SALAH satu kosa kata yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia adalah kyai atau kiai. Biasanya, sebutan kyai dilekatkan kepada sosok yang dianggap paham ilmu agama (ulama), dan diharapkan bisa menjadi tokoh panutan. Bagi masyarakat Jawa, sebutan kyai selain dilekatkan kepada tokoh ulama, juga untuk dilekatkan pada benda pusaka, hewan yang dianggap keramat, makhluk halus, dan sebagainya.
Berbeda dengan masyarakat Jawa, bagi masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan), sebutan kyai sama sekali tak ada hubungannya dengan ulama, tetapi merupakan gelar bagi kepala distrik (jabatan setingkat wedana di Jawa). Sedangkan di Sumatera Barat, sebutan kyai dilekatkan kepada sosok etnis cina yang sudah tua (cino tuo), sama sekali tidak ada hubunganya dengan ulama dan sebagainya.
Saat ini, sebutan kyai yang banyak dijumpai adalah Kyai Maja, Kyai Langgeng, Kyai Kanjeng, Kyai Slamet, Kyai Sengkelat, Kyai Semar, Kyai Sapu Jagad, Kyai Petruk, Kyai Sadrach, dan sebagainya. Bahkan ada juga sebutan Kyai Cabul, Kyai Pajero, dan Kyai Liberal yang berkonotasi olok-olok terhadap sosok manusia penjual agama.
Kyai Maja
Mungkin bagi sebagian anak muda masa kini, nama Kyai Maja (Kyai Mojo) hanya dikenal sebagai nama jalan di kawasan tertentu. Nama asli Kyai Maja adalah Muslim Mochammad Khalifah. Karena keaktifannya mengelola pesantren di kawasan Maja (Mojo), meneruskan kiprah ayahnya, maka ia lebih dikenal dengan panggilan Kyai Maja.
Kyai Maja lahir tahun 1782 dan wafat pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun. Ayahnya bernama Iman Abdul Arif, seorang ulama terkenal pada masa itu di dusun Baderan dan Modjo, juga memiliki alur keturunan dari kerajaan Pajang. Sedangkan ibunya bernama R. A. Mursilah, adik perempuan HB III dan masih bersaudara sepupu dengan Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro mengangkat Kyai Maja sebagai penasehat agama sekaligus Panglima Perang. Ketika berlangsung Perang Diponegoro (1825-1830), Kyai Maja ikut andil melawan Belanda. Sampai akhirnya pada tanggal 17 Nopember 1828 Kyai Maja ditangkap di dusun Kembang Arum, Jawa Tengah. Setelah dibawa ke Batavia, Kyai Maja dibuang ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Kehadiran Kyai Maja dan pengikutnya di Tondano mendorong terbentuknya Kampung Jawa, dan melahirkan entitas Jaton (Jawa Tondano), karena hampir seluruh pengikut Kyai Maja yang dibuang ke Tondano menikah dengan wanita setempat. Keberadaan mereka bisa dilihat dari nama keluarga (fam) yang disandang di belakang nama diri, seperti Pulukadang, Modjo, Baderan, Zess, Kyai Demak, Suratinoyo, Nurhamidin, Djoyosuroto, Sutaruno, Kyai Marjo, dan lain-lain.
Kyai Langgeng
Di Magelang, nama Kyai Langgeng lebih dikenal sebagai sebuah taman rekreasi dengan luas 28 hektar, terletak sekitar satu kilometer dari pusat kota Magelang. Konon, Kyai Langeng adalah salah seorang prajurit yang ikut tewas dalam Perang Diponegoro (1825-1830), dan dimakamkan di lokasi yang kini menjadi taman rekreasi yang terawat baik ini.
Boleh dibilang, Taman Kyai Langgeng ini menjadi tempat rekreasi favorit masyarakat Magelang. Dengan tarif tiket masuk seharga Rp 8.000 per orang, setiap pengunjung bisa menikmati berbagai fasilitas, seperti kolam renang, kereta mini, komidi putar, jet coaster, bianglala, becak air, anjungan dirgantara, sepur mini, komidi layang, perpustakaan pendidikan (desa buku), dan sebagainya.
Di taman ini dapat ditemui aneka satwa seperti ular piton, burung mambruk, burung elang, bajing, monyet, rusa, ayam hutan, dan dua ekor ikan lele yang sudah cukup tua usianya. Ikan lele jantan berusia sekitar 24 tahun dan lele betina berusia sekitar 54 tahun.
Kyai Kanjeng
Yang jelas, Kyai Kanjeng bukan taman rekreasi, bukan ulama, bukan benda keramat nan bertuah. Ada yang mengatakan, Kyai Kanjeng adalah nama sebuah konsep nada pada alat musik gamelan. Ada juga yang mengatakan Kyai Kanjeng sekumpulan alat musik. Namun masyarakat lebih memaknai Kyai Kanjeng sebagai kelompok musik di bawah pimpinan Emha Ainun Nadjib, orang Jombang yang lebih dikenal sebagai seniman Yogya.
Pagelaran Kyai Kanjeng sudah luas membuana. Termasuk di tanah air sendiri. Misalnya, pada rangkaian acara peringatan 40 hari meinggalnya Gus Dur yang digelar 07 Februari 2010. Juga, pada acara Kidung Damai Untuk Indonesia yang dilaksanakan di pelataran parkir Gereja Isa Almasih Pringgading, Semarang, pada Selasa malam tanggal 13 Juli 2010.
