Eramuslim.com- Perdebatan apakah perlu ikut atau tidak perlu ikut Vaksinasi kini telah menjadi polemik berkepanjangan. Para pakar kesehatan pun terbelah menjadi dua kutub, anti dan pro. Masing-masing kubu memiliki pemahaman dan pengetahuannya masing-masing.
Kubu yang Pro Vaksinasi (disingkat “PV”) mengeluarkan data-data dan semua keterangan medis dan ilmiah yang hamper seluruhnya bersandar dari badan kesehatan dunia WHO dan lembaga-lembaga kesehatan resmi.
Sedangkan Kubu Yang Anti Vaksinasi (disingkat “AV”) juga mengeluarkan data-data dan semua keterangan dari berbagai literatur penelitian, fakta di lapangan, dan lembaga-lembaga yang kebanyakan anti WHO.”Kita semua tahu siapa yang ada di belakang WHO itu,” demikian salah satu keyakinannya.
Terlepas dari keyakinan kedua kubu tersebut, penulis hanya memaparkan beberapa pengalaman penulis sendiri yang terjadi terkait masalah tersebut, dan ini benar-benar terjadi. Semua orang dan kisah yang penulis kemukakan di sini adalah nyata. Mohon maaf jika tidak bisa diungkap jatidirinya karena mereka semua masih aktif bekerja dengan badan-badan The New World Order, seperti WHO dan sebagainya.
Sikap akhir terserah Anda semua, apakah tetap mengikut pada AV atau PV. Janganlah sekali-kali memaksakan kehendak, karena kesadaran tidak akan bisa muncul dari pemaksaan.
Kisah Pertama: Pertemuan dengan Seorang Doktor Terkemuka Singapura
Akhir Maret 2015, saya diundang bertemu dengan seorang tokoh dunia kedokteran Asia, seorang Doktor elit Singapura, spesialis, yang pernah menjadi dokter kepresidenan Filipina, Singapura, dan pernah ditawar menjadi dokter pribadi Raja Kartel Opium di Kamboja-Vietnam tapi dia menolak. Namanya sangat familiar di Google. Saya mendapat kesempatan langka diundang bertemu dengannya lewat seorang perantara, adik kandung seorang artis papan atas Indonesia yang memiliki darah Eropa.
Novel “CODEX: Kosnpirasi Jahat di atas Meja Makan Kita” yang membahas tentang Codex Alimentarius–program resmi PBB lewat Henry Kissinger di mana obat-obatan dan bahan makanan dijadikan senjata pembunuh massal–di mana salah satu bagiannya mengungkap tentang konspirasi seputar vaksinasi dan zat-zat aditif lainnya, terkait dengan Georgia Guidestone di Berkeley, menjadi “tali” yang mempertemukan kami.
Saya bertemu dengannya selama sekitar satu jam di sebuah tempat rendezvous di kawasan elit Jakarta Selatan, sore hari sebelum dia berangkat ke Bandara Soetta untuk kembali ke Singapura.
Singkat cerita dia menyatakan jika di Singapura, vaksinasi sudah menjadi barang yang wajib, dan banyak hal dalam kehidupan seorang anak hanya bisa diakses jika melampirkan bukti jika dirinya sudah menerima vaksinasi.
“Padahal saya tahu jika vaksinasi itu buruk bagi ketahanan tubuhnya kelak. Tuhan telah menciptakan manusia dengan sangat sempurna, dan sebab itu manusia tidak lagi memerlukan zat-zat tambahan ketika dia lahir dan tumbuh. Kita hanya perlu menjaga tubuh ini dengan mengkonsumsi bahan-bahan makanan yang baik bagi kesehatan,” ujarnya dalam bahasa Inggris dengan logat Cina.
“Celakanya, di negeri saya, hal itu wajib. Sebagai dokter di sana, saya mau tak mau harus melakukan hal itu (vaksinasi). Ada pertentangan batin disini. Akhirnya saya mengambil satu jalan kompromis, pada setiap pasien yang datang minta vaksinasi, saya suntikan saja vitamin ke tubuhnya, dan ampul vaksinnya saya buang. Di lembar keterangan yang tersedia saya tulis jika pasien saya ini sudah menerima vaksin ini dan itu. Beres kan?” ujarnya sambil tertawa.
