11.11.15

Negara-Negara Arab Sunni (Islam) Akan Dijajah Syi'ah IRAN?

JAKARTA (voa-islam.com) – Jika berpikir secara perlahan-lahan dengan lapang dada dan hati yang jernih, maka akan dapat disimpulkan, tentang masa depan negara-negara Arab Sunni? Barangkali ini kesimpulan yang sangat skeptis, yaitu negara-negara Arab Sunni akan dijajah oleh Syi'ah?

Ada beberapa patokan yang dapat menjadi dasar kesimpulan, bahwa negara-negara Arab Sunni, bakal dijajah oleh Syi'ah Iran. Mungkin prediksi ini berlebihan, dan bisa dinilai telalu skeptis dan pesimis melihat masa depan negara-negara Arab pasca “Arab Spring”.

Perubahan akibat "Arab Spring", menimbulkan "counter" terhadap sejumlah negara-negara Arab oleh kekuatan lama yang didukung Barat, dan kemudian merubah seluruh situasi dan keadaan di Timur Tengah dan Dunia Arab. Termasuk di Suriah. Kegagalan negara-negara Arab Sunni menghadapi Syi'ah Iran, disebabkan faktor-faktor:

Pertama, negara-negara Arab Sunni tidak dapat bersatu dalam semua masalah, dan terus memiliki perbedaan yang dalam, dan bahkan menjurus konflik yang terbuka, yang sifatnya antar negara. Sebagai contoh, antara Mesir dengan Arab Saudi, dan sejumlah negara Teluk. Betapa sekarang media-media Mesir, tanpa henti mengolok-olok Arab Saudi, dan Raja Salman. Bandingkan dengan Syi'ah? Mereka bersatu dibawah arahan Ayatullah Ali Khamenei, sebagai pemimpin dan panutan golongan Syiah. Tidak ada konflik terbuka diantara negeri-negeri Syiah, dan kelompok-kelompok Syiah di berbagai negara.

Kedua, negara-negara Arab di tinggalkan oleh Amerika Serikat, Eropa, dan Rusia, dan tidak tidak lagi dipandang sebagai sekutu yang strategis. Sekarang membangun hubungan baru dengan Iran, sebagai sekutu strategis yang menggantikan negara-negara Arab. Terjadinya pergeseran aliansi ini, bisa berdampak negatif, tapi juga bisa berdampak positif bagi negara-negara Arab Sunni, bila meninggalkan ketergantungan kepada Barat.

Ketiga, perubahan 'geostrategis' dan 'geopolitik' ini, ditandai dengan dukungan enam negara utama, yaitu Amerika, Rusia, Cina, Inggris, Perancis, dan Jerman, yang mendukung program nuklir Iran. Ini mempunyai dampak keamanan dikawasan Timur Tengah, sangat berbahaya bagi keamanan masa depan negara-negara Arab.

Keempat, Iran bukan hanya mendapatkan dukungan dari enam negara utama dalam membangun fasilitas nuklirnya, tapi Iran juga mendapatkan senjata pamungkas, yaitu rudal S-300, dari darat ke udara. Ini tidak dimiliki negara-negara Arab. Dengan demikian, Iran memiliki arsenal persenjataan baru, dan berpotensi menjadi ancaman bagi negara-negara Arab.

Kelima, negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Uni Eropa, telah mencairkan semua asset Iran yang dibekukan selama terjadinya konflik, dan sekarang mendapatkan dana mereka kembali yang nilai ratusan triliun dolar. Ini dapat digunakan membiayi ekonomi dan militer Iran. Iran akan mampu bertindak apa saja. Uni Eropa pun sekarang memulihkan kerjasama dengan Iran, bersamaan dengan kunjungan Kepala Kebijakan Uni Eropa, Ferderica Mogherini ke Teheran.

Kelima, Iran semakin kokoh “hegemoninya” di kawasan Timur Tengah, bersamaan dengan dukungan Amerika, Eropa, dan Rusia. Dengan isu “terorisme” yang terus didorong oleh Iran, dan kecemasan Amerika, Eropa, Rusia, dan sejatinya dibelakang isu ini kepentingan Zionis, Nampaknya Iran menjadi sekutu yang dipercaya. Sebutan “evil” (iblis) oleh Amerika terhadap Iran, telah dihapus, dan sebagai gantinya sekarang ini, Iran menjadi sekutu strategis Barat, Eropa, dan Rusia menghadapi ancaman yang lebih potensial, yaitu “ISIS”, yang dianggap sebagai ancaman bagi Barat. ISIS dianggap mewakili kelompok Sunni, dan lebih berbahaya dibanding dengan Syi'ah.

