JAKARTA (voa-islam.com) - Redaksi Voa-Islam mendapatkan kiriman email dari Raden Nuh yang ia tulis dari balik penjara. Namun hingga berita ini diturunkan belum dapat dipastikan apakah dikirim melalui perantara atau secara langsung.
Berikut curahan hati Raden Nuh yang diduga dikriminalisasi ketuka mengungkap kasus yang menyeret mantan Direktur Telkom, Arief Yahya ini.
Sejak pertama kali memutuskan jalan hidupku kembali menjadi aktivis anti korupsi, aku menyadari risiko besar yang terbentang di depan mata, selalu mengancam keselamatan dan nyawa diriku dan keluargaku.
Sudah enam kali percobaan pembunuhan atau usaha mengancam keselamatan diriku dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa teganggu oleh upayaku membongkar kasus-kasus korupsi di tanah air. Ancaman terakhir yang kualami adalah ketika gencar mengungkap dugaan korupsi di sebuah bank BUMN beberapa bulan lalu. Kala itu pihak Polda Metro Jaya dipimpin Kompol Budi bersama timnya begitu sigap bertindak mencegah rencana jahat sekelompok orang yang sudah mengincarku sejak mulai latihan golf di Driving Range Golf Senayan Jakarta.
Berbeda dengan kejadian 1 Nopember 2014 lalu, oknum-oknum Ditkrimsus Polda Metro Jaya malah secepat kilat melakukan penangkapan atas diriku, meski hanya berbekal laporan fitnah alias palsu dari Abdul Satar pada tanggal 29 Oktober 2014. Mungkin, aku adalah satu-satunya pihak terlapor dugaan tindak pidana pemerasan yang ditangkap begitu cepat seketika si pelapor mengadukan peristiwa 'pemerasan' yang dihadapinya kepada pihak polisi. Lebih hebat lagi, penangkapan terhadap diriku itu melibatkan puluhan petugas polisi Polda Metro Jaya, seolah-olah aku adalah seorang teroris yang sangat berbahaya bagi keselamatan dan keamanan negara. Sungguh merupakan perbuatan mubazir, memboroskan keuangan negara ketika orang seperti saya, yang pasti akan datang jika dipanggil penyidik ke Polda Metro Jaya, mesti harus ditangkap paksa dengan mengerahkan puluhan petugas Direktorat Polda Metro Jaya.
Kata sebagian orang pengaruh uang adalah nyata. Sebagian lagi malah menganggap uang maha kuasa. Satu atau dua miliar rupiah mungkin ditaburkan untuk menggerakan penangkapan terhadap diriku yang sejak awal hingga saat ini belum mengerti apa dasar penangkapan dan penahanan diriku ini. Kalau dituduh mengancam atau memeras, mungkin polisi Polda Metro Jaya salah orang (error in persona). Kenapa? Karena aku seumur hidup tidak pernah mengancam dan memeras orang. Kalau dibilang bahwa aku menyuruh orang lain memeras, kok rasanya aneh bin ajaib. Wong aku paling anti sama pengancaman dan pemerasan. Aku tidak pernah mengancam atau memeras mulai sejak dilahirkan hingga hari ini saat aku ditahan secara semena-mena dan melanggar hukum oleh oknum-oknum Ditkrimsus Polda Metro Jaya yang sudah masuk angin, jadi antek koruptor, pelanggar HAM dan budak uang atau pengejar jabatan.
Aku tidak ingin suudzon atau berprasangka buruk. Namun, faktanya ada saksi yang melihat sejumlah petugas dItkrimsus sedang antri menerima uang suap yang dibagi-bagi Irwan (karyawan PT Telkom) sesaat sesudah terjadi penangkapan Edi Syahputra SH, adik kandung saya yang juga advokat pada Jaringan Advokat Publik (JAP). Fakta memalukan yang mencoreng wajah Polri itu terjadi pada tanggal 27 Oktober 2014 sekitar pukul 21.00 di pelataran parkir Ditkrimsus Polda Metro Jaya. Astaghfirullah ...
