4.11.12

Densus 88 vs "Teroris"

Ambon, Bali dan Densus 88: The End of Indonesia?

Oleh: Nuim Hidayat

TRAGEDI Ambon hanya terpaut tiga tahun dengan bom Bali. Tragedi Ambon terjadi pada 19 Januari 1999, sedangkan Bom Bali pada12 Oktober 2002. Polisi dari Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88) hanya mengobrak-abrik jaringan Bom Bali dan tidak pernah menelusuri dan mendetailkan “Jaringan Kristen Radikal” yang menjadi menyebab tragedi Ambon.

Banyak penjelasan yang cukup bisa jadi alasan, bahwah dengan “memburu” jaringan “Islam Radikal” bisa mengalirkan uang.

Seorang sumber penting bercerita, bagaimana anggota-anggota Densus 88 kini hidupnya dikenal makmur. Rumah bagus disediakan dan bonus-bonus selalu mengalir. Karena nampaknya pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau BPK seolah tidak ada yang ‘berani’ untuk memeriksa keuangan Densus. Atas nama ‘pemberantasan terorisme’ seolah-olah semua sah dilakukan. Apalagi cuma pat gulipat uang, penghilangan nyawa beberapa orang yang masih ‘terduga teroris’ tidak ada yang berani menggugat sampai ke pengadilan.

Kita semua masih ingat, saat pertama kali diluncurkan, mantan Kapolri Dai Bachtiar menyatakan, polisi menerima dana dari pemerintah Bush 50 juta dolar. Berdasarkan data dari Human Right Watch, ketika Densus pertama kali dibentuk 2002, mendapat dana 16 juta dolar.

Tahun 2001, polisi juga mendapat dana untuk pemberantasan terorisme sebesar 10 juta dolar. Dana yang diberikan pemerintah AS kepada Densus ini diperkirakan tiap tahun meningkat. Untuk pemberantasan terorisme di seluruh dunia ini, tahun 2007 AS mengeluarkan dana sebesar 93 milyar dolar dan tahun 2008 sebesar 141 milyar dolar. (lihat : http://www.youtube.com/watch?v=G3yjS_J59vk).

000

Peristiwa penembakan ‘terduga teroris’ beberapa bulan lalu, kini juga tak ada kelanjutannya. Tidak ada satu lembaga pun –termasuk mereka yang aktif dalam gerakan HAM- mempersoalkan penembakan tanpa proses pengadilan itu, serius ke pengadilan. Kini Densus 88 digugat oleh Tim Pengacara Muslim, karena menangkap sembarangan anak-anak muda.

Tiga terduga teroris yang ditangkap Densus baru-baru ini, yakni David Ashari, Herman Setyono, dan Sunarto Sofyan, mengaku kepada TPM bahwa mereka dijebak oleh seseorang bernama Basir yang dikenal melalui Facebook.

"Dua anak saya mengenal Basir dari Facebook sekitar enam bulan yang lalu," kata Maryam ibu David dan Herman, dua kakak beradik yang dibekuk di Palmerah Barat. Maryam akahirnya meminta bantuan tim pengacara Muslim pimpinan Achmad Michdan SH di kantornya, Jalan Pinang 1, Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Entah apa maksud Densus menangkap anak-anak muda yang baru ikut pengajian selama 6 bulan. Bila tuduhan polisi atau Densus memang benar mereka mau meledakkan beberapa tempat –seperti diterangkan polisi—Densus harusnya memaparkan data-datanya secara kongkrit, tidak main duga-duga. Bila hal seperti ini terus terjadi, maka bisa dibenarkan pendapat banyak ahli bahwa ‘terorisme’ kini hanya proyek untuk mendapatkan fulus dari Amerika (dan menjelekkan citra Islam).

RMS dan Gerakan Papua Merdeka

Selalu menjadi pertanyaan penulis, kenapa Jaringan Kristen Radikal di Ambon tidak pernah dijelaskan atau diobrak-barik oleh kepolisian atau Densus. Penulis terkenang dengan peristiwa beberapa hari setelah tragedi Ambon 19 Januari 1999. Saat itu penulis menghadiri jumpa pers yang dilakukan oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), di Jalan Salemba. Penulis kala itu masih sebagai wartawan.