“Vaksin itu jahat. Dia melemahkan tubuh manusia yang sebenarnya sudah sangat sempurna ini. Di negara-negara maju sudah banyak yang melarang vaksinasi, atau melakukan vaksinasi secara sangat selektif. Hanya di Negara-negara terkebelakang saja yang massif dengan program vaksinasinya. Dan banyak yang tidak tahu jika vaksin yang ada di negara maju itu berbeda secara konten dengan vaksin yang diberikan ke negara-negara miskin dan terkebelakang. Jadi ada dua jenis vaksin di sini, dan banyak yang tidak paham dengan hal ini.”
Dokter spesialis yang wajah dan perawakannya terlihat masih muda dibandingkan usianya yang sudah lumayan ini mengaku membiasakan hidup dengan hanya mengkonsumsi bahan-bahan makanan organik dan segar.
“Saya menghindari mengkonsumsi makanan-makanan instan, dalam kemasan, MSG, dan sebagainya. Kepada anak-anak saya juga demikian. Kita sekarang ini dibombardir iklan-iklan menyesatkan tentang kehidupan yang serba praktis dan mudah, makanan cepat saji, dan sebagainya, tapi itu semua sesungguhnya racun bagi tubuh. Dewasa ini memang sedikit repot untuk bisa hidup sehat, namun apa salahnya jika kita benar-benar ingin hidup lebih panjang. Saya pribadi biasa mengkonsumsi jahe mentah, apalagi jahe biru, itu jahe langka tapi sangat bagus bagi kesehatan…”
Banyak hal yang dikemukakan pakar ini sampai tak terasa waktu semakin sore dan dia harus mengejar pesawat untuk kembali ke negaranya. Sambil melihat jam dia bertanya pada adik selebritis papan atas Indonesia yang menjadi penghubung saya dan dia, “Apakah cukup waktu untuk menembus kemacetan Jakarta menuju Bandara Soetta?”
Akhirnya karena waktu yang sudah sangat sempit, tidak mungkin bisa dengan jalan darat, dia pun memilih untuk naik ke atas gedung, menuju helikopter yang sudah siap mengantarnya ke Bandara Soetta. Dengan sangat ramah dia menyalami kami dan berdoa semoga suatu hari kelak kita bisa bertemu kembali.
Kisah Kedua: Pesan Singkat Chef Terkenal yang Harus Direnungkan
Beberapa bulan lalu, sebuah pesan singkat tiba-tiba masuk ke dalam ponsel. Isinya sebuah pertanyaan sederhana namun menyentak kesadaran.
“Sejak kapan di Indonesia ada program nasional vaksinasi?”
Karena saya tahu, saya menjawab, “Sejak awal tahun 1970-an…”
Tidak lama kemudian jawaban dari Chef sahabat saya itu tampil di layar ponsel, “Sejak itulah, usia harapan hidup orang Indonesia menjadi lebih singkat.”
Deg!
Benar juga. Di era bapak dan ibu kita hidup, usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata mampu mencapai seratusan tahun, atau paling tidak delapan puluh tahun. Orang Indonesia dahulu kuat-kuat, dan mampu berjalan puluhan kilometer walau usianya sudah tidak lagi muda.
Sekarang, usia harapan hidup orang Indonesia semakin cepat. Banyak teman-teman kita yang baru mencapai usia 40-50 sudah dijemput maut. Banyak orang-orang muda yang sudah mengidap penyakit ini dan itu. Bahkan sudah banyak usia 30-40an yang sudah menderita stroke atau jantung.