Keenam, negara-negara Arab “petro dollar”, diprediksi akan bangkrut, bersamaan dengan turunnya harga minyak dan habisnya cadangan minyak mereka. Negara-negara Arab tidak lagi bisa eksis di masa depan, karena minyaknya bukan hanya habis, tapi harganya sudah tidak dapat lagi menopang APBN mereka. Inilah yang lebih suram. Apalagi, gaya hidup para pangeran Arab. Sebagai gambaran Arab Saudi pun, sekarang sudah mengalami defisit APBN.

Ketujuh, sampai sekarang negara-negara Arab, mereka tidak jelas sikapnya terhadap kelompok-kelompok pejuang oposisi di Suriah. Sikapnya masih sangat ditentukan oleh Amerika, Eropa dan Rusia. Sikapnya yang tidak total mendukung para pejuang oposisi, membuat Bashar Al-Assad semakin berkepanjangan. Seharusnya Arab Saudi, sebagai negara utama, bisa melakukan “deal” politik dengan kekuatan oposisi, mengakhiri rezim Bashar. Bahkan, negara-negara Arab ikut memerangi kelompok Mujahidin, bersama-sama dengan Amerika, Rusia, dan Eropa.

Kedelapan, yang lebih penting, banyaknya perbedaan diantara "harakah" (gerakan), dan perbedaan itu, sampai pada tingkat yang sangat berlebihan, saling mengkafirkan, menuduh kafir, murtad, dan bahkan di medan jihad pun saling berperang. Inilah persoalan yang paling menghancurkan. Soal-soal ijtihadi, kemudian dijadikan dasar saling mengkafirkan, dan bermusuhan. Semua itu, semakin melemahkan perjuangan, khususnya bagi kekuatan golongan Sunni.

Inilah beberapa kondisi dan perubahan politik di Timur Tengah, yang membuat semakin melemahnya, kekuatan negara-negara Arab Sunni, menghadapi Syiah Iran, dan kemungkinan peluangnya di masa depan, Timur Tengah, bisa jatuh ke tangan Syiah. Ini harus mendapatkan perhatian di Indonesia. Tidak cukup menghadapi Syi'ah Iran dengan pidato dan retorika.

Satu-satunya peluang, bila Raja Salman bin Abdul Aziz dengan kharismanya bisa menyatukan seluruh kekuatan negara-negara Arab Sunni dan membangun dialog dengan Gerakan Islam, dan secara tegas melepaskan diri dari ketergantungan kepada Amerika, Eropa, dan Rusia, serta bersikap mandiri, termasuk tidak terbawa oleh permainan mereka.

Arab Saudi dan negara-negara Arab Sunni harus tegas mendukung semua perjuangan kelompok Sunni, seperti di Suriah, Irak,Yaman, dan tempat lainnya. Ini kemungkinan yang dapat memenangkannya menghadapi Syi'ah Iran. (mashadi/voa-islam.com)


5.000 Mata-Mata Syiah Iran Siap Kacaukan Stabilitas Dunia Arab

Eramuslim – Direktur Eksekutif Pengawas Teluk, Zafer Al Ajmi, memperingatkan kehadiran 5.000 mata-mata pemerintah Syiah Iran di seluruh negara-negara Teluk, yang dipersiapkan untuk membuat kekacaun di kawasan Sunni.

Informasi ini disampaikan Zafer dalam Konferensi ke empat Perencanaan Keamanan Strategis Teluk yang diselenggarakan di ibukota Bahrain beberapa hari yang lalu.

Teheran bergantung pada milisi dan mata-matanya di luar negeri untuk memaksakan agenda mereka di wilayah yang tidak meninggalkan ruang komunikasi antara Syiah dengan Islam Sunni untuk membangun hubungan yang normal,” ujar Zafer Al Ajmi.

Zafer Al Ajmi melanjutkan, “Untuk melancarkan agenda tersebut, Syiah Iran gunakan Irak sebagai tempat singgah untuk lewatnya senjata dan bahan peledak ke Teluk, guna mengacaukan stabilitas keamanan di negara-negara tersebut.”

