28.10.09
Poligami dan Asbabun Nuzul Ayat
Selasa, 27/10/2009 11:08 WIB
Asslm. Wr. Wb,
Ustadz yang insya ALLOH dirahmati ALLOH SWT,
1. Saya ada pertanyaan mengenai poligami dikarenakan ada yang menyatakan kalau kita mau berpoligami yang sesuai dengan Rasulullah SAW, maka istri pertama harus meninggal dahulu seperti Khadijah R.A?
2. Apa dan sebab turunnya ayat berpoligami tersebut, apakah pada saat Khadijah R.A masih ada atau beliau sudah meninggal? Atau bagaimana? Mohon penjelasannya.
Terima kasih atas perhatiannya.
Wasslm. Wr. Wb,
Hamba ALLOH
Shahrin Febrian
JAWABAN
Waalaikumussalam Wr Wb
Poligami merupakan sesuatu yang disyariatkan oleh Allah swt sebagai solusi dari kehidupan masyarakat pada saat itu yang tidak ada pembatasan bagi seorang laki-laki dalam memiliki istri serta untuk memenuhi tuntutan sosial masyarakat yang semakin hari jumlah kaum wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.
Disyariatkannya hal itu berdasarkan firman Allah swt :
“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisaa: 3)
Ijma para ulama menyatakan bahwa diperbolehkan seseorang melakukan poligami dengan dua persyaratan:
1. Mampu berlaku adil terhadap para istrinya, sebagaimana firman Allah swt:
“kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)
2. Memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah kepada para istrinya itu, sebagaimana firman Allah swt:
“dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur: 33)
Memang didalam siroh disebutkan bahwa Rasulullah saw baru melakukan poligami pada usia 53 tahun setelah Khodijah ra meninggal dunia hingga usia beliau 60 tahun.
Poligami yang dilakukan Rasulullah saw dikarenakan tuntutan da’wah. Pada saat itu usia Nabi saw semakin tua sementara tugasnya bertambah berat didalam menyampaikan risalahnya sehingga beliau saw membutuhkan orang-orang yang paling dekat dengannya untuk menjadi perantara dalam menyampaikan hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan wanita muslimah. Tentunya sangatlah merisihkan diri nabi saw jika beliau saw secara langsung menjelaskan hukum-hukum syariat tentang wanita kepada para wanita muslimah. Karena itulah, fungsi menyampaikan ini diambil oleh hampir seluruh istrinya.
Apa yang dilakukan Rasulullah saw dengan berpoligami setelah meninggalnya Khodijah sebagai istri pertamanya adalah juga perintah dari Allah swt. Dan hal itu tidak berarti bahwa setiap muslim baru bisa berpoligami setelah istri pertamanya meninggal dunia.
Islam adalah agama fitrah yang mengerti akan kebutuhan setiap manusia. Tentunya kebutuhan setiap manusia tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya termasuk dorongan syahwat (libido). Ada diantara mereka yang membutuhkan istri lebih dari satu untuk memenuhi libidonya sementara sebagian lainnya merasa cukup dengan satu istri. Atau mungkin ada diantara mereka yang sedang diuji dengan sakit berkepanjangan yang dialami istrinya sehingga tidak bisa melayani kebutuhan seksual suaminya sementara dirinya membutuhkan jalan keluar untuk itu, lalu apakah solusi buat suaminya itu ?
Apakah dirinya harus menanti hingga istrinya meninggal dunia?! Sementara dorongan seksualnya semakin hari terus semakin bertambah! dan bukan tidak mungkin jika tidak ada solusi berpoligami maka dirinya akan jatuh kedalam perbuatan yang diharamkan untuk memenuhi kebutuhannya itu.
Tidak ada nash didalam Al Qur’an maupun sunnah yang melarang seorang muslim untuk berpoligami sementara istri pertamanya masih ada disampingnya selama dirinya sudah termasuk orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk itu. Nash-nash Al Qur’an dan sunnah hanya memberikan batasan bagi seseorang yang berpoligami untuk tidak memiliki istri lebih dari empat orang, sebagaimana Diriwayatkan oleh Ahmad dari Salim dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah ats Tsaqofi masuk islam sementar dirinya memiliki sepuluh orang istri. Lalu Nabi saw berkata kepadanya,”Pilihlah empat orang saja dari mereka.”
Adapun sebab nuzul dari ayat 3 surat an Nisa tentang poligami diatas, sebagaimana disebutkan didalam ash shahihain adalah bahwa Urwah bin az Zubeir bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah berkata,”Wahai anak saadara perempuanku sesungguhnya anak perempuan yatim ini berada didalam perawatan walinya—ia menyertainya didalam hartanya, lalu walinya tertarik dengan harta dan kecantikan anak perempuan yatim itu dan menginginkan untuk menikahinya dan tidak berlaku adil terhadap maharnya, dia memberikan mahar kepadanya tidak seperti orang lain memberikan mahar kepadanya. Maka mereka dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim kecuali apabila mereka dapat berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim itu dan memberikan kepada anak-anak perempuan yatim itu yang lebih besar dari kebiasaan mereka dalam hal mahar. Maka para wali itu pun disuruh untuk menikahi wanita-wanita lain yang disenanginya selain dari anak-anak perempuan yatim itu.”
Ayat 3 dari surat An Nisa ini turun pada tahun kedelapan setelah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah setelah meninggalnya Khodijah ra pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian dan juga setelah beliau saw menikahi seluruh istrinya dan wanita terakhir yang dinikahinya adalah Maimunah pada tahun ke-7 H.
