Oleh: Abu Zahro
PERANYATAAN Ansyaad Mbai (BNPT) tentang UU Terorisme bisa juga diberlakukan di Papua, terkesan sebagai “bargaining” dan “carmuk” (baca = cari muka). Setelah sebelumnya muncul banyak desakan dari berbagai kalangan yang mempertanyakan ketidak-adilan penyebutan “kelompok separatis” atau kelompok bersenjata di Papua bukan sebagai “teroris”. Di tengah banyaknya kesalahan prosedur yang diduga dilakukan tim Densus 88, karena sebagian yang disebut “teroris” sebenarnya masih TERDUGA.
Di sisi lain, meski sudah terbukti banyak korban yang berjatuhan -baik dari TNI maupun Polri- dalam kurun waktu yang lama tetapi penanganan kasus penembakan di Papua terkesan sangat hati-hati.
Padahal secara faktual sudah jelas-jelas penembakan di Papua sangat berkaitan erat dengan perjuangan untuk memisahkan diri dari wilayah RI. Ada asing (AS) yang bermain pada kasus Papua. AS melakukan intervensi politik dengan halus. AS telah memberikan ruang gerak kepada para aktivis pendukung Papua merdeka (pro-M) seperti Herman Wainggai yang saat ini telah menetap di AS. Meski AS terkenal dengan negara superketat terkait kedatangan orang asing.
Dalam kasus Papua, AS tidak berdiri sendiri. AS berkolaborasi dengan Inggris, Belanda dan Australia. Hillary Clinton (Menlu AS) yang pada November 2 tahun lalu di Hawai (sebagaimana dilansir AFP 11/11/2011) mengatakan bahwa Pemerintah AS telah khawatir atas kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, sehingga pihaknya akan mendorong adanya dialog dan reformasi politik berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua. (www.hankam.kompasiana.com). AS sering bermuka dua. AS bekerja sama dengan Australia untuk mengontrol separatis.
Selain itu juga melindungi kepentingan AS seperti Freeport. Lamban dan hati-hatinya sikap RI terhadap kasus Papua bisa dipahami karena bersinggungan dengan kepentingan terorisme dunia –Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya – yang telah menumpahkan darah kaum Muslimin di berbagai negara.
Pernyataan Ansyaad Mbai bahwa kasus Papua itu bisa jadi dijerat dengan UU Terorisme bertentangan dengan apa yang dia sampaikan sebelumnya. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu memastikan tindakan kekacauan di Papua secara objektif dinilai sebagai aksi teror. Meski demikian, ia menegaskan “teror tersebut tak terkait dengan terorisme internasional” seperti yang dihadapi dunia saat ini. (Sinar Harapan.com).
Juga bertolak belakang dengan yang disampaikan oleh Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Letjen Marciano Norman yang menyebut sebagai “kelompok separatis bersenjata” pada kasus penembakan di Kabupaten Puncak, Papua beberapa waktu yang lalu. (Jumat, 22/02/2013 15:45 WIB, detik News). Sembilan orang yang ditangkap di Wamena akhirnya memang hanya dikenakan UU Darurat 12/1951 tentang kepemilikan bahan peledak dan senjata api. (Berita Satu.com, Selasa, 02 Oktober 2012 | 16:22). Juga berseberangan dengan apa yang disampaikan oleh Menkopolhukam Djoko Suyanto yang menyatakan, tak perlu Instruksi Presiden (Inpres) Keamanan Nasional seperti yang dikemukakan SBY beberapa waktu lalu untuk menuntaskan “masalah penembakan sekelompok orang bersenjata di Papua” . (Rabu, 27/2/2013, Liputan6.com, Jakarta).
Pengakuan rencana perubahan penerapan hukum atas kasus Papua dengan UU Terorisme yang pada akhirnya akan memberikan label kelompok separatis Papua sebagai “teroris” oleh BNPT mengundang pertanyaan besar berbagai kalangan tentang apa maksud di balik pernyataan Ansyaad Mbai di tengah menguatnya desakan pembubaran Densus 88?
Motivasi di balik Ambigu BNPT
Ibarat sebuah permainan maka akan benar-benar diperhitungkan dengan teliti dan seksama siapa menyerang, kapan dan dengan strategi apa. Tetapi itu semua tidak merubah pemahaman dasar tentang bagaimana sebenarnya konteks perang melawan terorisme yang dimaksud oleh AS dan sekutu-sekutunya termasuk pemerintah Indonesia. Dalam konteks Indonesia yang telah menerapkan sistem demokrasi, maka penting mendalami beberapa faktor dasar sebagai berikut :
Pertama, dokumen Badan Intelijen Nasional AS mendefinisikan terorisme adalah paham yang bercita-cita atau berkeinginan untuk merealisasikan Islam secara formal. Siapapun baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen yang berkeinginan untuk menerapkan Islam kaffah secara formal maka termasuk kategori “teroris”. Ini sesuai dengan mindset yang disampaikan oleh Ansyaad Mbai baru-baru ini di Makassar, Rabu 06/03/2013 (Antara News), saat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menilai bahwa UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih lemah dan belum mengikat sepenuhnya.
