Mantan aktivis gereja itu tergetar saat menyaksikan badai tsunami Aceh tak mampu menyeret bangunan-bangunan masjid.
Hidayatullah.com--Hari itu, hampir seluruh stasiun TV menayangkan keganasan gempa Tsunami di Aceh. Jelas sekali terlihat di layar kaca, betapa bangunan-bangunan terporakporandakan, dan puluhan ribu nyawa melayang olehnya. Siapapun yang menyaksikan musibah ini, sekalipun hanya melalui layar kaca, pasti akan terunyuh hatinya.
Selain memberitakan kedahsyatan gempa tsunami, stasiun-stasiun TV juga meliput beberapa ‘keajaiban’ yang terjadi di sana (Aceh). Diantaranya adalah kondisi Masjid Agung yang tetap berdiri tegap, padahal, seluruh bangunan yang ada di sekitarnya, telah menyatu dengan tanah. Anehnya, tempat ibadah umat Islam itu, tidak mengalami kerusakan yang berarti, ia tetap berdiri kokoh.
Terhadap fenomena yang menakjubkan ini, tidak sedikit orang yang mengatakan, bahwa hal tersebut membuktikan akan kekuasaan Allah, yang Ia tunjukkan melalui perantara tsunami.
Berbagai keajaiban itulah yang kelak membuka hati seorang wanita parubaya asal Surabaya. Inilah kisahnya;
***
Ia mencibir dengan sinis komentar-komentar yang menyatakan adanya keterlibatan Allah (Tuhan kaum muslimin) dalam musibah yang terjadi pada tahun 2004 silam itu, “Ya wajarlah. Bagaimana masjidnya mau ambruk, lha wong masjidnya megah dan lebih kuat dari bangunan-bangunan di sekitarnya,” ujarnya mengomentari liputan TV tentang keajaiban Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang tak ikut roboh diterjang tsunami.
Namun tak lama setelah berucap demikian, seketika tayangan televisi berganti dengan berita, bahwa, selain masjid agung tersebut, terdapat sebuah surau (musholla) kecil, terbuat dari gedhek (anyaman bamboo, red) yang juga terkena arus tsunami, namun, musholla itu tidak mengalami ‘cacat’ sedikitpun, bertolak belakang dengan bangunan yang ada di sekelilingnya.
Sadar akan kemahabesaran Tuhan yang Ia tunjukkan itu, batin perempuan tersebut seketika bergetar, bulu kuduknya berdiri, seraya menangis tersedu-sedu, dan langsung tersungkur, sujud, mengakui kekhilafannya selama ini.
Wanita paruh baya itu adalah Agustin (30). Ia berkomentar demikian, karena memang, saat itu, ia masih belum meyakini akan keberadaan Allah dengan sebenar-benarnya, sekalipun ia telah bersyahadat sepuluh tahun lamanya, sebelum musibah tsunami terjadi.
Lalu bagaimana lika-liku kisah perjalanan spiritual wanita asal Surabaya ini hingga mengecap manisnya iman? Dan atas dasar apa dia bersahadat, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya, padahal ia sama sekali tidak mempercayai akan hakekat keduanya? Adakah misi tersembunyi di balik itu semua?
Aktivis Gereja
Ia terlahir di tengah-tengah keluarga dan lingkungan Kristen. Tak ada hari selain beraktifitas di gereja. Boleh dikata, hampir setiap hari Agustin aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan gereja.
“Di sini, kami didoktrin dengan ajaran bahwa agama kami adalah agama kasih, agama penyelamat. Adapun agama lain, Islam, misalnya, adalah agama sesat, yang justru akan menjerumuskan pemeluknya ke dalam neraka, ujarnya.
”Lingkungan menjadikanku sosok yang sangat fanatik terhadap agama, “tambahnya.
Sebab itu, Ia dianjurkan untuk menjadi pengembala-pengembala penyelamat (sebutan bagi para misionari) yang menyelamatkan domba-domba (sebutan mereka yang di luar agama nasrani) tersesat.
Karena hampir setiap hari mengikuti kegiatan ini, militansinyaku terhadap agama (Kristen, red) sangat kuat. Begitu pula semangat menyebarkan misi di tengah-tengah masyarakat. Saking kuatnya keyakinan yang ia miliki, pernah terbesit keinginan untuk menjadi pendeta.
“Namun, karena rencana itu telah terbaca terlebih dahulu oleh keluarga, mereka menetangku, terutama paman, katanya. “Perempuan kok mau jadi pendeta”, ujar mereka pada Agustin.
Meskipun demikian, semangat untuk mengkristenkan masyarakat (Muslim), tidak pernah kendur. Bahkan sudah tak terhitung berapa jumlah dari mereka yang telah berpindah agama disebabkan ajakkan nya.
“Dan makanan ’empuk’ kami adalah mereka yang tergolong kelas bawah, yang secara ekonomi, mereka dalam kekurangan. Sengaja kami pilih kelas ini, karena melihat kurangnya perhatian saudara sesama muslim dalam mengangkat harka danmartabat kehidupan mereka dari kesengsaraan ekonomi,” kenangnya.