Tidak cukup hanya uang suap atau bonus untuk oknum petugas yang merupakan gratifikasi berdasarkan UU anti korupsi, oknum-oknum petugas khususnya para oknum pejabat Ditkrimsus Polda Metro Jaya disebut-sebut akan menerima bonus besar berupa jaminan kelulusan ujian mengikuti Sekolah Staf Perwira Tinggi (Sespati) dan Sekolah Staf Perwira Pimpinan (Sespim) dari Abdul Satar dan Wahyu Sakti Trenggono, yang memang dikenal luas sebagai konglomerat dekat dengan para petinggi SDM Mabes Polri. Mudah-mudahan informasi ini keliru, karena sulit dibayangkan calon-calon pimpinan Polri mendapat kesempatan sekolah dengan menjadikan hukum dan keadilan sebagai komoditi barter dengan pelanggaran hukum dan HAM yang mereka telah lakukan terhadap diriku dan adikku.
Selama lebih sebulan ditahan di Polda Metro Jaya, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa semua ini merupakan rekayasa belaka dari Abdul Satar dan Trenggono cs, yang merupakan tokoh-tokoh pengendali bisnis dan manajemen PT Telkom Indonesia Tbk. Kekuasaan mereka berdua jauh di atas direksi dan komisaris PT Telkom. Tak heran kekuasaan mereka berdua begitu besar karena pengaruh uang yang maha kuasa dan koneksi politik mereka yang luar biasa.
Setelah sebelumnya tercatat sebagai elit di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), WS Trenggono bak bunglon secepat kilat menjelma menjadi petinggi Partai Amanat Nasional (PAN). Di partai matahari inilah Trenggono dan Satar berhasil memperdaya Menko Perekonomian yang juga Ketua Umum PAN untuk memecat Rinaldi Firmansyah cs dari jabatan direksi Telkom dan menempatkan Arief Yahya cs yang merupakan 'proxies' mereka untuk menduduki BUMN telekomunikasi terbesar di Indonesia itu.
Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia pernah berkata, "Nanti suaraku akan jauh nyaring terdengar dari lubang kubur". Ucapan Tan Malaka, tokoh yang kukagumi itu kini terbukti. Suara Tan Malaka menggema sejak kematiannya hingga saat ini. Dengan kerendahaan hati, izinkan diriku menyitir ucapan beliau itu. "Nanti suaraku akan jauh lebih nyaring terdengar dari balik penjara".
Tak ada kerisauan pada diriku sedikit pun ketika suaraku dicoba untuk dibungkam uang dan kekuasaan. Tak ada sedikit pun rasa gentar ketika kuyakin apa yang aku lakukan benar dan semua tuduhan fitnah itu adalah keliru. Namun, aku belum bisa mengatakan bahwa aku kini merasa bahagia, karena perjuangku untuk turut memberantas korupsi, penyakit terbesar bangsa ini belum berhasil maksimal.
Meski sudah lebih 50 koruptor kakap negeri ini masuk bui, sedikit banyak karena kontribusiku sebagai advokat anti korupsi, namun ketika aku berupaya membongkar korupsi PT Telkom Indonesia Tbk dan PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk, bermoduskan akuisisi dan share swap , upayaku kandas. Kekuatan uang dan kekuasaan politik durjana tiba-tiba menjelma menjadi tembok baja penghalang. Kata seniorku, "mohon bersabar karena korupsi mereka puluhan triliun rupiah dan dengan hasil korupsi itu mereka bisa membeli siapa saja termasuk oknum polisi dan hukum di negeri ini !"
Blok A/1 Tahti Polda Metro Jaya,
Raden Nuh.