Tokoh-tokoh PGI dalam konferensi pers itu menyatakan bahwa tragedi Ambon adalah kesalahan dua belah pihak, baik umat Kristen maupun Islam. Mereka saling menyerang. Mendengar pernyataan tokoh PGI saat itu, penulis langsung angkat tangan waktu sesi tanya jawab.

Pernyataan penulis kala itu adalah; Apakah mungkin kaum Muslim Ambon menyerang lebih dulu, bukankah saat itu mereka lagi merayakan Idul Fitri? Bukankah yang lari dan pergi berbondong-bondong ratusan atau ribuan, naik kapal dan sebagainya orang-orang Islam? Mungkinkah penyerang kemudian melarikan diri sebagaimana dapat dilihat di media TV? Beberapa teman wartawan Muslim ‘mendukung’ saya dengan pertanyaan itu.

Tokoh PGI itu nampaknya nggak mau kalah argumen. Ia tetap menyatakan yang terjadi di Ambon adalah saling serang. Ia menyatakan bahwa ada pengungsi-pengungsi Kristen dengan kapal-kapal kecil dan tidak diliput media massa, katanya.

Bisa bayangkan apa yang terjadi di Ambon bila mujahidin-mujahidin dari seluruh pelosok tanah air tidak berangkat ke sana (Maluku dan Poso). Beberapa kelompok yang ingin seperti Kompak Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dari Laskar Jihad, dari ormas-ormas Islam di Jakarta, Solo, Bandung dan lain-lain seluruh pelosok Nusantara. Tentu Ambon akan seperti Timor Timur yang mudah direkayasa untuk lepas dari Indonesia.

Saat itu kebetulan penulis juga mendapat kesempatan wawancara dengan Prof Bilveer Singh, ahli politik dari National of Singapora University. Bilveer Singh intinya menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan bahaya dan ada fihak-fihak yang menginginkan ‘The End Of Indonesia’. Yakni pihak luar bekerjasama dengan fihak dalam negeri Indonesia menginginkan Indonesia terpecah-pecah menjadi negara kecil-kecil. Maluku sendiri. Irian sendiri. Timor Timur sendiri, Kalimantan sendiri dan seterusnya.

Prof Bilveer Singh ini menarik. Ia menyukai Presiden Habibie saat itu dan tidak menyukai Jendral LB Moerdani. Pandangan politiknya terhadap Indonesia sering jujur dan cukup obyektif. Misalnya, ketika tokoh-tokoh Kristen/Katolik di Indonesia dan Barat, menyatakan terjadi Islamisasi di Timor Timur, ia menulis buku tebal tentang Timor Timur. Ia menyatakan dalam bukunya bahwa yang terjadi di Timtim adalah “Katolikisasi” bukan “Islamisasi”.

Perlunya Mengenang Tragedi Ambon

Bila pemerintah dan warga Australia dan Amerika rajin mengadakan perayaan-perayaan tragedi WTC dan Bom Bali, umat Islam mestinya juga terus mengenang tragedi Ambon tiap tahunnya. Untuk mengenang tragedi ini, berikut kutipan penuturan dari KH Abdul Aziz, Imam Besar Masjid al Fatah Ambon tentang awal mula tragedi yang dimotori oleh tokoh-tokoh Kristen Radikal itu:

“Kejadian Idul Fitri berdarah di Ambon bukan karena umat Islam di Batu Merah memeras sopir angkot yang bernama Yopie. Itu berita yang salah yang dilansir, oleh banyak mass media. Yang benar adalah diawali dengan pembakaran perkampungan umat Islam di kampung Waylete oleh umat Nasrani dari Hative Besar. Itu terjadi pada 14 November (1998). Kampung Waylette dihuni oleh orang BBM (Bugis, Buton, Makasar). Mereka tidak senang kepada umat Islam, sehingga mereka membakar perkampungan tersebut dan mereka merasa kurang puas dengan hanya membakar kampungnya, lalu dirusaknya masjid di kampung Waylete tersebut….”

Pada 10 Ramadhan (sebelum Idul Fitri 1999 –pen), saya sempat memberikan ceramah di Maluku Tengah. Sepulangnya dari sana saya melihat banyak truk yang berisikan parang-parang. Pada waktu itu saya tidak mempunyai pikiran suuddzon, saya hanya berfikir bahwa parang-parang dibawa dari pulau Seram ke Ambon untuk dijual. Yang melihat itu bukan hanya saya saja, banyak saksi mata lainnya yang melihat pemandangan sehari-hari seperti itu.

