Setelah mengetahui saya masuk Islam, saya hanya diberi dua pilihan; kembali ke Kristen atau keluar dari rumah
Hidayatullah. com--Nama saya Yeswa. Nama tersebut diberikan orang tuaku sebagai harapan saya menjadi penganut Kristen yang taat. Maklum, kedua orangtuaku adalah Kristen tulen. Lihat saja, dari keturunan keluarga dan lingkungan semuanya Kristen.
Ayah dan ibu termasuk orang berpengaruh di lingkungan gereja di daerahku, Remu Utara, Kab. Manokwari, Sorong, Papua. Saya lahir sekitar 23 tahun silam di daerah tersebut. Tak heran, jika saya dididik orang tuaku untuk menjadi pendeta hebat. Setiap hari, ayah menyuruhku belajar injil dan bibel.
Seiring waktu, saya tumbuh dewasa sebagai orang Kristen yang bukan saja taat, tapi paham Alkitab. Ayat demi ayat dalam bibel saya kuasai, bahkan banyak yang saya hafal. Karena itu bisa dibilang, ajaran Kristen sudah saya kuasai. Setidaknya begitu. Nah, dalam ajaran Kristen sendiri ada doktrin mengajak orang lain sebanyak mungkin masuk agama Kristen. Pengkristenan disebut misionari. Karena masih sekitar 15 tahun, saya termasuk misionaris muda. Saya mempunyai keberanian tak jauh beda dengan misionaris dewasa lainnya.
Ketika itu, langkah awal yang saya lakukan adalah mengkristenkan teman-temanku. Tidak melihat latar belakang status dan agamanya. Tak terkecuali juga dengan Islam. Saya memiliki kemampuan komunikasi cukup bagus. Karena itu, belum lama kemudian, saya telah berhasil mengkristenkan sekitar delapan orang. Memang, masih tergolong sedikit. Tapi, setidaknya itu prestasi yang membanggakan bagiku. Terutama untuk saya tunjukkan ke kedua orangtuaku.
Menjadi misionaris memang menggiurkan. Bayangkan, hampir setiap hari tak kurang dari tiga juta ada di kantong. Dari mana lagi, kalau bukan hadiah atas kerja kerasku. Namun, entah ada apa, suatu saat saya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tiba-tiba hatiku merasa ragu dan bimbang. Perasaan tersebut muncul sesaat setelah saya mulai banyak membaca literatur tentang ke-Islaman. Tadinya, saya membaca literatur tersebut sebagai bahan komparasi. Eh, ternyata justru membuat hatiku bimbang dengan kebenaran di dalam ajaran Kristen.
Pasalnya, dari literatur tersebut, banyak ayat di dalam bibel yang tidak relavan dengan logika atau irasional. Dari berbagai ayat yang menjadi pertanyaan saya adalah Bibel Matius ayat 13-26. Ayat tersebut mengatakan, “Bersyahadatlah pada Allah. Saya hanya utusan Allah. Jangan sembah saya.” Setidaknya begitu bunyinya. Padahal, sudah jelas-jelas, dalam teologi Kristen ada konsep trinitas, di mana tuhan ada tiga. “Wah kalau begini, ada yang salah konsep,” dalam benakku. Ketika itu pula, saya tanyakan kepada pendeta. Anehnya, si pendeta tak sanggup menjawab pertanyaan tersebut.
Dan, yang membuat saya tambah ragu lagi adalah banyaknya versi Alkitab dalam agama Kristen. Ada versi perjanjian lama dan perjanjian baru. Tidak hanya itu, hal yang benar-benar membuatku tak habis pikir, tidak sedikit dari isi Al-kitab yang telah diubah-ubah. Karena itu, saya yakin jika perubahan isi tersebut lantaran dipicu kepentingan politis dan agama oleh pihak-pihak tertentu. Dan ini menimbulkan isi alkitab tidak lagi orisinil keotentikannya.
Hal itu sangat berbeda dengan kitab suci umat Islam, Al-Quran. Kitab tersebut, sepengetahuanku, sejak diturunkan hingga sekarang tetap satu baik tulisan dan bacaanya. “Sebuah kitab suci yang keotentikannya terjaga sampai kiamat,” ujarku. Dan itu telah dijamin dalam ayat Al-Quran, “Sesungguhnya kami turunkan Al-Quran dan kami pula yang menjaganya.”