Demikian informsi dari Raden Nuh, mantan pendiri akun TrioMacan2000 yang fenomenal dan habis diberangus pemerintah Jokowi ini. [ahmed/voa-islam.com]
Berikut curahan hati Raden Nuh yang diduga dikriminalisasi ketuka mengungkap kasus yang menyeret mantan Direktur Telkom, Arief Yahya ini.
Sejak pertama kali memutuskan jalan hidupku kembali menjadi aktivis anti korupsi, aku menyadari risiko besar yang terbentang di depan mata, selalu mengancam keselamatan dan nyawa diriku dan keluargaku.
Sudah enam kali percobaan pembunuhan atau usaha mengancam keselamatan diriku dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa teganggu oleh upayaku membongkar kasus-kasus korupsi di tanah air. Ancaman terakhir yang kualami adalah ketika gencar mengungkap dugaan korupsi di sebuah bank BUMN beberapa bulan lalu. Kala itu pihak Polda Metro Jaya dipimpin Kompol Budi bersama timnya begitu sigap bertindak mencegah rencana jahat sekelompok orang yang sudah mengincarku sejak mulai latihan golf di Driving Range Golf Senayan Jakarta.
Berbeda dengan kejadian 1 Nopember 2014 lalu, oknum-oknum Ditkrimsus Polda Metro Jaya malah secepat kilat melakukan penangkapan atas diriku, meski hanya berbekal laporan fitnah alias palsu dari Abdul Satar pada tanggal 29 Oktober 2014. Mungkin, aku adalah satu-satunya pihak terlapor dugaan tindak pidana pemerasan yang ditangkap begitu cepat seketika si pelapor mengadukan peristiwa 'pemerasan' yang dihadapinya kepada pihak polisi. Lebih hebat lagi, penangkapan terhadap diriku itu melibatkan puluhan petugas polisi Polda Metro Jaya, seolah-olah aku adalah seorang teroris yang sangat berbahaya bagi keselamatan dan keamanan negara. Sungguh merupakan perbuatan mubazir, memboroskan keuangan negara ketika orang seperti saya, yang pasti akan datang jika dipanggil penyidik ke Polda Metro Jaya, mesti harus ditangkap paksa dengan mengerahkan puluhan petugas Direktorat Polda Metro Jaya.
Kata sebagian orang pengaruh uang adalah nyata. Sebagian lagi malah menganggap uang maha kuasa. Satu atau dua miliar rupiah mungkin ditaburkan untuk menggerakan penangkapan terhadap diriku yang sejak awal hingga saat ini belum mengerti apa dasar penangkapan dan penahanan diriku ini. Kalau dituduh mengancam atau memeras, mungkin polisi Polda Metro Jaya salah orang (error in persona). Kenapa? Karena aku seumur hidup tidak pernah mengancam dan memeras orang. Kalau dibilang bahwa aku menyuruh orang lain memeras, kok rasanya aneh bin ajaib. Wong aku paling anti sama pengancaman dan pemerasan. Aku tidak pernah mengancam atau memeras mulai sejak dilahirkan hingga hari ini saat aku ditahan secara semena-mena dan melanggar hukum oleh oknum-oknum Ditkrimsus Polda Metro Jaya yang sudah masuk angin, jadi antek koruptor, pelanggar HAM dan budak uang atau pengejar jabatan.
Aku tidak ingin suudzon atau berprasangka buruk. Namun, faktanya ada saksi yang melihat sejumlah petugas dItkrimsus sedang antri menerima uang suap yang dibagi-bagi Irwan (karyawan PT Telkom) sesaat sesudah terjadi penangkapan Edi Syahputra SH, adik kandung saya yang juga advokat pada Jaringan Advokat Publik (JAP). Fakta memalukan yang mencoreng wajah Polri itu terjadi pada tanggal 27 Oktober 2014 sekitar pukul 21.00 di pelataran parkir Ditkrimsus Polda Metro Jaya. Astaghfirullah ...