Kemudian pada 17 Ramadhan saya memberikan ceramah di Kairatu dan Jomba. Sepulang dari sana saya melihat mereka sudah membawa parang-parang tersebut ke mobil truk masuk ke Ambon. Kemudian di bulan Ramadhan (itu) saya mengajar di PLN Ambon setiap Selasa dan Jumat. Saya dijemput oleh sopir yang beragama Nasrani, lalu saya berkata kepada sopir itu, Alhamdulillah bulan puasa keadaannya tenang, aman dan tidak ada kerusuhan apa-apa. Tapi sopir itu menyatakan, inikan bulan puasa pak Kiai, tapi setelah bulan puasa belum tentu aman…” (lihat buku Ambon Bersimbah Darah, Hartono Ahmad Jaiz, Dea Press).

Gerakan tokoh-tokoh ‘Kristen Radikal’ ini terus berlangsung. Di media kita lihat, hampir tiap tahun mereka selalu mengibarkan bendera RMS. Republik Maluku Selatan (RMS) ini didirikan oleh Dr Soumokil pada 24 April 1950. Gerakan ini mensahkan adanya penggunaan kekerasan untuk perjuangannya dan gerakan ini menginginkan terus berlangsungnya dominasi Kristen di Ambon/Maluku.

Sedangkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah gerakan separatis Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Seperti RMS, gerakan ini terus menerus menggalang dukungan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk melancarkan gerakannya. OPM mempunyai pendukung-pendukung baik di Inggris, Amerika, Australia dan lain-lain.

Setelah tahun 1969, Papua/Irian bergabung dengan Indonesia, dua tahun kemudian tepatnya 1 Juli 1971, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM yang lain, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob Hendrik Prai menaikkan bendera Bintang Fajar dan memproklamasikan berdirinya Republik Papua Barat. Kini mereka tiap tahun juga terus menarikkan benderanya sebagai lambang terusnya gerakan mereka. Dan nampaknya tokoh-tokoh ‘Kristen Radikal’ di sana pun mendukung gerakan ini secara diam-diam. Nampaknya mereka ingin meniru jejak Timor Timur yang dengan bantuan tokoh-tokoh gereja di sana, khususnya Uskup Bello, akhirnya lepas dari Indonesia.

Walhasil, bila Densus 88 begitu semangat ‘memberangus terorisme’ kenapa Densus tidak berani mengobrak-abrik jaringan RMS dan OPM? Karena itu wajar bila umat Islam curiga terhadap Densus dan timbul opini-opini di kalangan umat. Densus bahkan diplesetkan sebagian orang dengan istilah ‘Detasemen Yesus’.

Benar atau tidak, Densus harus membuktikan. Setidaknya bisa berlaku adil terhadap gerakan-gerakan ‘Kristen Radikal’, sebagaimana cara mereka memperlakukan kalangan Muslim selama ini. Jika tidak, umat Islam akan semakin meyakini dan membenarkan isu selama ini, bila kehadirannya “disengaja” sebagai agenda untuk memperburuk citra Islam. Wallahu aziizun hakiim.*

Penulis adalah dosen STID M Natsir, Jakarta dan penulis buku “Imperealisme Baru


Masyarakat dan Wartawan Perlu Kritis dalam Pemberitaan Terorisme

Hidayatullah.com--Masyarakat dan wartawan perlu kritis dalam memberitakan masalah-masalah terorisme. Isu-isu terorisme yang terus berkembang hingga hari ini tak lepas rekayasa yang dibuat oleh operasi Intelijen. Menurut pengamat intelijen Mustofa B. Nahrawardaya, gerakan-gerakan terorisme dengan isu-isu negara Islam saat ini justru banyak ditunggangi oleh “orang-orang buatan”.

“Ide mendirikan negara Islam itu baik, tapi mendirikan negara Islam dengan kekerasan, membunuh yang tidak bersalah, merampok, menipu ini jelas sesuatu yang dikendalikan intelijen untuk menjerumuskan umat Islam,” jelas Mustofa B. Nahrawardaya kepada hidayatullah.com, Kamis, (01/10/2012).