Wallahu A’lam
Asslm. Wr. Wb,
Ustadz yang insya ALLOH dirahmati ALLOH SWT,
1. Saya ada pertanyaan mengenai poligami dikarenakan ada yang menyatakan kalau kita mau berpoligami yang sesuai dengan Rasulullah SAW, maka istri pertama harus meninggal dahulu seperti Khadijah R.A?
2. Apa dan sebab turunnya ayat berpoligami tersebut, apakah pada saat Khadijah R.A masih ada atau beliau sudah meninggal? Atau bagaimana? Mohon penjelasannya.
Terima kasih atas perhatiannya.
Wasslm. Wr. Wb,
Hamba ALLOH
Shahrin Febrian
JAWABAN
Waalaikumussalam Wr Wb
Poligami merupakan sesuatu yang disyariatkan oleh Allah swt sebagai solusi dari kehidupan masyarakat pada saat itu yang tidak ada pembatasan bagi seorang laki-laki dalam memiliki istri serta untuk memenuhi tuntutan sosial masyarakat yang semakin hari jumlah kaum wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.
Disyariatkannya hal itu berdasarkan firman Allah swt :
“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisaa: 3)
Ijma para ulama menyatakan bahwa diperbolehkan seseorang melakukan poligami dengan dua persyaratan:
1. Mampu berlaku adil terhadap para istrinya, sebagaimana firman Allah swt:
“kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)
2. Memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah kepada para istrinya itu, sebagaimana firman Allah swt:
“dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur: 33)
Memang didalam siroh disebutkan bahwa Rasulullah saw baru melakukan poligami pada usia 53 tahun setelah Khodijah ra meninggal dunia hingga usia beliau 60 tahun.
Poligami yang dilakukan Rasulullah saw dikarenakan tuntutan da’wah. Pada saat itu usia Nabi saw semakin tua sementara tugasnya bertambah berat didalam menyampaikan risalahnya sehingga beliau saw membutuhkan orang-orang yang paling dekat dengannya untuk menjadi perantara dalam menyampaikan hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan wanita muslimah. Tentunya sangatlah merisihkan diri nabi saw jika beliau saw secara langsung menjelaskan hukum-hukum syariat tentang wanita kepada para wanita muslimah. Karena itulah, fungsi menyampaikan ini diambil oleh hampir seluruh istrinya.
Apa yang dilakukan Rasulullah saw dengan berpoligami setelah meninggalnya Khodijah sebagai istri pertamanya adalah juga perintah dari Allah swt. Dan hal itu tidak berarti bahwa setiap muslim baru bisa berpoligami setelah istri pertamanya meninggal dunia.
Islam adalah agama fitrah yang mengerti akan kebutuhan setiap manusia. Tentunya kebutuhan setiap manusia tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya termasuk dorongan syahwat (libido). Ada diantara mereka yang membutuhkan istri lebih dari satu untuk memenuhi libidonya sementara sebagian lainnya merasa cukup dengan satu istri. Atau mungkin ada diantara mereka yang sedang diuji dengan sakit berkepanjangan yang dialami istrinya sehingga tidak bisa melayani kebutuhan seksual suaminya sementara dirinya membutuhkan jalan keluar untuk itu, lalu apakah solusi buat suaminya itu ?
Apakah dirinya harus menanti hingga istrinya meninggal dunia?! Sementara dorongan seksualnya semakin hari terus semakin bertambah! dan bukan tidak mungkin jika tidak ada solusi berpoligami maka dirinya akan jatuh kedalam perbuatan yang diharamkan untuk memenuhi kebutuhannya itu.
Tidak ada nash didalam Al Qur’an maupun sunnah yang melarang seorang muslim untuk berpoligami sementara istri pertamanya masih ada disampingnya selama dirinya sudah termasuk orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk itu. Nash-nash Al Qur’an dan sunnah hanya memberikan batasan bagi seseorang yang berpoligami untuk tidak memiliki istri lebih dari empat orang, sebagaimana Diriwayatkan oleh Ahmad dari Salim dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah ats Tsaqofi masuk islam sementar dirinya memiliki sepuluh orang istri. Lalu Nabi saw berkata kepadanya,”Pilihlah empat orang saja dari mereka.”
Adapun sebab nuzul dari ayat 3 surat an Nisa tentang poligami diatas, sebagaimana disebutkan didalam ash shahihain adalah bahwa Urwah bin az Zubeir bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah berkata,”Wahai anak saadara perempuanku sesungguhnya anak perempuan yatim ini berada didalam perawatan walinya—ia menyertainya didalam hartanya, lalu walinya tertarik dengan harta dan kecantikan anak perempuan yatim itu dan menginginkan untuk menikahinya dan tidak berlaku adil terhadap maharnya, dia memberikan mahar kepadanya tidak seperti orang lain memberikan mahar kepadanya. Maka mereka dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim kecuali apabila mereka dapat berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim itu dan memberikan kepada anak-anak perempuan yatim itu yang lebih besar dari kebiasaan mereka dalam hal mahar. Maka para wali itu pun disuruh untuk menikahi wanita-wanita lain yang disenanginya selain dari anak-anak perempuan yatim itu.”
Ayat 3 dari surat An Nisa ini turun pada tahun kedelapan setelah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah setelah meninggalnya Khodijah ra pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian dan juga setelah beliau saw menikahi seluruh istrinya dan wanita terakhir yang dinikahinya adalah Maimunah pada tahun ke-7 H.
Wallahu A’lam
Subscribe to:
Posts (Atom)