Dalam hal memain-mainkan agama, kelompok music ini sampai shalawat yang berupa ibadah menurut Islam pun dijadikan nyanyian diiringi music, dan dinyanyikan di gereja lagi, sebagaimana telah diberitakan:
Emha Ainun Nadjib: Shalawatan di Gereja, Tengkar di Korban Lumpur Lapindo
SALAH satu tokoh dari Jombang yang suka blusak-blusuk (keluar-masuk) ke gereja adalah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Kedekatannya dengan gereja dan elitenya sudah tidak bisa diragukan lagi.
Cak Nun blusak-blusuk ke gereja, konon memang bukan untuk kebaktian, tetapi untuk mementaskan karya seni musiknya yang konon beraroma Islam. Ia memang punya kelompok kesenian bernama Kiai Kanjeng.
Di tahun 2008, Cak Nun beserta istri dan tentu saja Kiai Kanjeng, diundang oleh Protestant Church (Gereja Protestan) Belanda yang bekerjasama dengan Java Enterprise, untuk menggelar pentas musik dan dialog dengan berbagai komunitas di tujuh kota Belanda (Den Haag, Amsterdam, Rotterdam, Deventer, Leeuwarden, Windesheim, dan Utrecht). Pagelaran musik bertajuk Voices & Visions ini berlangsung pada tanggal 06 hingga 20 Oktober 2008 lalu.
Di tahun 2007, sekitar pekan kedua bulan Agustus, dalam rangka ulang tahun ke-73 Paroki Pugeran (Jogjakarta), salah satu acaranya adalah menampilkan pementasan Kiai Kanjeng pimpinan Cak Nun. Selain pementasan Kiai Kanjeng, juga ada dialog antar agama (Katholik, Islam, Budha, Hindu, Kejawen).
Ketika itu, sekitar sepertiga dari peserta yang menghadiri ulang tahun ke-73 Paroki Pugeran itu, adalah wanita berjilbab. Tidak ada yang bisa memastikan apakah mereka benar-benar Muslimah berjilbab, atau hanya sekumpulan perempuan yang sengaja mengenakan jilbab. Sebelum Kiai Kanjeng mentas, terlebih dulu ada pementasan dari ibu-ibu aktivis Gereja Pugeran menyanyikan lagu persembahan gerejawi.
Kiai Kanjeng dalam penampilannya malam itu, tidak hanya membawakan karya-karyanya seperti biasa, tetapi juga mengiringi para ibu-ibu aktivis Gereja Katholik Pugeran yang kala itu membawakan lagu-lagu gerejawi. Belum cukup sampai di situ, sebagai pamungkas penampilanya Kiai Kanjeng menyuguhkan medley lagu Ave Maria dan Sholawat Nabi dinyanyikan bergantian oleh Kyai Kanjeng dan ibu-ibu gereja.
Medley seperti itu bukan hal baru bagi Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Di tahun 2006, Cak Nun dan Kiai Kanjeng-nya pernah membawakan medley lagu Malam Kudus (yang biasa dinyanyikan umat Nasrani dalam rangka peringatan Natal) dengan Shalawat. Bukan di gereja tetapi di Masjid Cut Mutia, Jakarta, pada hari Sabtu tanggal 14 Oktober 2006, dalam sebuah acara bertajuk Pagelaran Al-Qur’an dan Merah Putih Cinta Negeriku, setelah shalat tarawih. (lihat tulisan di nahimunkar.com berjudul The Men From Jombang edisi August 11, 2008 9:42 pm, http://www.nahimunkar.com/the-men-from-jombang/).
Acara perayaan ulang tahun ke-73 Paroki Pugeran yang berlangsung selama kurang lebih empat jam, hingga menjelang tengah malam, kemudian berhenti karena terasakan adanya gempa. Ini kedua kalinya Gempa melanda Jogjakarta dan sekitarnya. Sebelumnya, gempa di Jogjakarta dan sekitarnya terjadi pada 27 Mei 2006. (nahimunkar.com, May 28, 2009 10:09 pm, Emha Ainun Nadjib: Shalawatan di Gereja, Tengkar di Korban Lumpur Lapindo, http://www.nahimunkar.com/emha-ainun-nadjib-shalawatan-di-gereja-tengkar-di-korban-lumpur-lapindo/)
Emha Ainun Nadjib disebut (menyebut diri?) pula dengan Kyai Mbeling (mbeling itu bahasa Jawa, kurang lebihnya bermakna: susah diatur atau tidak mau berjalan pada aturan yang benar). Dan itu urusan dia, tetapi ketika julukan itu melekat pada dirinya kemudian dia blusak-blusuk ke gereja menyanyikan music dengan shalawat, sebenarnya sudah menyangkut urusan agama Ummat Islam. Karena mbelingnya itu sudah berkaitan dengan urusan peribadahan (shalawat) yang ada aturannya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seharusnya perlu diperingatkan agar dia tidak begitu lagi.
Apakah itu untuk membuktikan bahwa dia memang benar-benar Kyai Mbeling atau tidak, yang jelas dia telah mempraktekkan penyelewengan yang tidak pantas ditiru. Masih agak mending kalau dia main music ya music saja (tapi ini bukan berarti mempersilakan, ini hanya sebagai perbandingan belaka), sudah ketahuan bahwa itu haram dan maksiat. Lantas ketika yang dimusikkan itu shalawat, sebenarnya dua kesalahan: musiknya itu sendiri adalah haram, jadinya maksiat, sedang shalawat itu ibadah kok dimusikkan, itu penyelewengan pula. Dan masih pula mengakibatkan adanya kesan seakan itu Islami, sehingga tidak dirasa lagi bahwa itu maksiat. Padahal hakekatnya justru lebih maksiat (maksiat ganda) daripada yang music asli (tanpa dibumbui agama) yang masih ketahuan bahwa itu memang maksiat.