Saat ini kelemahan masyarakat indonesia dan para wartawannya adalah mereka gampang percaya dengan pers rilis dari pihak aparat, khususnya dari Densus 88, BNPT hingga kepolisian. Padahal seharusnya setiap informasi itu diinvestigasi dulu kebenaran dan fakta lapangannya.

Selain itu, Musthofa juga menjelaskan adanya perpecahan di tubuh Densus.

“Saya menganalisa saat ini diinternal Densus dan kepolisian terjadi konflik kepentingan antara aparat Muslim dan aparat non Muslim, banyak juga pihak kepolisian beragama Islam yang tahu sandiwara intelijen namun mereka justru dikebiri bahkan dijadikan korban,” jelas Narawardaya.

"Saya melihat polisi-polisi di Solo yang ini catatan recordnya mereka orang-orang yang sholat dan ibadahnya rajin, ini juga keganjilan yang harus diinvestigasi,” tambahnya.

Karena Itu Mustofa menilai, gerakan-gerakan yang ingin menegakkan negara Islam saat ini justru dikhawatirkan lebih banyak telah disusupi orang-orang buatan (baca:intelijen). Orang-orang buatan ini menggagas perlawanan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan memanfaatkan emosi umat atas kerinduan pada Syariat Islam.

Namun, ketika umat sudah bergerak dan terjebak pada cara kekerasan, orang-orang buatan ini justru menghilang dan selalu dalam kondisi aman tidak ditangkap. Padahal di lapangan mereka sangat frontal dan radikal dalam memprovokasi dengan isu-isu jihad dan anti NKRI.

Terlebih, doktrin-doktrin takfir (mengkafirkan sesama muslim) yang dikembangkan membuat umat Islam mudah terpecah belah. “Hati-hati kita umat Islam jangan mau dipecah belah oleh operasi intelijen ini,” tambahnya lagi.*


Tuding HASMI Sebagai Jaringan Teror: Sandiwara Apalagi?

Ahad, 28 Oktober 2012

HARI Jum’at, 27 Oktober 2012, tepat di saat umat Islam merayakan Idul Adha, sebuah berita terdengar cukup menyentak. Tim Densus 88 menangkap 11 orang terduga “teroris”. Tertuduh ditangkap pada hari yang sama di tempat yang berbeda. Yang perlu kita perhatikan semua, adalah kata “terduga”, bukan tersangka.

Anda juga tidak perlu menebak atau bertaruh siapa sosok para “terduga tersebut”. Ini adalah kalimat retorik yang tak pantas dijawab, karena sudah mafhum bahwa semua tertuduh, terduga dan tersangka “terorisme” adalah seorang Muslim.

Juga tak usah diperdebatkan bahwa selama ini, terduga “teroris” dari kalangan Islam saja. Anda tak percaya? Coba saja buka lembaran-lembaran sejarah penangkapan para tertuduh teroris. Mana itu para pelaku separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) meski mereka banyak mengancam elemen-elemen pengaman NKRI macam Polisi dan TNI?

Mana pula peluru Densus bersarang ditubuh separatis RMS? Minimal dikaki. Saya rasa, dengan segala peralatan canggih, pengaman tingkat expert, dan pendidikan aksi militer contra terrorism hasil didikan AS tak bakal membuat mereka tega untuk menangkap mereka yang secara hakiki berstatus tersangka (bukan tertuduh). Apalagi melukai mereka meski dalam taraf mencubit, saya kira. Toh selama mereka bukan Muslim, kegiatan militer para separatis itu --aksi terror para pengacau tatanan Negara—itu tak bakal disebut sebagai kegiatan teror dan pelakunya bukan terduga teroris, apalagi tersangka teroris.

Kembali pada berita penangkapan 11 orang terduga teroris itu tidak spektakuler bagi saya. Apanya yang spektakuler? Toh selama ini para separatis OPM dan RMS itu masih berkeliaran dan tidak juga mereka tindak. Saya sangat mengapresiasi Densus 88, jika mereka mampu menindak organisasi yang saya sebut tadi, sebagaimana tindakan mereka terhadap orang-orang tertuduh teroris yang selama ini dinisbatakan dari kalangan Muslim.