Perlu diketahui bahwa pada awal bulan Oktober kemarin pemerintah Bahrain baru saja mengusir Dubes Iran karena dianggap mencampuri urusan dalam negeri Bahrain, setelah ditemukannya senjata api, granat, dan 1,5 ton bahan peledak C4 di bawah tanah sebuah rumah milik milisi Syiah Iran di daerah Nuwaidrat. (Dostor/Ram)


Mengapa Orang Afghanistan Mau Mati untuk Iran di Suriah?

Jika Iran kalah di Suriah, maka negara Syiah itu tidak lagi ditakuti oleh kerajaan-kerajaan Arab kaya minyak.

Poster pemimpin Syiah Iran Ayatullah Khamenei, Bashar Al-Assad,
pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah
Poster pemimpin Syiah Iran Ayatullah Khamenei, Bashar Al-Assad,
pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah
Hidayatullah.com—Sejak Rusia ikut ambil bagian dalam serangan udara di Suriah, jumlah orang Iran yang menjadi korban ikut bertambah.

Media-media Iran menggunakan istilah tidak resmi “Para pembela makam suci” untuk menyebut orang-orang Iran dan Afghanistan, yang diterjunkan sebagai pasukan paramiliter membantu pasukan rezim Suriah dan syiah Hizbullah dalam menghadapi oposisi dan ISIS. Mereka mengunakan dalih ada ancaman-ancaman atas tempat-tempat suci Syiah di Suriah, terutama sekitar Damaskus, sebagai alasan kehadirannya di Suriah.

Pekan lalu, jurubicara Garda Revolusi Iran mengatakan bahwa Abdullah Bagheri, seorang mantan pengawal presiden Iran Mahmud Ahmadinejad, telah terbunuh di Aleppo, bagian utara Suriah.

Dua pekan silam, Jenderal Hussein Hammedani, salah satu komandan tertinggi Korps Pengawal Revolusi, sebuah pasukan elit Iran, tewas di Aleppo. Dia merupakan komandan Iran paling senior yang terbunuh dalam operasi militer di luar negeri.

Seorang pejabat Amerika pekan lalu mengatakan bahwa tidak kurang dari 2.000 orang Iran, atau serdadu dukungan Iran, ambil bagian dalam serangan terhadap pasukan oposisi Suriah. Mereka berkoordinasi dengan pasukan Rusia dan tentara pendukung rezim Bashar Al-Assad.

Sejak tahun kedua perang sipil di Suriah, Iran terus meningkatkan kehadiran militernya di negara itu.

Oleh karena mendapatkan kecaman dari dalam negeri dan dunia internasional atas keterlibatannya dalam konflik Suriah, Teheran lebih memilih untuk mengerahkan orang-orang asal Afghanistan yang tinggal di Iran.

Dilansir Euronews (27/10/2015) Brigade Fatemiun –yang diambil dari nama putri Nabi Muhammad, Fatimah– merekrut ratusan migran asal Afghanistan yang berada di Iran. Orang-orang Afghanistan itu dilatih dan dikerahkan oleh pemerintah Syiah Teheran untuk bertempur di Suriah. Iran menjanjikan orang-orang itu bayaran $500 setiap bulan, dan ditambah dengan status penduduk permanen di Iran.

Pemerintah Syiah Iran merupakan pendukung setia rezim Syiah Alawi pimpinan Bashar Al-Assad di Suriah. Bertentangan dengan retorika yang selama ini dikemukakan, motivasi Iran di Suriah jauh melebihi sekedar masalah keagamaan (Syiah versus Muslim Sunni). Faktor geopolitik kawasan ikut bermain di sana. Selama delapan tahun perang antara Iran dengan Iraq, pemimpin Suriah ketika itu Hafidz Al-Assad (ayah dari Bashar Al-Assad), merupakan satu-satunya sekutu Iran di Arab.

Selain itu, Suriah tidak pernah menuntaskan perjanjian perdamaiannya dengan Israel, berbeda dengan Mesir dan Yordania. Konsekuensinya, negara Suriah, bersama dengan kelompok bersenjata Syiah asal Libanon Hizbullah, dan Iraq yang sekarang pemerintahannya dikuasai politisi-politisi Syiah, dianggap sebagai komponen dari apa yang disebut Iran dengan Axis of Resistance ‘poros perlawanan’ terhadap Israel.

Para pemimpin Iran mengetahui, jika mereka kalah di Suriah, maka hal itu akan menjadi hantaman besar bagi pamor dan pengaruh negeri Syiah itu di mata kerajaan-kerajaan Arab kaya minyak serta Israel. Negara Syiah Iran, jika kalah di Suriah, tidak akan lagi ditakuti oleh negeri-negeri Muslim Sunni.*


Syiah di Indonesia Kedepankan Strategi Taqrib, Waspadalah!