Fatwa tentang Haramnya Musik
وقد دلت السنة الصريحة الصحيحة عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ على تحريم سماع آلات الموسيقى.
روى البخاري تعليقاً أن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال :(لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَالْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . .). والحديث وصله الطبراني والبيهقي.
والمراد بـ (الحر) الزنى.
والمعازف هي آلات الموسيقى.
والحديث يدل على تحريم آلات الموسيقى من وجهين:
الأول : قوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (يستحلون) فإنه صريح في أن الأشياء المذكورة محرمة، فيستحلها أولئك القوم.
الثاني : قرن المعازف مع المقطوع حرمته وهو الزنا والخمر ، ولو لم تكن محرمة لما قرنها معها.
انظر : السلسلة الصحيحة للألباني حديث رقم (91) .فتاوى الإسلام سؤال وجواب بإشراف :الشيخ محمد صالح المنجدالمصدر :www.islam-qa.comسؤال رقم 12647(
روى البخاري تعليقاً أن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال :(لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَالْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . .). والحديث وصله الطبراني والبيهقي.
والمراد بـ (الحر) الزنى.
والمعازف هي آلات الموسيقى.
والحديث يدل على تحريم آلات الموسيقى من وجهين:
الأول : قوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (يستحلون) فإنه صريح في أن الأشياء المذكورة محرمة، فيستحلها أولئك القوم.
الثاني : قرن المعازف مع المقطوع حرمته وهو الزنا والخمر ، ولو لم تكن محرمة لما قرنها معها.
انظر : السلسلة الصحيحة للألباني حديث رقم (91) .فتاوى الإسلام سؤال وجواب بإشراف :الشيخ محمد صالح المنجدالمصدر :www.islam-qa.comسؤال رقم 12647(
Sunnah yang jelas lagi shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh telah menunjukkan atas haramnya mendengarkan alat-alat musik.Al-Bukhari telah meriwayatkan secara mu’allaq (tergantung, tidak disebutkan sanadnya) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Layakunanna min ummatii aqwaamun yastahilluunal hiro wal hariiro wal khomro wal ma’aazifa.
“Sesungguhnya akan ada dari golongan ummatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan ma’azif (musik).” (HR. Al-Bukhari).
Hadits ini telah disambungkan sanadnya oleh At-Thabrani dan Al-Baihaqi (jadi sifat mu’allaqnya sudah terkuak menjadi maushul atau muttasholus sanad, yaitu yang sanadnya tersambung atau yang tidak putus sanadnya alias pertalian riwayatnya tidak terputus). Lihat kitab as-Silsilah as-shahihah oleh Al-Albani hadis nomor 91.
Yang dimaksud dengan الْحِرَ al-hira adalah zina; sedang الْمَعَازِفَ al-ma’azif adalah alat-alat musik.
Hadits itu menunjukkan atas haramnya alat-alat musik dari dua arah:
Pertama: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam يَسْتَحِلُّونَ menghalalkan, maka itu jelas mengenai sesuatu yang disebut itu adalah haram, lalu dihalalkan oleh mereka suatu kaum.
Kedua: Alat-alat musik itu disandingkan dengan yang sudah pasti haramnya yaitu zina dan khamar (minuman keras), seandainya alat musik itu tidak diharamkan maka pasti tidak disandingkan dengan zina dan khamr itu. (Fatawa Islam, Soal dan Jawabjuz 1 halaman 916, dengan bimbingan Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid. Sumber: http://www.islam-qa.com, soal nomor 12647). (http://www.nahimunkar.com/579/)
Kyai Slamet
Bagi yang belum paham, sebutan Kyai Slamet boleh jadi akan membangkitkan imajinasi tentang sesosok manusia yang berilmu (agama) tinggi, arif, sepuh dan bergiat di pondok pesantren. Sayangnya, imajinasi itu salah kaprah. Karena, Kyai Slamet yang dimaksud di sini adalah salah satu benda pusaka Keraton Kasunanan Surakarta berupa hewan kerbau dengan sebutan Kyai Slamet.
Pada umumnya, kerbau atau kebo berwarna hitam legam. Namun kerbau yang satu ini berwarna agak putih kemerahan seperti kulit orang bule, sehingga disebut Kebo Bule. Bersama sejumlah pusaka keraton lainnya, Kyai Slamet biasanya diarak berkeliling (kirab) dalam rangka menyambut datangnya Tahun Baru Jawa 1 Suro (1 Muharram). Tradisi ini, sudah ada sejak masa pemerintahan Pakubuwono (PB) IX, sebagai salah satu upaya raja untuk melegitimasi kekuasaannya.
Karena Kyai Slamet merupakan pusaka Keraton Kasunanan Surakarta, maka ia mendapatkan hak istimewa dari warga Surakarta (Solo). Misalnya, tidak ada yang berani mengusir Kyai Slamet saat ia memakan tanaman padi milik petani atau sayuran milik pedagang. Bahkan ada sebagian dari mereka yang justru merasa senang ketika tanaman atau dagangannya dimakan Kyai Slamet. Juga, bila Kyai Slamet buang kotoran, misalnya saat kirab berlangsung, maka kotorannya menjadi rebutan warga.
Tradisi kirab benda pusaka keraton ini, termasuk Kyai Slamet, menelan biaya tidak sedikit. Pada tahun 2010 lalu, biaya kirab Kyai Slamet dan pusaka keraton lainnya mencapai Rp 200 juta. Sebesar Rp 40 juta diantaranya, diperoleh dari sumbangan Pemerintah Provinsi (Pemprov). Uang sebanyak itu, digunakan untuk membawa kerbau jalan-jalan?