Tulisan diatas adalah pengantar kekecewaan saya. Kecewa karena media begitu mudahnya dalam pemberitaan mereka menyebut-nyebut kata “teroris”. Begitu juga, kekecewaan ini lahir akibat ceteknya “kacamata rasa adil” para jurnalis kita. Begitu mudahnya mereka memberitakan ini dan itu, tapi kadangkala seringkali dihinggapi pemberitaan berdasar egositas dan jauh dari kadar objektivitas yang seharusnya mereka junjung tinggi-tinggi. Lebih-lebih, pemeberitaan itu sering sepihak. Ya sepihak, karena sering hanya laporan dari aparata keamaan. Bukan berdasarkan investigasi sendiri dalam waktu cukup lama dan akurat.

Aksi penangkapan para “terduga” ini boleh saja benar demi pengamanan Negara. Sebab, sejarah selalau berkaitan dengan kekuasaan. Siapa berkuasa, dialah yang akan menguasai sejarah dan elemen-elemen terkait. Mungkin, termasuk stigma dan wacana.

Dan berita terbaru dari media adalah; soal HASMI, sebuah organisasi dakwah yang ikut dikaitakan sebagai “kelompok teroris” atau terkait dengan jaringan teroris.

Sosok HASMI

HASMI adalah sebuah organisasi dakwah Islam singkatan dari “Harakah Sunniyyah untuk Masyarakat Islami”. Bukan “Harokah Sunni untuk Masyarakat Indonesia” sebagaimana diungkap oleh Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Suhardi Aliyus pada sabtu, 27 Oktober kemarin.

HASMI merupakan ormas Islam resmi yang terdaftar di Kemdagri Dirjen Kesbangpol dengan no. 01-00-00/0064/D.III.4/III/2012 yang didirikan sejak tahun 2005. HASMI merupakan Ormas yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah umum. (press release Ketua Hasmi, Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I ,27 Oktober 2012)

Boleh jadi “HASMI”, Harokah Sunni untuk Masyarakat Indonesia itu memang organisasi “teror” sebagaimana yang media sebutkan. Hanya saja, penyebutan akronim singkatan “HASMI” tanpa penjelasan, pasti menjadi pertanyaan banyak orang. Ini “HASMI” yang mana?

Ujungnya, akan membuat masyarakat melakukan generalisasi terhadap organisasi dakwah HASMI dan bisa menimbulkan efek trauma. Setidaknya phobia terhadap dakwah mereka. Islam adalah agama, tapi bukan berarti semua agama adalah Islam. Bukan begitu?

Fallacies (sesat pikir) semacam ini sungguh luar biasa, belum lagi efek argumentum ad populum yang digunakan media secara general bisa menghasut masa secara luas.

Saya bukan anggota HASMI dan bukan berarti saya tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Anda, atau teman Anda, saudara Anda juga bukan berarti tak memiliki hubungan dengan HASMI. Namun sebagaimana ormas lain, sepengetahuan saya, HASMI adalah lembaga dakwah dan bukan organisasi radikal sebagaimana yang ikut dicapkan oleh media.

Kasus HASYMI mengingatkan saya terhadap kasus JAT (Jama’ah Anshorut Tauhid) yang terus disebut-sebut aparat sebagai organisasi yang memiliki hubungan dengan “teroris”. Sekalipun memiliki hubungan sebab beberapa anggotanya terlibat dalam aksi teror, belum tentu organisasi itu telah bermutasi menjadi organisasi teror. Bukankah JAT juga selalu dikait-kaitkan dengan prejudice yang acak, ngawur, asal dan tak berdasar?

Saya tidak tahu secara pasti apakah tren ‘menuding secara tendensius’ ini memiliki tujuan-tujuan terselubung. Bukannya saya tidak tahu, tapi saya berharap bukan salah satu bagian dari mereka karena saya ikut-ikutan secara tendensius menuding mereka tanpa mengkaji terlebih dahulu. Hanya saja, ‘trend’ yang aneh ini muncul semuanya pada lembaga dakwah maupun organisasi dakwah. Minimal lembaga yang berkaitan dengan dakwah. Secara sederhana begitu.