Di antaranya menurut Ansyaad Mbai ajaran “Jihad” yang disinyalir telah menginspirasi dan menjadi kegiatan-kegiatan awal yang mengarah kepada terorisme belum bisa dijerat oleh UU. Padahal ajaran Islam kaffah tidak bisa dipisahkan dengan syariat, jihad dan khilafah.
Mindset Ansyaad Mbai memahami ajaran Islam sama persis dengan mindset negara Barat yang sering dikategorikan kafir muharibban fi’lan AS bersama sekutu-sekutunya memandang Islam.
Kedua, Jika benar UU Terorisme juga berlaku untuk kasus Papua maka akan berimplikasi tidak saja pada kaum Muslimin. Tetapi juga non Muslim. Sementara intelectual of reference yang dipergunakan untuk menjalankan ‘global war on terrorism’ berasal dari frame of thingking intelijen AS yang jelas-jelas menembak sasaran kaum muslimin yang berseberangan atau tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan AS di berbagai negara termasuk Indonesia dengan segala bentuk intervensinya.
Di sisi lain AS sangat memiliki kepentingan terhadap Papua yang kaya dengan kekayaan alamnya. Ini senada dengan kegamangan Ansyaad Mbai ditanya tentang kemungkinan UU Terorisme berlaku untuk kasus Papua, di Makassar, Rabu, 06/03/2013. Dia menyampaikan bahwa ini konsekwensi, daripada prinsip demokrasi yang harus di jalankan sebegaimana mestinya.
"Pemerintah tidak bisa secara otoriter langsung memperlakukan hal itu karena agenda utama kita sebetulnya bukan soal teroris, tapi bagaimana mempertahankan proses demokrasi di negeri ini,” tandasnya. Berikutnya Ansyad menyampaikan bahwa tergantung situasi yang berkembang di Papua apakah akan diberlakukan di Papua yang bisa saja mengarah kepada aksi terorisme.
Ketika berbicara soal Papua, dia mengaitkannya dengan agenda demokrasi. Maka sah-sah saja atas nama demokrasi jika pada akhirnya Papua terus bergolak diperkuat oleh tekanan Asing (AS) kemudian mengajukan referendum (jejak pendapat) dan menyatakan diri sebagai Negara Papua Merdeka. Dengan kata lain apapun bentuk perlawanan di negeri yang menerapkan sistem demokrasi ini sampai dengan perjuangan pemisahan diri dari kesatuan NKRI tidak menjadi masalah, asalkan tidak membawa kepentingan menerapkan Islam kaffah secara formal dalam penyelenggaraan kehidupan negara. Karena yang dimaksud dengan terorisme adalah terma sesuai dengan yang didiktekan oleh AS bersama sekutu-sekutunya secara frame of intelectual maupun frame of politics.
Ketiga, statemen Ansyad Mbai bahwa dimungkinkan UU Terorisme bisa diberlakukan pada kasus Papua hanyalah sebagai strategi “balancing of pschology” saja di tengah desakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan, kebiadaban, kekejaman Densus 88 dan program deradikalisasi akidah umat Islam ala BNPT yang benar-benar menikam dan merugikan umat Islam. Yang mungkin dilakukan dalam konteks kasus Papua adalah dibuatnya “legal of frame” tersendiri biar tidak overlapping dengan kepentingan UU Terorisme sebagai legal aspect Global War on Terrorism (GWOT) alias Global War on Islam (GWOI). Legal of frame yang pernah disinggung oleh SBY beberapa waktu yang lalu dalam bentuk Inpres Keamanan Nasional dan disangggah oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto dengan pertimbangan melihat perkembangan eskalasi politik yang terjadi terlebih dahulu. Pembuatan legal of frame tersendiri untuk kasus Papua akan memudahkan untuk melokalisir peta persoalan yang berada dalam domain perang melawan terorisme yang sejatinya perang melawan umat Islam yang berkeinginan menerapkan Islam secara kaffah.
Jadi apapun yang disampaikan oleh Ansyaad Mbai representasi BNPT sesungguhnya tidak merubah garis kebijakan baku rezim yang menerapkan sistem demokrasi di negeri ini terhadap GWOT sesuai dengan arahan “frame of policy” negara-negara AS dan sekutu-sekutunya. Yang telah memicu konflik internasional berkepanjangan dengan sasaran negeri-negeri Muslim. Termasuk di Indonesia. Biang dari segala bentuk kejahatan internasional/dunia di berbagai negeri-negeri Muslim sesungguhnya perlakuan sewenang-wenang Barat mengintervensi dan menghancurkan kaum Muslimin di berbagai negara dengan segala bentuk/cara baik secara militer, politik, sosial budaya, ekonomi dan semua aspek kehidupan. AS bersama sekutu-sekutunya lah yang layak disebut sebagai “Bapak Terorisme Negara” yang banyak menumpahkan darah kaum Muslimin di berbagai negeri Muslim.*
Penulis adalah aktivis Islam dan pemerhati masalah terorism.
No comments:
Post a Comment