Ternyata mereka kalah pinter dibanding Gayus Tambunan. Dengan uang ratusan juta, gayus bisa menyogok sipir penjara untuk mendapatkan kebebasan ilegal. Atau, membawa anak-istrinya jalan-jalan ke Bali dan ke luar negeri dengan identitas palsu.
Sama-sama pelanggarannya, namun manusia di Indonesia berbeda dalam menyikapinya. Bukan lantaran mau membela Gayus, tetapi kenapa Gayus yang menyogok sipir penjara dipersoalkan secara nasional, dan semua orang tahu bahwa itu adalah pelanggaran; sementara itu ketika uang untuk kemubadziran bahkan upacara yang rawan kemusyrikan seperti melepas kerbau bule (Kyai Slamet) untuk jalan-jalan di malam 1 Suro (Muahhram) dengan dibiayai ratusan juta rupiah itu tidak dipersoalkan dan tidak disalahkan? Juga aneka upacara kemusyrikan yang dibiayai Pemerintah Daerah di mana-mana, padahal itu jelas-jelas merusak keimanan Ummat Islam, masih pula menguras duit (dari Ummat Islam pula), tetapi tidak dipersoalkan? Padahal secara perhitungan bahaya dan dosa, sama sekali jauh lebih berbahaya dan berdosa yang upacara-upacara kemusyrikan di mana-mana itu. Sekali lagi ini sama sekali bukan mendukung Gayus, tetapi ayo sama sama disalahkan. Gayus dan lain-lain yang melanggar ya mesti dihukum, sedang penyelewengan (istilahnya penggunaan) dana untuk upacara-upacara kemusyrikan entah itu larung laut, sedekah bumi, labuh sesaji ke Gunung Merapi dan sebagainya yang pada hakekatnya merusak keyakinan Ummat Islam itu wajib pula dihukum dan dihentikan. Karena itu lebih dari sekadar penyelewengan tetapi bahkan penyelewengan sekaligus penyesatan dan penghancuran keimanan.
Kyai Sengkelat
Bila Kyai Slamet adalah kebo bule, Kyai Sengkelat adalah nama julukan bagi sebilah keris karya Mpu Supa Mandagri, salah satu santri Sunan Ampel. Keris pusaka ini mempunyai lekukan (luk) berjumlah tiga belas yang diciptakan pada zaman Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan Brawijaya V alias Prabu Kertabhumi (1466-1478). Sunan Ampel dipercaya sebagai salah satu personel walisongo penyebar agama Islam di kawasan Nusantara. Ia putra Maulana Malik Ibrahim, yang juga personel walisongo. Berdasarkan silsilah, Sunan Ampel mempunyai garis keturunan hingga ke pasangan Ali bin Abi Thalib as dan Fatimah az-Zahra as binti Muhammad SAW. (Sejarah walisongo sepertinya agak berbau syi’ah).
Sebagai salah satu santri Sunan Ampel, Mpu Supa Mandagri pada suatu ketika diberi cis yaitu besi runcing untuk menggiring onta, yang didapat Sunan Ampel ketika sedang bermunajat. Maksudnya, untuk dibuatkan sebilah pedang. Namun, Mpu Supa Mandagri merasa sayang bila besi itu diolah menjadi sebilah pedang. Maka, dibuatlah sebilah keris luk tiga belas yang diberi nama Kyai Sengkelat.
Kemudian keris itu ia serahkan kepada Sunan Ampel. Ternyata, Sunan Ampel kecewa. Karena, menurut Sunan Ampel, keris merupakan budaya Jawa yang berbau Hindu. Sedangkan pedang, lebih dekat kepada budaya Arab, tempat agama Islam berasal. Kemudian, Sunan Ampel menyarankan agar Kyai Sengkelat diserahkan kepada Brawijaya V.
Jadi, boleh dibilang, Kyai Sengkelat ini merupakan lambang pembangkangan seorang murid (Mpu Supa Mandagri) kepada gurunya (Sunan Ampel). Disuruh bikin pedang kok malah bikin keris!
Kyai Semar
Sosok Kyai Semar jauh lebih abstrak dibanding dua kyai sebelumnya (Kyai Slamet dan Kyai Sengkelat). Dari namanya, Kyai Semar merujuk kepada tokoh pewayangan bernama Semar. Bagi sebagian masyarakat Jawa, Kyai Semar tidak harus dimaknai secara kongkrit, karena ia bisa berupa kearifan lokal yang melengkapi ajaran agama. Seperti, nilai-nilai kebajikan berupa aja dumeh, aja adigang-adigung-adiguna, aja alu-amah, aja ngumbar hawa nepsu, aja kumalungkung, aja nggleleng, aja kemayu, aja kemaki, dan sebagainya. (Nasihat agar menjauhi akhlaq yang buruk seperti sombong dan sebagainya).
Berdasarkan asal-usulnya, sosok Kyai Semar punya banyak versi. Salah satunya, berdasarkan naskah Serat Kanda dikisahkan, ada penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa yang memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal yang berwajah jelek dan Sanghyang Wenang yang tampan.
Hanya karena wajahnya yang jelek, maka Sanghyang Tunggal kehilangan haknya menjadi pewaris takhta kahyangan. Sang ayah, Sanghyang Nurrasa memilih Sanghyang Wenang sebagai penerus takhtanya. Sanghyang Wenang yang tampan, kemudian mewariskan takhtanya kepada putranya yang bernama Batara Guru.
Sanghyang Tunggal yang buruk rupa ini kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama (Kyai) Semar.