Bukankah kita semua telah menyaksikan tudingan terhadap Rohis, FPI, HTI, JAT dan terakhir HASMI? Anehnya semua adalah ormas Islam. Lebih aneh lagi, organisasi-organisasi itu (tanpa melibatkan Rohis), rajin mengusung ide penerapan hukum syari’ah dalam tatanan hukum negara. Aneh? Memang aneh!

Akhir-akhir ini apapun yang berhubungan dengan syari’ah mendapatkan tuduhan yang lumayan keji. Sebuah majalah nasional memberitakan masalah hukum syar’i di Aceh dengan “ngaco”. Sekarang belum hilang hangat ingatan kita, memuncak lagi tudingan tak berdasar ini. Apakah mereka-mereka itu memiliki tujuan lain selain memberangus dakwah islam? Intinya begitu. Saya rasa tidak mungkin jika tujuan mereka-mereka ini bukanlah hendak mematikan dakwah Islam, dakwah penerapan syari’ah dan apapun dalam tataran ideologis ummat Islam.

Memang, bisa jadi ada kemungkinan lain pengaruh media dalam pemberitaan ini. Contohnya pengalihan isu. Tapi, toh faktanya telalu banyak kita saksikan hasutan-hasutan di media, artikel ngawur yang data dan faktanya tidak bisa dipertanggungjawabkan tentang syariat Islam, dan seribu satu penggiringan opini pada satu tujuan pokok, yakni memberangus dakwah Islam dan mengucilkan pelakunya serta orang-orang yang berhubungan dengannya.

Aih, jikalau salah satu ayam yang terkena virus bukan berarti menyamakan asumsi bahwa semua ayam itu tanpa terkecuali terkena virus. Bukan begitu? Wallahu a’lam bis showwab.

Ditulis Hamba Allah yang fakir, Afandi Satya. K Mahasiswa Sastra Arab 2011 Universitas Indonesia


Mustofa Nahrawardaya: Waspadai Jebakan Operasi Intelijen di Dunia Maya dan FB

Kamis, 01 November 2012

Hidayatullah.com-- Sosok Basir, pria yang dikenal melalui Facebook yang akhirnya ikut menyeret remaja belia bernama David dalam kasus terorisme dalam penangkapan di Palmerah Jakarta hingga kini masih misterius. Bahkan polisipun hingga kini tidak mengemumkannya.

Menurut Mustofa B. Nahrawardaya, kasus ini merupakan cara baru rekayasa intelijen.Basir tercatat berkenalan melalui media sosial Facebook dengan Nanto, David dan Herman.

Keberadaan Basir menginap di rumah David awalnya karena ingin menumpang untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Namun, pada hari Sabtu (27/10/2012) Basir ditangkap bersama Nanto, David dan Herman di Palmerah Jakarta.

Ini adalah cara terjorok konspirasi Intelijen hitam dalam menjerumuskan umat Islam,” begitu jelas Mustofa B. Nahrawardaya kepada hidayatullah.com menganalisa fenomena ini, Kamis (01/11/2012).

Menurut pengamat intelijen yang juga dikenal aktivis pemuda Muhammadiyah ini Densus 88 dan BNPT sudah gagal dalam menerapkan deradikalisasi dengan pola konvensional. Pola konvensional maksudnya dengan melakukan intervensi ke pengajian-pengajian dan masjid-masjid.

Karena itu ia menggunakan cara teror untuk menebar ketakutan dengan pola baru. Tujuan dari pola non konvensional ini diharapkan bisa menghadirkan ketakutan di kalangan orang tua dan masyarakat dengan isu-isu syariat Islam.

“Jadi sekarang agen intelijen yang mengaku pejuang Islam buatan Densus ini cukup berkenalan di Facebook, mengidentifikasi rumah lalu menjebak dengan menaruh barang bukti, setelah itu menghilang sementara orang yang disinggahi rumahnya akan diciduk karena terkait jaringan terorisme..ini kotor sekali,” Jelas Mustofa.

Mustofa tegas mengingatkan sosok-sosok seperti Basir ini berkeliaran di media sosial seperti Facebook, Twitter dan sebagainya. Dunia media sosial menjadi cara paling murah merekrut orang untuk dituduh teroris. Dengan cara murah ini tetap bisa menghasilkan fitnah dengan hasil yang menggemparkan.