Kelompok Pro-Vaksinasi pasti memiliki alibi sendiri soal ini. Biarlah. Tapi apa yang chef sahabat saya utarakan tadi sungguh-sungguh menyentak kesadaran. Apalagi isterinya bekerja untuk badan PBB yang menelurkan Codex Alimentarius Program, di mana Kissinger pernah berkata di depan umum jika dia lewat badan PBB tersebut akan menjadikan obat-obatan, vitamin, makanan, dan sebagainya sebagai senjata pembunuh massal. Dalam artian, segala obat dan makanan akan disusupi oleh agen-agen penyakit agar manusia semakin lemah dan usia harapan hidupnya pun akan semakin singkat.
April kemarin, kami bertemu lagi di sebuah mal di pingiran Jakarta. Sekali lagi dia bercerita soal vaksinasi. Chef yang lama tinggal di Amerika itu menyatakan jika dirinya tahu jika vaksin yang ada di Amerika dan Eropa, serta negara-negara maju lainnya, itu ada yang sungguh-sungguh membuat badan kebal terhadap beberapa jenis penyakit. Namun vaksin yang disebar ke negara-negara terkebelakang seperti Indonesia, beda.
“Ada dua jenis vaksin yang diproduksi. Yang pertama yang berkualitas bagus dipakai di negara-negara maju, sedangkan yang dikirim ke negara-negara terkebelakang itu racun sebenarnya, untuk melemahkan penduduknya,” ujarnya.
Ya, pelemahan dan pemusnahan sebagian penduduk dunia, memang bukan isapan jempol. Hanya mereka yang kurang membaca, tidak kritis, dan hidup di dalam tempurung kelapa, yang menyatakan program jahat ini cuma teori konspirasi kosong yang tidak ada buktinya.
Kisah Ketiga: Anak Bungsu yang Sungguh Sehat dan Kuat Tanpa Vaksin Apa Pun.
Seorang sahabat lagi, pengusaha muda yang tinggal di kompleks perumahan elit di pinggiran ibukota, memiliki beberapa orang anak. Semua anaknya, kecuali yang bungsu, divaksin semasa kecil. Sedangkan si bungsu, sengaja tidak diberi vaksin apa pun sejak lahir.
“Subhanallah, perbedaannya sungguh nyata! Anak-anak saya yang pertama dan adik-adiknya itu sejak kecil langganan rumah sakit. Pilek atau batuk sedikit saja langsung menjadi parah dan bahkan harus dirawat di rumah sakit. Dokter-dokternya menjadi teman akrab anak-anak saya tersebut. Mereka mudah sekali terserang penyakit dan jika sudah sakit maka akan berkepanjangan…
Beda sekali dengan si bungsu. Anak saya yang bungsu ini sama sekali tidak diberi vaksin. Hal ini menuai kontroversi di keluarga karena beberapa saudara saya ada yang berprofesi sebagai dokter yang Pro Vaksinasi. Anak bungsu saya ini hanya diberi suplemen madu, habbatusauda, dan herbal lainnya. Ternyata si bungsu ini sungguh kuat ketahanan tubuhnya. Dia tidak mudah sakit. Dan kalau pun pilek, maka itu cuma sebentar dan akan hilang jika diberi madu dan istirahat yang cukup. Ini sangat berbeda dengan kakak-kakaknya.”
“Apakah dengan kasus ini saudara-saudara yang dokter menjadi sadar dan akhirnya meralat pandangannya soal vaksin?” tanya saya.
Dia menggeleng dan tertawa, “Tidak juga. Mereka masih saja berpandangan jika vaksin itu perlu. Sungguh hebat memang sistem pendidikan globalis ini sehingga apa-apa yang ditanamkan ke dalam otak anak didik bisa terpatri dengan sangat kuat…”
Nah, tiga kisah ini saja dulu yang saya paparkan. Masih ada kisah-kisah lainnya sesungguhnya. Namun biarlah cukup disini. Sekarang terserah kepada kita semua, apakah akan tetap mendukung program vaksinisasi atau tidak. Semuaya tergantung pada masing-masing individu. (rz)
Must Read!
Kubu yang Pro Vaksinasi (disingkat “PV”) mengeluarkan data-data dan semua keterangan medis dan ilmiah yang hamper seluruhnya bersandar dari badan kesehatan dunia WHO dan lembaga-lembaga kesehatan resmi.
