Oleh: A. Taif A Nabeel *
Kamis (21/8) malam, bulan lalu, logo lama UIN Jakarta resmi diganti dengan logo baru dengan dimeriahkan oleh penampilan musik orkestra Dwiki Darmawan dan penyanyi Ita Purnamasari di Auditorium Utama.
Seperti yang diberitakan dalam UINJKT Online, peresmian logo baru ini juga ditandai dengan pembukaan kain selubung logo oleh Rektor Prof Dr KUmaruddin Hidayat di atas panggung yang didampingi mantan rektor Drs H Ahmad Syadzali serta para pembantu rektor.
Direktur MarkPlus, Hermawan Kertajaya yang menghadiri acara tersebut mengatakan, penggantian logo UIN Jakarta sudah tepat dan menunjukkan nilai-nilai yang lebih universal. “Logo baru UIN Jakarta sekarang melambangkan proses horizontalisasi. Ini mencerminkan kemajuan,” katanya.
Sementara Rektor dalam sambutannya menegaskan, logo baru UIN Jakarta diganti bukan tanpa alasan. Setidaknya, menurut rektor, ada dua alasan yang melandasi. Pertama, logo lama bersifat verbalistik yang lebih menonjolkan elemen geografis lokal dan elemen kenegaraan. Selain itu, logo lama tidak distingtif dan memadai untuk memberikan gambaran sebuah identitas baru bagi UIN Jakarta menuju "world class university". Kedua, hasil kesepakatan rapat senat para guru besar.
“Logo lama itu bergambar ada Monumen Nasional-nya. Sekarang, kita tidak lagi berdasarkan geografis lokal, baik Jakarta, Banten maupun Jawa Barat, tetapi dunia yang digambarkan dengan bola dunia. Jadi, kita ingin UIN Jakarta itu mendunia,” tegasnya.
Arti Logo
Logo baru UI |
Kemudian kitab suci berwarna putih dengan garis tepi berwarna kehijauan, melambangkan sumber inspirasi dan kaidah hukum serta moral bagi pengembangan UIN Jakarta. Sementara tulisan “UIN” berwarna biru melambangkan kedalaman ilmu, kedamaian, dan kepulauan nusantara yang berada di antara dua lautan besar, yakni sebuah wilayah yang mempertemukan berbagai peradaban dunia. Selain itu, terdapat juga garis putih horizontal yang membelah tulisan “UIN”. Garis ini merupakan pengikat UIN Jakarta sebagai universitas yang kuat.
Hilangnya “Al-Quran”
Logo lama UI |
Banyak suara yang menganggap bahwa elemen kedua yang dijabarkan sebagai partikel atom itu mirip dengan Bintang David jika ditarik lancip. Namun saya sendiri kurang setuju dengan interpretasi seperti ini, sebab kita hanya diajarkan menilai apa yang terlihat dan bukannya menafsirkan niat yang tersembunyi dari gambaran logo itu. Karena hal ini justru akan menguatkan pola-pola tafsir batiniyah. Bagi saya, elemen yang “dipaksakan” sebagai partikel atom ini, justru menggambarkan 2/3 dari lambang sekularisme dan tertutup dengan gambar buku dan tulisan UIN yang dilatarbelakangi dengan bola biru. Jadi elemen “partikel atom” itu memang terkesan dipaksakan jika digambarkan sebagai sunnatullah, apalagi ditafsirkan dengan sidratul muntaha, tempat yang belum pernah diketahui oleh seorang manusia pun selain Rasulullah SAW saat mendapatkan perintah shalat di malam Isra’ Mi’raj.
Hal yang lebih sensitif lagi dari tampilan logo baru ini adalah dihapuskannya tulisan “Al-Quran al-Karim” dan digantikan dengan tulisan “UIN”. Tentunya para pemerhati pendidikan Islam akan bertanya-tanya, ada apa dengan penghapusan tulisan “Al-Quran al-Karim”? Apakah karena tulisan ini adalah tulisan arab sehingga merasa risih dengan nuansa kearab-araban? Ataukah karena logo lama dinilai terlalu Islami dan ke-Quran-Quranan sehingga dikhawatirkan akan melibas keragaman budaya dan kearifan lokal? Ataukah karena kepercayaan diri sebagai generasi Quran mulai meluntur di lembaga pendidikan tinggi Islam ini? Tentunya tidak seorangpun bisa memastikan jawaban atas rentetan pertanyaan di atas.
Simbol Sekularisme |
Sementara Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN yang dikenal piawai menulis ini secara mengejutkan memberi apresiasi terhadap karya Farag Fouda yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Di sampul depan buku ini dia menulis: “Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan”.
Padahal buku yang aslinya berjudul al-Haqiqah al-Ghaibah ini sarat dengan cacian terhadap Sahabat, metodologi yang lemah dan bobot ilmiah yang rendah. Penulisnya sendiri telah dipandang murtad oleh sederet ulama terpandang dan akhirnya dia terbunuh di Mesir.
Tradisi memberi sanjungan tinggi terhadap karya-karya yang mengelirukan dalam memahami Islam tidak hanya untuk buku Fouda, namun beliau juga memberikan sanjungan terhadap terjemahan karya Abdullahi Akhmed an-Na’im, “Islam dan Negara Sekular” yang mempertanyakan kelayakan Syariah dalam kehidupan bernegara, bahkan dipandangnya sebagai sumber hukum yang diskriminatif terhadap warga non-muslim. Namun di sampul depannya, beliau justru memberi apresiasi buku tokoh liberal asal Sudan ini: “Buku ini, tidak ragu lagi, merupakan kontribusi penting bagi diskusi dan perdebatan tentang tarik tambang syariah, sekularisme dan negara”.
Penyimpangan pemikiran di lembaga ini juga dimeriahkan oleh profesor perempuan, peraih penghargaan doktor terbaik di IAIN Syarif Hidayatullah 1996/1997 ini mengkampanyekan aturan syariah baru. Sebab syariah yang “lama” terbukti bias jender. Maka dia mengusulkan laki-laki juga terkena masa tunggu (‘iddah) bila terjadi perceraian, bagian waris laki-laki sama dengan bagian perempuan, dll. Bahkan akhir-akhir ini dia juga mengkampanyekan halalnya homoseksual melalui artikelnya yang bertema “Allah Hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.
Penutup
Logo baru UIN mengundang multi tafsir. Jika dikaitkan dengan beberapa mata kuliah yang menjadi kurikulum wajib di fakultas Ushuluddin dan corak pemikiran beberapa guru besar yang mengajar di lembaga ini, maka tidak berlebihan bila logo baru ini dipandang menjadi cerminan 2/3 logo sekularisme sekaligus menancapkan paham ini di lingkungan pendidikan ini. Mengamati fenomena ini tentunya sangat tragis, jika lembaga pendidikan yang tahun lalu baru merayakan HUT 50 tahun dan menjadi aset dan kebanggaan umat ini, terus membiarkan prilaku intelektual menyimpang kalangan guru besar maupun dosennya. Akankah seorang Ratu Adil akan datang dan menyelamatkan lembaga pendidikan tercinta ini? Kita tunggu saja. [hidayatullah.com]
*) Penulis tinggal di Jakarta
UIN susqa Riau coba lihat min, udah berubah jg tuh... ckckck
ReplyDeleteMakna logo Uin yang lama apa yaa ??? terima kasih
ReplyDelete