“Kami bantu mereka dengan memberikan santunan-santunan. Sembari memberikan bingkisan-bingkisan tersebut, kami selipkan nilai-nilai kekeristenan, ini adalah bagian dari kasih sayang Kristus melalui prantara kami, untuk menyelamatkan bapak/ibu, ” bagitu ceramah Agustin kala itu.
Nikah Missi
Suatu hari, Agustin dipertemukan dengan seorang laki-laki yang bersimpangan keyakinan dengannya. Ia seorang Muslim. Karena sering berjumpa, benih-benih cintapun tumbuh di antara mereka berdua. Setelah satu sama lain merasa cocok, merekapun memutuskan untuk menikah. Namun, keinginan tersebut terbentur ’tembok tebal’, yaitu perbedaan agama. Karena terlanjur cinta, tawaran untuk memeluk Islam yang dijadikan syarat sahnya pernikahan, akhirnya disanggupi.
Agustin mengaku bersyahadat karena terpaksa. “Sebab pada dasarnya, tawaran tersebut kuterima, (selain atas dasar cinta), aku memiliki missi pribadi, yaitu, mempengaruhi suami untuk memeluk agama Kristen, di tengah-tengah mengarungi bahtera rumah tangga nanti, “ ujarnya.
Namun, alih-alih mengajaknya untuk memeluk Kristen, justru akhirnya ialah yang ’takluk’.
Sebagaimana diketahui, tipe suami Agustin pria yang sangat sabar dalam menghadapi istri. Sadar bahwa keimanannya terhadap Islam bak fatamorgana, tidak serta merta membuatnya gelap mata dan mendampratnya.
“Lebih-lebih, dia juga mengetahui kalau aku termasuk orang yang suka berdebat. Untuk menghindari percekcokkan rumah tangga, ia memilih strategi lain dalam membimbingku menuju ridha Ilahi. Ia beli buku-buku agama Islam, termasuk di dalamnya, buku Amad Deedat, yang membahas secara rinci, tentang kesalahan-kesalah yang terdapat di Bibel. Buku-buku tersebut digeletakkan begitu saja di meja, ataupun di atas ranjang,” ujarnya.
Bagaimanapun juga, meskipun tidak dianjurkan untuk membaca, rasa penasaran Agustin untuk membuka buku-buku tersebut tetap tinggi. Ia akhirnya menjelajahi isi-isinya.
Dan sungguh mencengangkan, betapa penjelasan buku-buku tersebut --tentang kesalahan-kesalahan yang terdapat pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, benar adanya, setelah kubuktikan dengan membuka Bibel.
Sebagai contoh, diterangkan dalam buku tersebut, bahwa, di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terdapat perbedaan penjelasan tentang banyaknya jumlah pasukan yang ikut serta dalam suatu peperangan. Ironinya, kasus macam ini, diakuinyatidak hanya satu, dua saja, tapi banyak. Dan hal inilah yang sedikit demi sedikit telah mengikis keyakinannya, yang selama ini tidak tergoyahkan.
Pada suatu malam, Agustin benar-benar dalam kegamangan. “Aku bingung dengan konsep Tuhan Trinitas yang selama ini kuyakini, terlebih setelah mengetahui akan kekeliruan-kekeliruan di dalamnya,” ujarnya.
Namun di balik itu, Agustin pun belum yakin akan kebenaran Islam. Di tengah kesunyian dan gelapnya malam, ia mengadahkan muka ke langit. Terlihat di atas sana bintang-bintang yang berkelap-kelip. Sembari menitikkan air mata, ia berujar di tengah-tengah kekalutan batinku, ”Yaa Tuhan, agama manakah yang benar di antara dua agama ini? Tunjukkanlah satu bukti nyata pada diri ini, akan kebenaran salah satu di antara keduanya,” demikian harapnya.
Tidak lama setelah itu, bukti itupun datang dibalik musibah besar yang melanda negeri ini, yaitu gempa tsunami, di Nangroe Aceh Darussalam.
Iapun terbelalak, ketika lebih dari enam masjid kecil tegar oleh badai tsunami. Ketika semua gedung, tanaman dan apa yang disekitarnya bersih disapu tsunami, ajaibnya masjid-masjid kecil itu tetap kokoh berdiri dan utuh.
Pemandangan itulah yang nampaknya menggetarkan hati Agustin. Sejak itu, iapun kembali bersyahadat untuk yang kedua kalinya.
“Sejak itu, aku bisa merasakan ketenangan batin, dan mengecap manisnya iman, lebih-lebih, ketika aku telah mengenakan hijab, terasa sekali kesejukkan dalam sanubari. Dan yang lebih penting lagi, sejak mengenakannya (jilbab), tidak ada lagi mata keranjang laki-laki yang berani melototiku, ketika luar rumah, “ ujarnya kepada hidayatullah.com.
“Akhirnya, puji syukur kuhaturkan kepada Allah, yang telah menunjukkan ke padaku jalan yang lurus, sehingga aku mampu mengecap manisnya iman. Mudah-mudahan, keluargakupun akan mengikuti jejakku di kemudian hari. Amien yaa rabbal ’aalamien. [Robin Sah/hidayatullah.com]
Disampaikan oleh Agustin Krisnari, mantan aktivis gereja asal Surabaya, kepada hidayatullah.com
http://hidayatullah.com/cermin-a-features/cermin/12047-tsunami-aceh-melahirkan-tsunami-batinku
No comments:
Post a Comment