Dari kisah Kyai Semar ini, ada dua hal bertolak belakang yang bisa kita peroleh. Pertama, kearifan lokal, nilai-nilai kebajikan yang sesuai ajaran agama. Kedua, diskriminasi seorang ayah terhadap anaknya yang buruk rupa. Karena buruk rupa, sang anak kehilangan haknya. Jadi, melalui penokohan Kyai Semar ini kita disuguhkan dua hal kontradiktif sekaligus: kearifan dan diskriminasi.
Pesan moralnya: orang tampan lebih pantas dipilih jadi pemimpin, sedangkan yang tidak tampan hanya pantas jadi pengasuh anak-keturunan orang tampan. Sebuah pesan moral yang sangat hedonistis.
Itu semua hanya cerita khayal namun oleh sebagian orang dipercayai, hingga sebenarnya rawan perusakan iman juga. Dan akan menambah kerusakan pula bila masalah ini kemudian didanai pula untuk diupacarakan dan sebagainya seperti upacara-upacara yang rawan kemusyrikan lainnya. Makanya Ummat Islam terutama para ulama dan tokohnya wajib hati-hati dan waspada, lebih-lebih ketika mau memilih pemimpin. Bila yang dipilih adalah orang yang punya misi menghidup-hidupkan apa-apa yang berbau mistis dan kemusyrikan, maka sangat rawan ke arah sana nanti ketika memimpin, yang dikhawatirkan akan menjerumuskan masyarakat ke neraka. Ulama yang mengajak-ajak Ummat Islam untuk memilih pemimpin seperti itu, kemungkinan besar kelak di akherat akan berat tanggung jawabnya, padahal misalnya mendapatkan upah dari kampanyenya, sama sekali sudah habis ketika di dunia. Betapa ruginya!
Kyai Sapu Jagad
Sosok Kyai Sapu Jagad juga abstrak seperti Kyai Semar. Selama ini, masyarakat sekitar gunung Merapi mempercayai bahwa gunung api tersebut memiliki nyawa sebagai penunggunya, yaitu Kyai Sapu Jagad. Untuk menghindari kemarahan sang penunggu, masyarakat sekitar perlu mengadakan ritual dan juga memberikan sesaji. Sosok Kyai Sapu Jagad sebagai penunggu Merapi, konon diciptakan oleh Kraton Mataram, demi tegaknya kekuasaan penguasa.
Menurut sebuah kisah —bermisi takhayul kepercayan batil—, Kyai Sapu Jagad penunggu Merapi adalah abdi dalem setia keraton Yogyakarta yang sebelumnya dikenal dengan nama Ki Juru Taman. Secara tak sengaja, Ki Juru Taman menelan telor (endhog jagad) pemberian Nyai Roro Kidul (ini sosok fiktif yang dipercayai secara batil) kepada Panembahan Senopati. Serta merta Ki Juru Taman berubah menjadi raksasa. Hati Penambahan Senopati tentu saja masygul. Namun, ia memberikan perintah kepada Ki Juru Taman yang telah menjadi raksasa untuk menjaga puncak Merapi, menyelamatkan rakyat dari amuk Merapi selamanya. Sebagai balas jasa, setiap tahun Keraton Yogyakarta menyisihkan sebagian dari hasil buminya dalam bentuk sesajen untuk dipersembahkan kepada petinggi lelembut Merapi ini. (Nah, ujung-ujungnya kemusyrikan, yang dapat mengeluarkan orang dari keyakinan Islamnya)
Mengenai asal muasal endhog jagad dikisahkan, ketika Panembahan Senopati merapat di bibir pantai Parang Kusumo, ia diberi tanda mata cinta oleh Nyai Rara Kidul berupa endhog jagad. Sebelum pergi menghilang, Nyai Rara Kidul berpesan agar Panembahan Senopati segera memakan endhog jagad tersebut. Namun dalam perjalanan pulang, Panembahan Senopati dipergoki Sunan Kalijaga yang memang secara diam-diam mengamati kejadian antara Panembahan Senopati dengan Nyai Rara Kidul.
Sunan Kali Jaga adalah pendiri dinasti Mataram. Kepada Panembahan Senopati ia memberikan nasehat untuk tidak memakan endhog jagad tersebut, karena menurut Sunan Kali Jaga, endhog Jagad tersebut merupakan jebakan dari sang Ratu Pantai Selatan. Akhirnya, Panembahan Senopati urung memakan endhog jagad, namun sayangnya endhog tersebut termakan oleh Ki Juru Taman, yang setelah menjadi raksasa, lelembut Merapi, dikenal dengan nama Kyai Sapu Jagad. Ini semua adalah cerita khayal tapi dipercayai maka menjadi kepercayaan yang batil, sangat jauh dari keyakinan Islam.
Ada dua pesan yang bisa ditangkap dari peristiwa di atas. Pertama, tentang abdi dalem (Ki Juru Taman) yang celamitan. Disebut celamitan, karena endhog yang dia telan jelas bukan miliknya tetapi milik majikannya (Panembahan Senopati). Kedua, majikan yang tidak bertanggung jawab. Sebagai majikan, sebagai pimpinan, seharusnya ia mengupayakan agar Ki Juru Taman yang berubah wujud menjadi raksasa akibat memakan endhog jagad yang bukan miliknya, kembali kepada bentuk semula. Namun hal itu tidak dilakukan, malah dibebani tanggung jawab yang lebih besar lagi, yaitu menjadi penjaga gunung Merapi, dan berkorban untuk rakyat banyak dari amukan Merapi. Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Miskin pula.