Tidak cukup hanya uang suap atau bonus untuk oknum petugas yang merupakan gratifikasi berdasarkan UU anti korupsi, oknum-oknum petugas khususnya para oknum pejabat Ditkrimsus Polda Metro Jaya disebut-sebut akan menerima bonus besar berupa jaminan kelulusan ujian mengikuti Sekolah Staf Perwira Tinggi (Sespati) dan Sekolah Staf Perwira Pimpinan (Sespim) dari Abdul Satar dan Wahyu Sakti Trenggono, yang memang dikenal luas sebagai konglomerat dekat dengan para petinggi SDM Mabes Polri. Mudah-mudahan informasi ini keliru, karena sulit dibayangkan calon-calon pimpinan Polri mendapat kesempatan sekolah dengan menjadikan hukum dan keadilan sebagai komoditi barter dengan pelanggaran hukum dan HAM yang mereka telah lakukan terhadap diriku dan adikku.
Selama lebih sebulan ditahan di Polda Metro Jaya, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa semua ini merupakan rekayasa belaka dari Abdul Satar dan Trenggono cs, yang merupakan tokoh-tokoh pengendali bisnis dan manajemen PT Telkom Indonesia Tbk. Kekuasaan mereka berdua jauh di atas direksi dan komisaris PT Telkom. Tak heran kekuasaan mereka berdua begitu besar karena pengaruh uang yang maha kuasa dan koneksi politik mereka yang luar biasa.
Setelah sebelumnya tercatat sebagai elit di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), WS Trenggono bak bunglon secepat kilat menjelma menjadi petinggi Partai Amanat Nasional (PAN). Di partai matahari inilah Trenggono dan Satar berhasil memperdaya Menko Perekonomian yang juga Ketua Umum PAN untuk memecat Rinaldi Firmansyah cs dari jabatan direksi Telkom dan menempatkan Arief Yahya cs yang merupakan 'proxies' mereka untuk menduduki BUMN telekomunikasi terbesar di Indonesia itu.
Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia pernah berkata, "Nanti suaraku akan jauh nyaring terdengar dari lubang kubur". Ucapan Tan Malaka, tokoh yang kukagumi itu kini terbukti. Suara Tan Malaka menggema sejak kematiannya hingga saat ini. Dengan kerendahaan hati, izinkan diriku menyitir ucapan beliau itu. "Nanti suaraku akan jauh lebih nyaring terdengar dari balik penjara".
Tak ada kerisauan pada diriku sedikit pun ketika suaraku dicoba untuk dibungkam uang dan kekuasaan. Tak ada sedikit pun rasa gentar ketika kuyakin apa yang aku lakukan benar dan semua tuduhan fitnah itu adalah keliru. Namun, aku belum bisa mengatakan bahwa aku kini merasa bahagia, karena perjuangku untuk turut memberantas korupsi, penyakit terbesar bangsa ini belum berhasil maksimal.
Meski sudah lebih 50 koruptor kakap negeri ini masuk bui, sedikit banyak karena kontribusiku sebagai advokat anti korupsi, namun ketika aku berupaya membongkar korupsi PT Telkom Indonesia Tbk dan PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk, bermoduskan akuisisi dan share swap , upayaku kandas. Kekuatan uang dan kekuasaan politik durjana tiba-tiba menjelma menjadi tembok baja penghalang. Kata seniorku, "mohon bersabar karena korupsi mereka puluhan triliun rupiah dan dengan hasil korupsi itu mereka bisa membeli siapa saja termasuk oknum polisi dan hukum di negeri ini !"
Blok A/1 Tahti Polda Metro Jaya,
Raden Nuh.
Demikian informsi dari Raden Nuh, mantan pendiri akun TrioMacan2000 yang fenomenal dan habis diberangus pemerintah Jokowi ini. [ahmed/voa-islam.com]
No comments:
Post a Comment