amat sedikit. Bahagianya rasanya mendapat istri sepintar dia. Rupanya, tanpa sepengatahuanku, dia membuka warung kecil-kecilan di rumah, dari hasil kirimanku.
Tak hanya itu, beserta ibu-ibu warga setempat, ia membuka sekolah TK. Atas kegigihannya, Allah terus memberikan kemudahan.
Saya baru tahu, ketika suatu hari istri bercerita, jika aku tak berada di rumah, dan ketika anak-anak menginginkan sesuatu, seperti tas sekolah atau apapun, tiba-tiba ada orang yang memberinya. Begitu juga ketika modal warung habis karena sering diutangi tetangga, tak disangka, ada orang yang membayar dengan jumlah besar. Kini, warung dan TK rintisan istriku tumbuh besar. Ada sekitar 50 murid. Prestasi murid-murid juga membanggakan. Tak pelak, akhirnya TK Islam tersebut jadi rebutan banyak murid.
Kendati begitu, saya masih harus tinggal jauh dari keluarga. Saya hanya pulang dua pekan sekali. Terkadang hanya sehari atau dua hari saja. Tapi, saya telah mempersiapkan segalanya. Suatu saat, jika telah waktunya, saya akan kembali bersama keluarga. Jika Allah mentakdirkan, saya ingin membuka pondok tahfidzul qur’an. Meski sampai hari ini aku tak memiliki modal apa-apa untuk ini, aku sangat yakin dan haqqul yakin janji Allah. Siapa yang ingin menolong agama Allah, Allah sendiri yang akan membantunya. Insya Allah. [ans/seperti diceritakan A Yani pada hidayatullah.com]
No comments:
Post a Comment