“Ya contohnya pada kasus David, anak hanya aktivis yang mencintai Islam tidak memiliki hubungan dengan jaringan teroris manapun, hanya karena kenal dengan Basir langsung asal dituduh teroris.”

Remaja Islam Harus Berhati-hati di Media Sosial

Mustofa dengan intonasi penuh kekhawatiran juga mengingatkan agar remaja Islam berhati-hati berkenalan dengan orang asing di dunia maya. Pasalnya saat ini semangat kebangkitan Islam itu sudah mulai tertanam di kalangan pemuda dan remaja.

“Remaja Islam yang sadar syariat Islam itu sudah banyak, namun kadang masih polos dengan ungkapan-ungkapan di dunia maya, ini harus hati-hatin” jelas Mustofa.

Memiliki semangat Islam itu baik namun harus tetap diiringi dengan ilmu. Semua itu bertujuan agar kita lebih bisa memilah dan berstrategi agar perjuangan Islam tidak ditunggangi operasi Inteligen.

“Jika baru berkenalan dengan orang asing yang berteriak-teriak Islam secara frontal di dunia maya, wajib kita berhati-hati sampai kita kenal betul siapa dia dan apa latar belakangnya. Jangan mau sembarangan diajak ketemu di dunia nyata,” tambah Mustofa.*


JAT: Intelijen Kembangkan Budaya "Takfiri" untuk Memecah Ormas Islam

Jum'at, 02 November 2012

Hidayatullah.com—Untuk menggembosi dan menyeret organisasi massa (ormas) Islam agar terjebak dalam isu terorisme saat ini ditengarai ada operasi intelijen yang menyusupkan agennya ke tubuh-tubuh organisasi massa (ormas) Islam. Pernyataan ini disampaikan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Son Hadi. Menurut Son Hadi, operasi ini bertujuan untuk membangun perpecahan internal di dalam tubuh ormas-ormas Islam. Salah satu hal yang dikembangkan kalangan intelijen adalah budaya takfir (baca:mengkafirkan) sesama Muslim.

“Kelompok yang suka mentakfirkan sesama Muslim ini sengaja dibikin untuk memecah belah umat Islam, apalagi kapasitas ilmu mereka tidak mumpuni untuk menguasai kaidah takfir tersebut,” jelas Son Hadi kepada hidayatullah.com di kantor MUI Jakarta, Kamis (01/11/2012) kemarin.

Menurutnya, munculnya kelompok ini terjadi ketika adanya perbedaan pendapat mengenai metode dalam memperjuangkan Islam. Kelompok-kelompok yang memilih perjuangan Islam melalui jihad qital dan bersenjata cenderung mengkafirkan kepada kelompok yang memilih jalan dakwah tanpa bersenjata atau berdakwah dengan jalan damai.

Orang terdekat dengan Abubakar Ba’asyir ini mengakui, operasi intelijen seperti ini jelas sangat merugikan JAT itu sendiri. Son Hadi mengakui bahwa jihad adalah perintah Al -Qur’an hanya pelaksanaan jihad itu sendiri tidalah sembarangan. Karena harus memiliki syarat-syarat yang ketat dan tidak sembarangan.

Kemampuan ‘berjihad’ yang dimaksud menurut Son Hadi bukanlah kemampuan untuk meledakkan bom dan sejenisnya. Sementara kemampuan yang diyakini JAT adalah komitmen dalam beramal sholeh di tengah masyarakat.

Akhirnya banyak orang-orang yang ingin berjihad qital ini ingin melakukan pengeboman, namun mereka sering menafikan bahwa subsidi-subsidi bahan-bahan pengeboman tersebut bersumber dari intelijen itu sendiri. Inilah celah dan jebakannya,” jelas Son Hadi lagi.

Son Hadi juga mengakui, Ustad Abubakar Ba’asyir sendiri tidak pernah mengkomando jihad bersenjata di kawasan Indonesia.

Kita harus sadar betul, bahwa bahan-bahan peledak hingga senjata api semua itu milik aparat. Tidak mungkin ada orang sipil memiliki bahan-bahan itu kalau tidak ditunggangi aparat,” jelasnya lagi.