Sedangkan Kubu Yang Anti Vaksinasi (disingkat “AV”) juga mengeluarkan data-data dan semua keterangan dari berbagai literatur penelitian, fakta di lapangan, dan lembaga-lembaga yang kebanyakan anti WHO.”Kita semua tahu siapa yang ada di belakang WHO itu,” demikian salah satu keyakinannya.
Terlepas dari keyakinan kedua kubu tersebut, penulis hanya memaparkan beberapa pengalaman penulis sendiri yang terjadi terkait masalah tersebut, dan ini benar-benar terjadi. Semua orang dan kisah yang penulis kemukakan di sini adalah nyata. Mohon maaf jika tidak bisa diungkap jatidirinya karena mereka semua masih aktif bekerja dengan badan-badan The New World Order, seperti WHO dan sebagainya.
Sikap akhir terserah Anda semua, apakah tetap mengikut pada AV atau PV. Janganlah sekali-kali memaksakan kehendak, karena kesadaran tidak akan bisa muncul dari pemaksaan.
Kisah Pertama: Pertemuan dengan Seorang Doktor Terkemuka Singapura
Akhir Maret 2015, saya diundang bertemu dengan seorang tokoh dunia kedokteran Asia, seorang Doktor elit Singapura, spesialis, yang pernah menjadi dokter kepresidenan Filipina, Singapura, dan pernah ditawar menjadi dokter pribadi Raja Kartel Opium di Kamboja-Vietnam tapi dia menolak. Namanya sangat familiar di Google. Saya mendapat kesempatan langka diundang bertemu dengannya lewat seorang perantara, adik kandung seorang artis papan atas Indonesia yang memiliki darah Eropa.
Novel “CODEX: Kosnpirasi Jahat di atas Meja Makan Kita” yang membahas tentang Codex Alimentarius–program resmi PBB lewat Henry Kissinger di mana obat-obatan dan bahan makanan dijadikan senjata pembunuh massal–di mana salah satu bagiannya mengungkap tentang konspirasi seputar vaksinasi dan zat-zat aditif lainnya, terkait dengan Georgia Guidestone di Berkeley, menjadi “tali” yang mempertemukan kami.
Saya bertemu dengannya selama sekitar satu jam di sebuah tempat rendezvous di kawasan elit Jakarta Selatan, sore hari sebelum dia berangkat ke Bandara Soetta untuk kembali ke Singapura.
Singkat cerita dia menyatakan jika di Singapura, vaksinasi sudah menjadi barang yang wajib, dan banyak hal dalam kehidupan seorang anak hanya bisa diakses jika melampirkan bukti jika dirinya sudah menerima vaksinasi.
“Padahal saya tahu jika vaksinasi itu buruk bagi ketahanan tubuhnya kelak. Tuhan telah menciptakan manusia dengan sangat sempurna, dan sebab itu manusia tidak lagi memerlukan zat-zat tambahan ketika dia lahir dan tumbuh. Kita hanya perlu menjaga tubuh ini dengan mengkonsumsi bahan-bahan makanan yang baik bagi kesehatan,” ujarnya dalam bahasa Inggris dengan logat Cina.
“Celakanya, di negeri saya, hal itu wajib. Sebagai dokter di sana, saya mau tak mau harus melakukan hal itu (vaksinasi). Ada pertentangan batin disini. Akhirnya saya mengambil satu jalan kompromis, pada setiap pasien yang datang minta vaksinasi, saya suntikan saja vitamin ke tubuhnya, dan ampul vaksinnya saya buang. Di lembar keterangan yang tersedia saya tulis jika pasien saya ini sudah menerima vaksin ini dan itu. Beres kan?” ujarnya sambil tertawa.