Ini semua hanya cerita khayal, tetapi kemudian diupacarai pakai sesaji, jadi pada hakekatnya disembah-sembah, dan itulah kemusyrikan yang nyata. Mereka minta keselamatan kepada selain Allah yang dikhayalkan sebagai roh Kyai Sapu Jagat. Itu benar-benar kemusyrikan. Hanya saja praktek kemusyrikan itu ditiru pula dalam bentuk yang bukan memberikan sesaji tetapi dalam bentuk apa yang disebut ziarah kubur para wali atau orang-orang yang dianggap saleh. Ziarah kubur itu sendiri dalam Islam ada dua: yang syar’I dan yang tidak syar’i. Yang syar’I adalah berziarah untuk mengingat akherat dan mendoakan mayat isi kubur yang Muslim. Mayat Non Muslim haram didoakan. Ziarah yang tidak syar’I, di antaranya ziarah tapi meminta kepada isi kubur (misal agar rejeki lancar, enteng jodoh dan sebagainya), itu sama dengan yang menyembah atau minta perlindungan kepada Roh Kyai sapu Jagat dan lainnya itu. Makanya orang yang meminta kepada isi kubur itu sering disebut penyembah kubur. Karena pada hekaketnya sama antara penyembah Roh Sapu Jagat atau semacamnya dengan peminta isi kubur.
Sebelum diteruskan, kita beralih dulu ke berikut ini:
Kyai Petruk
Selain Kyai Sapu Jagad, masih ada delapan sosok lain yang dipercaya sebagai penunggu Merapi. Salah satunya, Kyai Petruk. Sebagian masyarakat Jawa percaya, Kyai Sapu Jagad adalah penunggu kawah Merapi yang menjadi penentu meledak-tidaknya gunung tersebut. Sedangkan Kyai Petruk mengemban tugas sebagai pemberi wangsit mengenai saat meletusnya Merapi, termasuk memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar dari ancaman bahaya lahar panas Merapi.
Konon, Kyai Petruk merupakan anak dari seorang petinggi di Kecamatan Cepogo (Boyolali, Jawa Tengah), dengan nama asli Handoko Kusumo. Karena postur Handoko mirip tokoh pewayangan Petruk, maka ia dipanggil dengan sebutan Kyai Petruk.
Sejak kecil, Handoko dikenal sebagai sosok yang gemar menolong. Handoko juga dipercaya punya kesaktian, berkat ketekunannya bertapa. Dengan kesaktiannya itu, masyarakat sekitar Merapi percaya bahwa Kyai Petruk dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat di sekitar Merapi dari bahaya erupsi.
Masyarakat sekitar Merapi juga percaya bahwa Kyai Petruk meninggal melalui proses mukswo atau moksa (hilang tanpa meninggalkan raga) di gunung Merapi saat serius bertapa. Untuk mengenang Kyai Petruk, masyarakat sekitar Merapi setiap malam 1 Suro mengadakan acara Sedekah Gunung yang salah satu rangkaian acaranya adalah larung sesaji, berupa tumpeng sesaji, nasi gunung yang dibuat dari jagung, dan sebagainya, termasuk dupa kemenyan, dan tak lupa kepala kerbau.
Itu semua adalah upacara sesajen atau sesaji alias penyembahan kepada selain Allah Ta’ala. Itulah kemusyrikan nyata.
Hukum Tumbal dan Sesajen dalam Islam
Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 282), adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. al-An’aam [6] : 162-163).
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanla.” (QS. Al-Kautsar [108] : 2).
Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 228).
Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir).(Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim 13/141, al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitaabit Tauhiid 1/215 dan kitabat-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid, hal. 146).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (QS. al-Baqarah [2] : 173).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada sembahan (selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya.” (Kitab Jaami’ul Bayaan Fi Ta’wiilil Quran 3/319).
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.” (HSR. Muslim no. 1978)
Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya, dengan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat AllahSubhanahu wa Ta’aladan dijauhkan dari rahmat-Nya. (Keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam kitabat-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid, hal. 146).
Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata.
Oleh karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selain-Nya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar. (Lihat kitab Fathul Majid hal. 178 dan 179).
Dalam sebuah atsar dari sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang boleh melewati (daerah) kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita).’ Maka, mereka berkata kepada orang yang pertama, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’ Tapi, orang itu enggan –dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain AllahSubhanahu wa Ta’ala’–, maka diapun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu, mereka berkata kepada orang yang kedua, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’, -dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu untuk dikurbankan.’ Maka mereka berkata lagi, ‘Kurbankanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!’, orang itu berkata (dengan meremehkan), ‘Apalah artinya seekor lalat,’, lalu diapun berkurban dengan seekor lalat, –dalam riwayat lain: maka merekapun mengizinkannya lewat– kemudian (di akhirat) dia masuk neraka.’”
(Atsarriwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitabal-Mushannaf(no. 33038) dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan dari jalan lain oleh Imam Ahmad dalam kitabaz-Zuhd(hal. 15-16), al-Baihaqi dalam kitabSyu’abul Iman(no. 7343) dan Abu Nu’aim dalamHilyatul Auliyaa’(1/203)). (Ustadz Abdullah Taslim, M. A, Tumbal dan Sesajen, Tradisi Syirik Warisan Jahiliyah, www.muslim.or.id, Kategori Aqidah | 12-11-2010).