Untuk mengobati kegelisahan dan keraguan tersebut, sejak itu saya pun tambah giat membaca dan mempelajari buku-buku Islam. Saya lebih sering pergi ke toko buku Islam daripada baca bibel atau sekedar ke gereja untuk menemui pendeta. Di antara buku yang sering saya baca adalah tentang fikih, tasawuf, dan muamalat.
Ketika asyik membaca, tiba-tiba saya dikejutkan satu ayat dalam Al-Qur’an, “Innaddina indallahil Islam.” (tiada agama yang benar di sisi Allah, kecuali Islam). Seketika itu pula, keimanan trinitas saya runtuh. Dan saya pun percaya jika agama yang paling benar adalah Islam, bukan Kristen. Maka sekitar pertengahan 2006, di masjid Agung Papua, di bawah bimbingan seorang ustadz dan disaksikan puluhan jamaah, saya mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalimat yang membuatku secara resmi menjadi muslim. Yeswa nama lamaku kemudian diganti menjadi Mukhlis. Orang yang ikhlas. Tak ada perasaan kecuali lega, plong, dan senang ketika itu. Serasa keluar dari kegelapan menuju cahaya terang benderang.
Saya tahu, keputusan menjadi muslim pasti akan membuat keluarga murka, terutama ayahku. Sebab, dia sangat berharap agar saya menjadi pendeta dan tokoh Kristen penerus di desa tersebut. Karena itu, setelah mengetahui saya masuk Islam, saya hanya diberi dua pilihan; kembali ke Kristen atau keluar dari rumah. Pilihan yang membuatku dilematis. Satu sisi, saya sangat sayang mereka, namun keputusan saya sudah bulat. Saya pun memilih opsi kedua, diusir dari rumah dan tidak dianggap sebagai anak. Meski menerima dengan berurai air mata, tapi tak ada penyesalan sedikit pun. Ini resiko sebuah perjuangan akidah, pasti harus ada yang dikorbankan.
Usai diusir dari rumah, saya memutuskan diri merantau ke Bandung, Jawa Barat. Di kota kembang ini untuk mendalami Islam, saya kuliah di IAIN Sunan Gunung Djati jurusan Dakwah. Meski tanpa bekal memadai tentang Islam, saya diterima pihak perguruan tinggi dengan sangat baik. Bahkan oleh pihak rektorat saya diberi tempat menginap di Asrama Mahasiswa.
Kendati termasuk telat, namun saya tetap bisa mengejar ketertinggalan saya. Pasalnya, sejak kecil saya dikaruniai Allah SWT untuk memahami sesuatu dengan cepat. Dulu, sewaktu di Sekolah Dasar (SD) saya bisa menamatkan hanya dalam tempo tiga tahun. Begitu juga ketika belajar di IAIN Sunan Gunung Djati, saya cukup mudah beradaptasi dengan pelajaran dan mulai paham banyak hal. Bahkan bisa membaca al Quran dengan lancar.
Meski sudah menjadi muslim, namun perasaan bersalah masih ada. Sebab, dulu saya pernah mengkristenkan orang muslim. Mengajak mereka masuk lubang hitam. Karena itu, untuk menebusnya, di kampus saya membuat buletin Jumat. Buletin yang diberi judul “Pendeta Ditantang Debat” itu saya kerjakan sendiri. Walhasil, banyak orang Kristen yang berdialog dengan saya. Alhamdulillah, dari usaha itu, saya pun telah meng-Islamkan sekitar 40 orang Kristen. Tak sedikit dari mereka yang pendeta. Melakukan hal itu tak begitu sulit. Sebab, saya diuntungkan dengan pemahaman Kristen dan doktrin mereka. Sehingga, saya bisa masuk lewat celah yang mereka tidak sadari.
Meski jauh dari orang tua, bukan berarti tak ada rindu. Perasaan itu, hingga kini tetap membuncah di dalam dada. Ingin rasanya pulang. Karena itu, jika telah selesai kuliah, dan tidak ada halangan, saya berjanji akan kembali ke tempat kelahiranku. Tak sekedar melepaskan rasa rindu sebagai seorang anak, tapi yang lebih penting adalah mengembalikan mereka ke jalan yang benar, Islam. Begitu juga dengan masyarakat yang mayoritas Kristen di sana . Insya Allah. Amin…[Syaiful A/hidayatullah. com]
Seperti yang diceritakan Mukhlis kepada wartawan Hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment