Oleh: Guntara Nugraha Adiana Poetra
APA jadinya jika manusia tidak mempunyai rasa malu? Pastilah kebaikan akan lenyap seiring dengan banyaknya keburukan, karena manusia bebas berbuat sesuai dengan kehendaknya.
Rasa malu tiada lain akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, karena rasa malu adalah hal positif bagi setiap insan. Karena itu, jika semua manusia tidak malu lagi melakukan kemaksiatan dan tak takut lagi melakukan kejahatan, pastilah kebinasaan dan penderitaan banyak orang.
Hilangnya rasa malu bisa kita temukan di sekeliling kita. Dewasa ini ramai-ramai orang berbuat sesuatu atas nama kebebasan tanpa memperhatikan rasa malu. Sebagai contoh, saat seseorang menyetel televisi atau bermain musik sambil bernyanyi dengan suara kencang hingga suaranya mengganggu tetangganya, perilaku seperti ini semata-mata berdalilkan kebebasan karena televisi, radio, DVD atau alat musik itu milik pribadi dan bukan milik tetangganya. Ia melakukan hal seperti itu seolah sah, meski sudah menganggu dan menyinggung ketenangan tetangga. Padahal, kebebasan kita terbatasi dengan kebebasan orang lain dan tetangga.
Ibnu Kholdun mengatakan: “Kebebasan seseorang bisa menjadi terbatas dengan adanya kebebasan orang lain.”
Bebas belum tentu merdeka, akan tetapi merdeka sudah pasti bebas, maka jadilah orang yang merdeka yaitu orang yang mengerti akan arti kebebasan yang positif. Saat seseorang bersendirian bisa saja ia merasa bebas dan bisa berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya sehingga inilah yang diartikan kebebasan, namum jika sudah bergesekan dengan kebebasan orang lain, maka sifat kebebasan itu menjadi terbatas, artinya kebebasan kita jangan sampai mengganggu kebebasan orang lain, dalam bahasa sederhana yang kita fahami adalah belajar memahami toleransi, orang yang toleran adalah orang yang merdeka dan memerdekakan orang lain.
Jika seseorang mempunyai rasa malu maka hidupnya akan memperhatikan batasan yang berhubungan antara dirinya dan orang lain. Jika ingin berbuat atau melakukan sesuatu maka ia akan melihat dampak yang akan menimpa dirinya dan juga orang lain. Rasa malu inilah yang sejatinya menjadi rem seseorang dalam berprilaku dan bertutur kata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
“Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan seluruhnya.” [HR Muslim, Abu dawud, Al Haitsami dan Ahmad]
“Tujuh puluh lima cabang, yang utama ialah kalimat La ilaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan di jalanan, dan malu itu satu cabang dari iman.” [HR Muslim]
Rasa malu juga merupakan warisan para nabi, “Di antara yang bisa diperoleh manusia dari pesan para nabi terdahulu adalah kalau engkau tidak malu, silakan berbuat sesukamu.” [HR Bukhari]
Jenis Rasa Malu
Dalam Islam dikenal macam-maca rasa malu.
Pertama, malu dari Allah ta’ala:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla malu jika seorang hamba membentangkan kedua tangannya kepada-Nya seraya meminta kebaikan, lalu ditolaknya dengan sia-sia.” [HR Ahmad]
Kedua, malunya Rasulullah:
“Rasulullah itu lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya.” [HR Muslim, Bukhari dan Ibnu Hibban]
Rasa malu yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rasa malu melakukan kesalahan dan maksiat.
Ketiga, malunya seorang pemuda tampan pada Allah ta’ala:
Firman Allah ta’ala di surat Yusuf ayat 23:
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
“Dan wanita (Istri Al-Aziz) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tiada akan beruntung.”
Keempat, malu ala gadis desa:
Firman Allah ta’ala di surat Al Qashash ayat 25:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.”
Kelima, malu kepada orang yang sudah meninggal:
Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah Shallallau ‘alaihi wasallam dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada Umar.” [HR Ahmad]
Keenam, malu yang terpuji:
Dicontohkan wanita kaum Anshar yang tidak terhalang oleh rasa malu untuk mempelajari agama Allah Ta’ala khususnya dalam masalah fiqih kewanitaan dan yang berhubungan dengan keluarga (mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan rahmat kepada wanita Anshar).