Son Hadi juga mengakui jika ormas JAT yang hingga hari ini menjadi bulan-bulanan Densus 88 atas tuduhan terorisme. Pihaknya bahkan tak kurang-kurang melakukan klarifikasi ke Divisi Humas Mabes Polri. Hanya masalahnya, menurut Son Hadi, pihak kepolisian banyak yang tidak menguasai permasalahan lapangan.

Suka atau tidak suka menurut Son Hadi, JAT memang akan selalu dibidik dengan tuduhan terorisme. Semua ini karena JAT adalah organisasi yang sudah dimasukkan Pentagon Amerika Serikat sebagai “organisasi teroris”.

Lebih-lebih, menurut Son Hadi, JAT yang didirikan oleh Abubakar Ba’asyir, adalah orang yang paling dibenci oleh Amerika Serikat.

“Semua ini permainan intelijen untuk merusak citra JAT. Juga untuk menghentikan dakwah JAT. La hawla wa la quwwata illa billah,” tambah Son Hadi. Ia menegaskan, tidak ada satupun kader JAT yang terlibat dalam isu-isu terorisme selain semua itu fitnah yang dibangun intelijen.*


Mulyo Wibisono: Isu Terorisme jadi Komoditas Mencari Subsidi Uang

Selasa, 30 Oktober 2012

Hidayatullah.com--Isu perang terhadap terorisme dari Datasemen Khusus (Densus) 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) rawan kebohongan dan mencurigakan. Pernyataan ini disampaikan oleh Mantan Komandan Satuan Inteligen BAIS, Laksamana Pertama TNI, Purnawirawan, Mulyo Wibisono.

Menurut Mulyo semua tuduhan BNPT mulai dari isu teroris di Rohis hingga terhadap HASMI bisa bagian dari rekayasa. Seharusnya menurut Mulyo, BNPT dan Densus 88 jangan terlalu cepat menempelkan kata 'teroris' kepada kelompok tertentu.

"Menuduh teroris itu tidak sederhana apa yang dilakukan Densus, inikan cuma rekayasa untuk membuat citra buruk terhadap Islam," jelasnya kepada hidayatullah.com, Senin (29/10/2012).

Mulyo juga berpendapat sikap satuan antiteror dinilai sangat berlebihan. Permasalahan di Poso hingga kasus jaringan kelompok Abu Hanifah tidak terlalu tepat jika dituduhkan terorisme.

"Mereka ini hanya pengganggu keamanan masyarakat saja. Jangan hanya mengganggu keamanan langsung dituduh teroris," tegas Mulyo.

Mulyo bahkan menyatakan temuan-temuan bom, senjata api dan sebagainya adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan. Karena itu, ia mencurigai ada permainan di mana isu terorisme menjadi 'komoditas' yang sangat laku untuk mencari 'subsidi uang' dari Amerika Serikat.

"Aksi teror itu hanya bisa dilakukan oleh satuan inteligen," jelas Mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis, (BAIS) ini.*


1 comment:

  1. Siapa yg mencetuskan Perang Dunia Pertama?
    Siapa yg mencetuskan Perang Dunia kedua?
    Siapa pula yg bunuh 20 jt nyawa suku Aborigine Australia?
    Siapakah yg hantar bom utk hancurkan Hiroshima & Nagasaki?
    Siapa pula yang membunuh lebih 100 juta orang Indian Amerika Utara?
    Siapa yg bunuh 50 juta org Indian di Selatan Amerika?
    siapa yg menjadikan 180 jt orang Afrika sbg budak, 88% dari budak itu mati di buang di lautan Atlantik!

    TIDAK ADA DI ANTARA KALANGAN PELAKU-PELAKU ITU ORANG-ORANG ISLAM

    islam tdk senang dgn perang, justru mrka mempertahankan diri krna negaranya didzolimi bangsa barat, Indonesia saja yg tdk sadar dijajah... merasa negaranya damai, padahal dirampok habis2an, dijadikan buruh alias budak.

    jika anda org Islam silakan baca Al Qur an, jelaslah org yg tdk suka Islam itu adl kafir, jika anda tdk sepaham, itu namanya mengingkari firman Allah, Islam tdk pernah memerangi agama lain, tp klo dihina agamanya, wajib umat Islam berjuang fi sabilillah!

    ReplyDelete