Ketika meminta perlindungan kepada selain Allah dengan memberikan sesajen ataupun tumbal maka berarti berbuat kemusyrikan dan bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam; maka demikian pula yang meminta kepada isi kubur. Inilah fatwanya:
Fatwa tentang Meminta kepada Isi Kubur
Soal: Orang-orang berkata ketika ada bencana dan kesulitan-kesulitan: Ya Rasulallah, dan (memanggil) yang lainnya dari para wali. Dan mereka pergi ke kubur-kubur orang-orang shalih ketika mereka sakit, seraya minta tolong kepada mereka (mayat dalam kubur), dan mereka berkata:Sesungguhnya Allah akan menolak bala’ karena mereka (mayat dalam kubur), kami minta tolong kepada mereka tetapi niat kami kepada Allah, karena yang membekasi adalah Allah. Apakah ini syirik (menyekutukan Allah dengan lain-Nya) atau tidak? Dan apakah mereka dikatakan musyrik? Padahal mereka shalat, membaca Al-Qur’an dan lainnya dari amal yang baik.
Jawab:apa yang mereka lakukan itu adalah syirik yang dulu ahli jahiliyah pertama ada di atasanya, karena mereka dulu menyembah (menyeru) Lata, Uza, dan Manat dan lainnya, mereka minta kepadanya dengan mengagungkannya dan mengharapkan agar mereka (berhala-berhala itu) mendekatkan diri mereka kepada Allah. Dan mereka berkata:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya“. (QS. Az-Zumar [39]: 3)
Mereka juga berkata:
“mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah“. (QS. Yunus [10]: 18).
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa do’a itu adalah ibadah, dan sesungguhnya ibadah itu tidak ada kecuali milik Allah, dan Allah Ta’ala melarang berdoa kepada selain-Nya, maka Dia berfirman:
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus [10]: 106-107)
Wajib atas orang muslimin untuk mengatakan:
Hanya Engkaulah yang kami sembah,dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (QS. Al-Fatihah [1]: 5)
(Pengucapan ayat itu) dalam setiap raka’at dari shalat-shalat mereka, sebagai petunjuk bagi mereka bahwa ibadah itu tidak ada kecuali bagi-Nya, dan bahwa permintaan tolong itu tidak ada kecuali pada-Nya, bukan orang-orang mati dari para nabi dan seluruh orang yang shalih. Dan janganlah menjadikan kamu tertipu yang demikian itu dengan banyaknya shalat mereka, puasa mereka, bacaan-bacaan (Al-Qur’an) mereka, karena sesungguhnya mereka termasuk orang yang sesat usaha mereka dalam kehidupan di dunia sedang mereka mengira bahwa mereka berbuat baik. Dan yang demikian itu bahwasanya tidak terbangun di atas landasan tauhid yang murni, maka usaha mereka itu adalah bagai debu yang beterbangan. Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atas kesyirikan mereka dan musnahnya amal mereka itu banyak, maka rujukkanlah hal itu kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih dan kitab-kitab Ahlus Sunnah. Kami memohon kepada Allah hidayah untuk kami dan kamu.
Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-buhuts al-‘ilmiyyah wal ifta’, fatwa nomor 9027
Ketua : Abdul aziz bin Abdullah bin Baaz
Anggota: Abdul Razzaq ‘Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghadyan
Anggota: Abdullah bin Qu’ud.
Kyai Sadrach
Bagi sebagian masyarakat yang terlanjur mempersepsikan sebutan kyai dengan ulama agama Islam, boleh jadi akan kecele. Sebab, kyai yang satu ini adalah murtadin (orang murtad, keluar dari Islam) yang aktif menyebarkan agama Kristen sembari membiarkan tradisi Jawa larut dalam ajaran Kristen. Diperkirakan, ia lahir di Jepara pada tahun 1835, dan meninggal dunia pada 14 November 1924 dalam usia 89 tahun.
Anak petani miskin yang pernah menjadi pengemis ini, bernama asli Radin. Ketika ia belajar di salah satu pesantren di Jombang (Jawa Timur), namanya menjadi Radin Abas. Dari Jombang, Radin Abas berkelana ke Semarang. Di sinilah awal kekristenan Radin Abas bermula. Ada dua versi mengenai hal ini.
Versi pertama, di Semarang Radin bertemu dengan seorang penginjil bernama Hoezoo, kemudian Radin Abas pun ikut kelas Katekisasi yang diajar oleh Hoezoo. Di tempat inilah Radin berkenalan dengan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang sudah sepuh, dan sudah lebih dulu murtad. Kebetulan, ia berasal dari daerah yang sama dengan Radin, yaitu daerah Bondo Karesidenan Jepara. Semenjak perkenalan tersebut, Radin menjadi murid Tunggul Wulung.
Versi kedua, di Semarang Radin bertemu dengan Kurmen alias Sis Kanoman, bekas gurunya. Ternyata, saat itu Kurmen sudah masuk Kristen melalui Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Radin Abas pun diperkenalkan Kurmen kepada Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dan Radin berguru kepadanya. Akhirnya, Radin dibawa ke Batavia oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dibaptis dengan nama Sadrach pada tanggal 14 April 1867, ketika usianya menginjak angka 32 tahun. Sejak saat itu, Radin alias Sadrach menjadi anggota gereja Zion Batavia yang beraliran Hervormd. Tugas pertamanya, menyebarkan brosur dan buku-buku tentang agama Kristen dari rumah ke rumah di seputar Batavia.
Sadrach yang pernah belajar di pesantren, meski sudah murtad tetap menempelkan atribut kyai di depan namanya, tentu bukan tanpa maksud. Dua tahun kemudian (1869) Sadrach diangkat anak oleh Pendeta Stevens-Philips yang saat itu berdomisili di Purworejo. Setahun di Purworejo, Sadrach kemudian pindah ke Karangjasa yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Purworejo. Di Karangjasa, Sadrach semakin giat menyebarkan agama Kristen. Antara lain ia berhasil mengkristenkan Kyai Ibrahim yang tinggal di Sruwoh, tak jauh dari Karangjasa, dan Kyai Kasanmetaram.