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertanya tentang masalah agama.” [Shahih al-Bukhari, kitab Ilmu)
Ketujuh, malu yang kurang baik:
Ada sedikit cerita dan ini adalah kisah nyata yang menimpa rekan saya atau mungkin juga pernah menimpa anda atau rekan Anda. Singkat cerita ia pernah mengeluh akan piutang dari temannya yang enggan membayar hingga waktu yang amat lama dan belum ada ucapan "maaf" atau pemberitahuan jika belum mampu melunasi hutang. Sayangnya, ia malu untuk menagih.
Malu tapi malah mengeluh, justru menjadi kurang baik. Rasa malu seperti inilah yang harus dihindarkan. Yang terpenting adalah cara penyampaiannya yang sopan tanpa harus menyinggung perasaan apalagi menyakiti hati si peminjam uang. Toh manusia adalah makhluk berakal yang bisa disentuh dengan bahasa hati dan kelemahlembutan sekeras apapun dia.
Delapan, malu untuk menunda kebaikan dan mencegah kemunkaran
Sejatinya memiliki rasa malu itu bisa mendukung manusia untuk terus berbuat kebaikan dimanapun ia berada, rasa malu senantiasa akan menjadikan manusia terpuji dan mulia.
Adapun untuk konteks kekinian rasa malu itu bisa mendorong: penguasa untuk adil, menteri untuk tunduk pada atasan dan bekerja maksimal, anggota dewan menjadi tauladan bagi rakyat, elit politik bersatu membangun negeri tanpa saling menjatuhkan satu sama lainnya.
Mau seperti ini akan menjadikan penegak hukum lebih amanah, pegawai lebih disiplin, rakyat bersatu dan turut berperan aktif dalam membangun negeri, orang kaya menjadi lebih peka dan gemar berbagi, pedagang menjadi lebih jujur, wartawan lebih obyektif, dan menjadikan manusia senantiasa berbuat baik
Nah, semoga rasa malu bisa menjadikan kita untuk menyegerakan kebaikan.*
Penulis adalah dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung/UNISBA. Email: a_poetra2@yahoo.com
APA jadinya jika manusia tidak mempunyai rasa malu? Pastilah kebaikan akan lenyap seiring dengan banyaknya keburukan, karena manusia bebas berbuat sesuai dengan kehendaknya.
Rasa malu tiada lain akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, karena rasa malu adalah hal positif bagi setiap insan. Karena itu, jika semua manusia tidak malu lagi melakukan kemaksiatan dan tak takut lagi melakukan kejahatan, pastilah kebinasaan dan penderitaan banyak orang.
Hilangnya rasa malu bisa kita temukan di sekeliling kita. Dewasa ini ramai-ramai orang berbuat sesuatu atas nama kebebasan tanpa memperhatikan rasa malu. Sebagai contoh, saat seseorang menyetel televisi atau bermain musik sambil bernyanyi dengan suara kencang hingga suaranya mengganggu tetangganya, perilaku seperti ini semata-mata berdalilkan kebebasan karena televisi, radio, DVD atau alat musik itu milik pribadi dan bukan milik tetangganya. Ia melakukan hal seperti itu seolah sah, meski sudah menganggu dan menyinggung ketenangan tetangga. Padahal, kebebasan kita terbatasi dengan kebebasan orang lain dan tetangga.
Ibnu Kholdun mengatakan: “Kebebasan seseorang bisa menjadi terbatas dengan adanya kebebasan orang lain.”
Bebas belum tentu merdeka, akan tetapi merdeka sudah pasti bebas, maka jadilah orang yang merdeka yaitu orang yang mengerti akan arti kebebasan yang positif. Saat seseorang bersendirian bisa saja ia merasa bebas dan bisa berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya sehingga inilah yang diartikan kebebasan, namum jika sudah bergesekan dengan kebebasan orang lain, maka sifat kebebasan itu menjadi terbatas, artinya kebebasan kita jangan sampai mengganggu kebebasan orang lain, dalam bahasa sederhana yang kita fahami adalah belajar memahami toleransi, orang yang toleran adalah orang yang merdeka dan memerdekakan orang lain.