“Vaksin itu jahat. Dia melemahkan tubuh manusia yang sebenarnya sudah sangat sempurna ini. Di negara-negara maju sudah banyak yang melarang vaksinasi, atau melakukan vaksinasi secara sangat selektif. Hanya di Negara-negara terkebelakang saja yang massif dengan program vaksinasinya. Dan banyak yang tidak tahu jika vaksin yang ada di negara maju itu berbeda secara konten dengan vaksin yang diberikan ke negara-negara miskin dan terkebelakang. Jadi ada dua jenis vaksin di sini, dan banyak yang tidak paham dengan hal ini.”
Dokter spesialis yang wajah dan perawakannya terlihat masih muda dibandingkan usianya yang sudah lumayan ini mengaku membiasakan hidup dengan hanya mengkonsumsi bahan-bahan makanan organik dan segar.
“Saya menghindari mengkonsumsi makanan-makanan instan, dalam kemasan, MSG, dan sebagainya. Kepada anak-anak saya juga demikian. Kita sekarang ini dibombardir iklan-iklan menyesatkan tentang kehidupan yang serba praktis dan mudah, makanan cepat saji, dan sebagainya, tapi itu semua sesungguhnya racun bagi tubuh. Dewasa ini memang sedikit repot untuk bisa hidup sehat, namun apa salahnya jika kita benar-benar ingin hidup lebih panjang. Saya pribadi biasa mengkonsumsi jahe mentah, apalagi jahe biru, itu jahe langka tapi sangat bagus bagi kesehatan…”
Banyak hal yang dikemukakan pakar ini sampai tak terasa waktu semakin sore dan dia harus mengejar pesawat untuk kembali ke negaranya. Sambil melihat jam dia bertanya pada adik selebritis papan atas Indonesia yang menjadi penghubung saya dan dia, “Apakah cukup waktu untuk menembus kemacetan Jakarta menuju Bandara Soetta?”
Akhirnya karena waktu yang sudah sangat sempit, tidak mungkin bisa dengan jalan darat, dia pun memilih untuk naik ke atas gedung, menuju helikopter yang sudah siap mengantarnya ke Bandara Soetta. Dengan sangat ramah dia menyalami kami dan berdoa semoga suatu hari kelak kita bisa bertemu kembali.
Kisah Kedua: Pesan Singkat Chef Terkenal yang Harus Direnungkan
Beberapa bulan lalu, sebuah pesan singkat tiba-tiba masuk ke dalam ponsel. Isinya sebuah pertanyaan sederhana namun menyentak kesadaran.
“Sejak kapan di Indonesia ada program nasional vaksinasi?”
Karena saya tahu, saya menjawab, “Sejak awal tahun 1970-an…”
Tidak lama kemudian jawaban dari Chef sahabat saya itu tampil di layar ponsel, “Sejak itulah, usia harapan hidup orang Indonesia menjadi lebih singkat.”
Deg!
Benar juga. Di era bapak dan ibu kita hidup, usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata mampu mencapai seratusan tahun, atau paling tidak delapan puluh tahun. Orang Indonesia dahulu kuat-kuat, dan mampu berjalan puluhan kilometer walau usianya sudah tidak lagi muda.
Sekarang, usia harapan hidup orang Indonesia semakin cepat. Banyak teman-teman kita yang baru mencapai usia 40-50 sudah dijemput maut. Banyak orang-orang muda yang sudah mengidap penyakit ini dan itu. Bahkan sudah banyak usia 30-40an yang sudah menderita stroke atau jantung.
Kelompok Pro-Vaksinasi pasti memiliki alibi sendiri soal ini. Biarlah. Tapi apa yang chef sahabat saya utarakan tadi sungguh-sungguh menyentak kesadaran. Apalagi isterinya bekerja untuk badan PBB yang menelurkan Codex Alimentarius Program, di mana Kissinger pernah berkata di depan umum jika dia lewat badan PBB tersebut akan menjadikan obat-obatan, vitamin, makanan, dan sebagainya sebagai senjata pembunuh massal. Dalam artian, segala obat dan makanan akan disusupi oleh agen-agen penyakit agar manusia semakin lemah dan usia harapan hidupnya pun akan semakin singkat.