Geliat Sadrach mengkristenkan kaum pribumi, memberi hasil yang jauh lebih banyak dibanding misionaris Belanda. Bahkan di Purworejo, jumlah orang Kristen Jawa pernah melampaui jumlah orang Kristen Belanda, berkat keuletan Sadrach. Keberhasilan Sadrach terutama karena ia menerapkan strategi yang jitu. Yaitu, hanya melakukan kristenisasi di wilayah-wilayah yang kadar keislamannya masih relatif rendah, yang masih bercampur dengan budaya animisme dan Hindu. Juga, ia menggabungkan ajaran Kristen dengan budaya Jawa seperti Yesus Kristus yang diasosiasikan dengan Ratu Adil. Yang lebih menarik, Sadrach tetap mempertahankan tradisi kejawen dalam masyarakat dengan memasukkan berbagai doa Kristen ke dalamnya.
Meski dinilai berprestasi mengkristenkan kaum pribumi, namun Sadrach tetap saja orang Jawa yang mendapat perlakuan diskriminatif dari kaum kristen Belanda. Bagi sebagian kristen Jawa, sosok Sadrach tidak saja diposisikan sebagai guru, bahkan ada yang menganggapnya Ratu Adil di tanah Jawa. Sementara itu, bagi para misionaris (kristen Belanda), Sadrach hanyalah kyai Jawa yang ambisius dan gila hormat. Selain itu, Sadrach dituduh sebagai sumber sinkretisme antara nilai Kristen dan kejawen.
Kalangan kristen Belanda memandang Sadrach hanya sebagai asisten Pendeta Stevens-Philips. Sehingga, seluruh keberhasilan Sadrach mengkristenkan kaum pribumi dianggap sebagai kerja keras Pendeta Stevens-Philips dan keluarganya. Oleh karena itu mereka menganggap jemaat-jemaat Sadrach berada di bawah hegemoni Pendeta Stevens-Philips. Puncaknya, pada tahun 1891 dikeluarkan pernyataan bersama para misionaris (kristen Belanda) untuk memisahkan diri dari jemaat Sadrach. Bahkan, Sadrach sempat ditangkap dan dipenjara oleh Pemerintah Belanda. Alasannya, Sadrach dianggap sebagai ancaman yang potensial melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, karena memiliki pengaruh kuat di kalangan pribumi. Beberapa bulan kemudian Sadrach dibebaskan.
Begitulah nasib sang Kyai murtad yang kemudian bernama lengkap Radin Abas Sadrach Supranata. Meski sudah murtad dan aktif mengkristenkan kalangan pribumi, ia tetap dipandang sebagai orang Jawa yang kedudukannya lebih rendah dari orang Belanda. Ibarat kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat, tetap saja tak bisa jadi atlit. Apalagi ikut Olimpiade.
Di dunia nasibnya celaka, dan di akherat karena murtadnya dari Islam itu maka kekal di neraka. Itu sudah tegas dinyatakan Allah Ta’ala:
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2] : 217).
Nasib celaka di dunia dan akherat walau julukannya masih tetap kyai itu hendaknya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi setiap Muslim. Lebih-lebih orang-orang yang mengaku Muslim namun liberal (walau Kyai), hendaknya becermin pada bencana hidup yang dialami Kyai Sadrach yang sudah mengorbankan agamanya (Islam) namun tetap di dunia saja tidak diakui oleh Belanda “jasa-jasanya”, sedang adzab Allah di akherat kelak telah jelas akan menimpanya selama-lamanya, kekal di dalam neraka. Na’udzubillahi min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.
Dari uraian ini diketahui bahwa ternyata kyai itu bermacam-macam. Macam-macam kyai itupun tampaknya menarik dibahas, sehingga telah dikenal ada buku berjudul Bila Kyai Dipertuhankan, Membedah Sikap Beragama NU karya Hartono Ahmad Jaiz. Masih pula ada yang lebih khusus lagi, buku berjudul Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs, ternyata karya Hartono Ahmad Jaiz pula.
Dari bahan bacaan maupun kenyataan di masyarakat, sebutan kyai terbukti belum tentu sebagai julukan untuk orang yang alim agama dan akhlaqnya bagus. Bahkan ada yang berupa binatang atau benda. Sedang muatannya pun bermacam-macam. Ada yang baik, ada yang buruk, ada yang menuntun manusia kepada keimanan yang benar, ada yang menyebarkan kemaksiatan tapi seolah agamis, ada yang menyesatkan, dan bahkan ada yang murtad. Sehingga tidak mengherankan bila kelak di akherat isi neraka itu di antaranya adalah Kyai-kyai, bahkan ada yang kekal di neraka karena telah murtad dari Islam. Sedang julukan kyai-nya walaupun masih melekat namun sama sekali tidak ada nilainya apa-apa. Kecuali bagi kyai yang memang benar-benar beriman dan beramal shalih, maka tentu saja Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikannya yang dilandasi iman. Dan itu tercakup dalam ayat:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya. (QS. Al-Kahfi [18]: 107-108)
Beriman di situ disyaratkan dengan tidak bercampur dengan kemusyrikan. Dalam pembahasan ini di antara kemusyrikan itu adalah menyembah kuburan dengan kedok ziarah ke kubur-kubur wali dan orang shaleh, dengan cara meminta kepada isi kubur sebagaimana difatwakan kemusyrikannya dalam fatwa di atas. Syarat iman tidak bercampur dengan kemusyrikan itu ditegaskan dalam Al-Qur’an:
No comments:
Post a Comment