Eramuslim.com – Kalangan Syiah di Indonesia seringkali menggaungkan agenda taqrib, penyatuan antara Sunni dan Syiah sebagai modusnya. Sebuah gagasan usang yang terus diulang-ulang.

Ketua Dewan Syuro Annas Habib Zein al-Kaff juga menegaskan, ajaran Syiah tidak dapat disatukan, apalagi disamakan dengan Islam. Rukun Islam dan rukun iman yang merupakan dasar dari Islam sangat berbeda dengan apa yang diyakini sebagai rukun oleh Syiah.

Menanggapi taqrib yang banyak didengungkan untuk menyatukan ajaran Sunni dan Syiah, Habib Zein menyatakan, hal itu merupakan proyek yang dicanangkan oleh para pemuka Syiah, termasuk di Indonesia. Menurutnya, langkah itu dilakukan lantaran para pemuka Syiah menyadari posisi mereka sebagai minoritas.

Taqrib mereka gunakan untuk mematahkan fakta minoritas tersebut,” ujar Habib Zein, lansir Republika, Selasa (10/11/2015).

Taqrib juga diyakini sebagai bagian dari upaya pemuka-pemuka Syiah di Iran yang merasa gagal menyebarkan alirannya di Indonesia. ”Akhirnya, mereka berusaha masuk melalui taqrib.”

Ketua Aliansi Nasional Anti-Syiah DKI Jakarta Buya Abu Bakar al-Habsyi menambahkan, masyarakat Indonesia harus memahami bahwa akidah-akidah Syiah saat ini tidak pernah ada dalam Syiah yang sejak dulu ada di Indonesia. Akidah-akidah itu, menurutnya, baru hadir beberapa tahun belakangan ini. ”Itu dimaksudkan agar masyarakat melihatnya sebagai aliran yang serupa dengan Islam.”

Masyarakat, lanjut dia, sangat penting untuk memahami hal tersebut sehingga tidak terjebak dalam taqiyah atau kamuflase yang dimunculkan Syiah selama ini. Melalui pemahaman itu, tujuan kelompok Syiah untuk memecah belah umat Islam dan menghancurkan persatuan dan kesatuan NKRI tidak terwujud.

Sementara itu, Ketua Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS) KH Athian Ali mengatakan, peredaran ajaran dari kelompok Syiah semakin mengkhawatirkan. Ia pun berharap, masyarakat jangan sampai teperdaya oleh ajaran tersebut.

Selama ini, menurut Kiai Athian, tak sedikit umat Islam di Indonesia yang teperdaya oleh ajaran dan tokoh-tokoh Syiah. Akibatnya, mereka membenarkan bahkan meyakini bahwa perbedaan yang ada dalam ajaran Syiah hanyalah sekadar perbedaan mazhab. Hal itu, kata dia, tampak jelas dari pernyataan yang pernah disampaikan Tajul Muluk, salah satu pemuka Syiah di Indonesia. Tajul menegaskan, Alquran bukanlah kitab suci agama Islam.

Selain itu, lanjut Kiai Athian, masih banyak lagi ajaran Syiah yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti perbedaan syahadat, perbedaan shalat ,dan hal-hal kecil lain, seperti perbedaan wudhu.

Jadi, bukan sekadar perbedaan mazhab,” ujar Kiai Athian saat bersilaturahim ke kantor harian Republika di Jakarta, Senin (9/11).

Ajaran Syiah yang melaknat para sahabat Nabi Muhammad SAW, menurut dia, juga semakin menunjukkan bahwa Syiah bukanlah Islam. Karena itu, Kiai Athian yang juga merupakan pimpinan Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) menegaskan, Syiah tidak dapat disamakan dengan Islam dan tidak dapat dibiarkan menyebarkan ajarannya di Indonesia.

Meski demikian, kata Kiai Athian, selama lima tahun terakhir, gerakan-gerakan Syiah justru semakin berani menampilkan diri di muka publik. Hal ini karena mereka merasa sudah memiliki kekuatan yang cukup besar di Indonesia.

Terkait ancaman Syiah, ANNAS sudah menjalin koordinasi dengan banyak pihak, di antaranya, DPR, Polri, dan Kemenko Polhukam.(ts/arrahmah)


►►►More... (MUST READ MUST KNOW!)


Syiah Bukan Islam!

No comments:

Post a Comment