April kemarin, kami bertemu lagi di sebuah mal di pingiran Jakarta. Sekali lagi dia bercerita soal vaksinasi. Chef yang lama tinggal di Amerika itu menyatakan jika dirinya tahu jika vaksin yang ada di Amerika dan Eropa, serta negara-negara maju lainnya, itu ada yang sungguh-sungguh membuat badan kebal terhadap beberapa jenis penyakit. Namun vaksin yang disebar ke negara-negara terkebelakang seperti Indonesia, beda.
“Ada dua jenis vaksin yang diproduksi. Yang pertama yang berkualitas bagus dipakai di negara-negara maju, sedangkan yang dikirim ke negara-negara terkebelakang itu racun sebenarnya, untuk melemahkan penduduknya,” ujarnya.
Ya, pelemahan dan pemusnahan sebagian penduduk dunia, memang bukan isapan jempol. Hanya mereka yang kurang membaca, tidak kritis, dan hidup di dalam tempurung kelapa, yang menyatakan program jahat ini cuma teori konspirasi kosong yang tidak ada buktinya.
Kisah Ketiga: Anak Bungsu yang Sungguh Sehat dan Kuat Tanpa Vaksin Apa Pun.
Seorang sahabat lagi, pengusaha muda yang tinggal di kompleks perumahan elit di pinggiran ibukota, memiliki beberapa orang anak. Semua anaknya, kecuali yang bungsu, divaksin semasa kecil. Sedangkan si bungsu, sengaja tidak diberi vaksin apa pun sejak lahir.
“Subhanallah, perbedaannya sungguh nyata! Anak-anak saya yang pertama dan adik-adiknya itu sejak kecil langganan rumah sakit. Pilek atau batuk sedikit saja langsung menjadi parah dan bahkan harus dirawat di rumah sakit. Dokter-dokternya menjadi teman akrab anak-anak saya tersebut. Mereka mudah sekali terserang penyakit dan jika sudah sakit maka akan berkepanjangan…
Beda sekali dengan si bungsu. Anak saya yang bungsu ini sama sekali tidak diberi vaksin. Hal ini menuai kontroversi di keluarga karena beberapa saudara saya ada yang berprofesi sebagai dokter yang Pro Vaksinasi. Anak bungsu saya ini hanya diberi suplemen madu, habbatusauda, dan herbal lainnya. Ternyata si bungsu ini sungguh kuat ketahanan tubuhnya. Dia tidak mudah sakit. Dan kalau pun pilek, maka itu cuma sebentar dan akan hilang jika diberi madu dan istirahat yang cukup. Ini sangat berbeda dengan kakak-kakaknya.”
“Apakah dengan kasus ini saudara-saudara yang dokter menjadi sadar dan akhirnya meralat pandangannya soal vaksin?” tanya saya.
Dia menggeleng dan tertawa, “Tidak juga. Mereka masih saja berpandangan jika vaksin itu perlu. Sungguh hebat memang sistem pendidikan globalis ini sehingga apa-apa yang ditanamkan ke dalam otak anak didik bisa terpatri dengan sangat kuat…”
Nah, tiga kisah ini saja dulu yang saya paparkan. Masih ada kisah-kisah lainnya sesungguhnya. Namun biarlah cukup disini. Sekarang terserah kepada kita semua, apakah akan tetap mendukung program vaksinisasi atau tidak. Semuaya tergantung pada masing-masing individu. (rz)
Must Read!
- Dukung Barat, Pemerintah Pakistan Penjarakan Orangtua yang Menolak Vaksinasi
- Taliban Pakistan: Drone dan Vaksin Polio adalah Serangan Berbahaya AS
- Pakistan Musnahkan Vaksin Kadaluarsa Sumbangan AS
- Pakistan Negara Berpenduduk Muslim Terbesar ke-2 Setelah Indonesia
- CIA Menggunakan Vaksin Berbahaya Melawan al-Qaedah
- Bill Gates Puji Ulama yang Mendukung Vaksinasi
- Vaksinasi dan Sistem Dajjal
- Stop Bahaya Vaksinasi! Selamatkan Anak Indonesia
No comments:
Post a Comment