Jika seseorang mempunyai rasa malu maka hidupnya akan memperhatikan batasan yang berhubungan antara dirinya dan orang lain. Jika ingin berbuat atau melakukan sesuatu maka ia akan melihat dampak yang akan menimpa dirinya dan juga orang lain. Rasa malu inilah yang sejatinya menjadi rem seseorang dalam berprilaku dan bertutur kata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
“Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan seluruhnya.” [HR Muslim, Abu dawud, Al Haitsami dan Ahmad]
“Tujuh puluh lima cabang, yang utama ialah kalimat La ilaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan di jalanan, dan malu itu satu cabang dari iman.” [HR Muslim]
Rasa malu juga merupakan warisan para nabi, “Di antara yang bisa diperoleh manusia dari pesan para nabi terdahulu adalah kalau engkau tidak malu, silakan berbuat sesukamu.” [HR Bukhari]
Jenis Rasa Malu
Dalam Islam dikenal macam-maca rasa malu.
Pertama, malu dari Allah ta’ala:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla malu jika seorang hamba membentangkan kedua tangannya kepada-Nya seraya meminta kebaikan, lalu ditolaknya dengan sia-sia.” [HR Ahmad]
Kedua, malunya Rasulullah:
“Rasulullah itu lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya.” [HR Muslim, Bukhari dan Ibnu Hibban]
Rasa malu yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rasa malu melakukan kesalahan dan maksiat.
Ketiga, malunya seorang pemuda tampan pada Allah ta’ala:
Firman Allah ta’ala di surat Yusuf ayat 23:
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
“Dan wanita (Istri Al-Aziz) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tiada akan beruntung.”
Keempat, malu ala gadis desa:
Firman Allah ta’ala di surat Al Qashash ayat 25:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.”
Kelima, malu kepada orang yang sudah meninggal:
Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah Shallallau ‘alaihi wasallam dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada Umar.” [HR Ahmad]
Keenam, malu yang terpuji:
Dicontohkan wanita kaum Anshar yang tidak terhalang oleh rasa malu untuk mempelajari agama Allah Ta’ala khususnya dalam masalah fiqih kewanitaan dan yang berhubungan dengan keluarga (mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan rahmat kepada wanita Anshar).
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertanya tentang masalah agama.” [Shahih al-Bukhari, kitab Ilmu)
Ketujuh, malu yang kurang baik:
Ada sedikit cerita dan ini adalah kisah nyata yang menimpa rekan saya atau mungkin juga pernah menimpa anda atau rekan Anda. Singkat cerita ia pernah mengeluh akan piutang dari temannya yang enggan membayar hingga waktu yang amat lama dan belum ada ucapan "maaf" atau pemberitahuan jika belum mampu melunasi hutang. Sayangnya, ia malu untuk menagih.
Malu tapi malah mengeluh, justru menjadi kurang baik. Rasa malu seperti inilah yang harus dihindarkan. Yang terpenting adalah cara penyampaiannya yang sopan tanpa harus menyinggung perasaan apalagi menyakiti hati si peminjam uang. Toh manusia adalah makhluk berakal yang bisa disentuh dengan bahasa hati dan kelemahlembutan sekeras apapun dia.
Delapan, malu untuk menunda kebaikan dan mencegah kemunkaran
Sejatinya memiliki rasa malu itu bisa mendukung manusia untuk terus berbuat kebaikan dimanapun ia berada, rasa malu senantiasa akan menjadikan manusia terpuji dan mulia.
Adapun untuk konteks kekinian rasa malu itu bisa mendorong: penguasa untuk adil, menteri untuk tunduk pada atasan dan bekerja maksimal, anggota dewan menjadi tauladan bagi rakyat, elit politik bersatu membangun negeri tanpa saling menjatuhkan satu sama lainnya.
Mau seperti ini akan menjadikan penegak hukum lebih amanah, pegawai lebih disiplin, rakyat bersatu dan turut berperan aktif dalam membangun negeri, orang kaya menjadi lebih peka dan gemar berbagi, pedagang menjadi lebih jujur, wartawan lebih obyektif, dan menjadikan manusia senantiasa berbuat baik
Nah, semoga rasa malu bisa menjadikan kita untuk menyegerakan kebaikan.*
Penulis adalah dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung/UNISBA. Email: a_poetra2@yahoo.com
No comments:
Post a Comment