7.2.12

Menikah Karena Allah

Oleh Teuku Zulkhairi

Aku memutuskan menikah meski dengan sedikit mengorbankan perasaanku secara pribadi. Bahwa wanita yang akan kunikahi itu bukan pilihanku. Dia adalah pilihan Allah. Bukan pilihanku disini bukan berarti dia tidak cantik.

Hanya rasa cinta saja yang belum hadir karena memang pernikahan itu tak kujalani dengan ‘ta’arruf’ ala remaja masa kini. Ta’arruf itu hanya kujalani lewat selembar foto dan secarik biodata diri masing-masing.

Dengan tiga kali pertemuan sebelum hari akad bersejarah itu. Pertemuan pertama saat seorang Ustazah mengatur pertemuan kami. Pertemua kedua untuk berbicara tentang segala sesuatu untuk mencari kata sepakat tentang jalannya akad nikah. Dan pertemuan ketiga berlangsung dirumahnya saat proses khitbah.

Hatiku mantap ketika itu, bahwa pernikahan yang akan kujalani adalah karena Allah. Yang kuyakini saat itu, jika sesuatu dilakukan karena Allah, dijalan dakwah, maka niscaya akan mendatangkan kebahagiaan syurgawi.

Segenap perasaan ku serahkan pada Tuhan. Dialah yang akan menentukan kapan sebuah hati bisa mencintai segenap jiwa. Dialah yang mengatur perasaan manusia. Dialah yang memberi cinta. Dialah yang memberi rahasia pada mata untuk melihat keindahan pada alam ciptaanNya yang fana.

Perjalanan hidup kemudian memberiku kesadaran, bahwa benar Allah itu maha pemberi kebahagiaan. Dia maha bisa memberikan keindahan pada pandangan manusia. Dia bisa membolak-balikkan hati manusia kapan saja. Ada saja alasan jika ia ingin memberi kebahagiaan pada hambaNya.

Memang tidak mudah untuk melihat dan merasakan semua pemberian Allah itu. Apalagi jika itu hanya dilihat dengan mata nafsu manusia. Dengan pandangan duniawi. Dengan pandangan materi. Dengan pandangan kacamata dunia yang menipu. Anugrah Allah itu niscaya bisa dilihat dengan nurani. Dengan kacamata Iman. Dengan proses berfikir yang panjang.

Dia memang sering kali bertanya: Tidakkah Abang mencintaiku? Istriku, demi Allah, sesungguhnya aku sedang berjuang mencintaimu. Kumohon, Bersabarlah! Sesungguhnya aku menikahimu dulu adalah karena Allah.

Sabarlah hingga Allah menanamkan sedikit demi sedikit cinta itu dalam jiwaku. Jawaban ini memang tidak jarang menyakitinya. Tapi apalah daya, bagiku, akan sakit juga jika harus berbohong pada seorang wanita yang jujur dan tulus.

Dengan komunikasi yang kami bangun, proses itu berlangsung begitu saja tak terasa. Aku lebih menyibukkan diri dengan tugas-tugasku di kampus dan organisasi. Memang ada sesuatu yang hilang dari diriku, yaitu semangat yang biasa begitu membara.

Tapi semua itu tertutupi oleh berbagai agenda dan aktifitas yang memang sengaja kurekasa untuk menyuntik semangat dalam hidup yang sedang kujalani.

Hingga beberapa bulan pasca pernikahan itu, aku memang merasakan hampanya hidup dalam jalinan keluarga tak berkasih. Hidupku seolah tiada lagi luapan semangat yang biasanya selalu menggebu-gebu.

Ucapan cinta tak jarang begitu kupaksa. Batinku merintih sedih saat berkali-kali kudengar pengakuan cinta dan sayangnya yang nampaknya begitu tulus. Dalam hati, kupanjatkan sebait do’a; ‘Ya Allah, aku telah menikah karena Engkau. Kini, berilah aku cinta sehingga aku bisa membahagiakannya’.

Hari-hari yang kujalani terus berlanjut. Tanpa kusadari, tugas-tugas kerja, kuliah dan organisasi yang begitu banyak telah menjadikanku sebagai seorang yang membutuhkan suntikan semangat untuk menyelesaikannya. Disini, dia selalu berperang sebagai motivator. Dia selalu mendengar setiap keluh kesah yang kubawa ke rumah. Aku menjadi manja untuk selalu bercerita kepadanya.

Kadangkala ia juga bercerita dengan sangat luar biasa. Mengingatkanku untuk selalu menunaikan tugasku sebagai seorang hamba kepada Sang Khaliq. Kadangkala ia juga membantu menyelesaikan tugasku.

Tiada terasa, akhirnya kemudian aku mengenalnya bahwa dia adalah seorang istri yang luar biasa. Tak sanggup kuucapkan dengan kata-kata untuk menceritakan bagaiamana kebaikan dan kelebihannya.

Perlahan-lahan muncul cinta tak bertepi dari jiwaku. Cinta itu terus mengalir deras bagaikan air terjun. Sulit dihentikan. Muncul rindu yang begitu mendalam saat kadangkala beberapa waktu kami harus berpisah untuk urusan kerja.

Kadang akupun takut dengan perasaan itu jika itu akan mengalahkan cintaku kepadaNya. Tapi kuyakini, cinta itu adalah anugrah Allah. DIA telah memberi apa yang kuminta dalam do’aku.

Akupun tidak ragu, bahwa cintaku kepada istriku adalah wujud sebagai cinta kepadaNya. Sebagaimana Rasulullah juga begitu mencintai para istrinya.

Beberapa bulan setelah itu istriku hamil. Sembilan bulan kemudian dia melahirkan putra pertama kami. Seorang bayi yang melengkapi kebahagiaan kami.

Dia lahir 5 hari setelah meninggalnya tokoh perubahan dalam jagad perpolitkan di Turki, yaitu Najmuddin Erbakan.

Tokoh yang begitu kukagumi karena keberahasilannya melakukan Islamisasi di Turki. Merontokkan simbol-simbol sekulerisme di Turki meski kemudian kekuatan-kekuatan kebatilan saat itu menang beberapa saat hingga Najmuddin Erbakan dilarang eksis di dunia politik Turki dan partainya pun dibubarkan.

Kekagumanku pada sosok Najmuddin Erbakan ini kemudian kuabadikan pada nama ana kami, ia kami beri nama: Teuku Muhammad Erbakan.

Dengan ‘Teuku’, kami berharap ia bisa semilitan pahlawan Aceh, Teuku Umar yang berperang melawan penjajah Belanda. Dengan ‘Muhammad’, kami berharap ia menjadi pribadi yang meneladani semua suri teladan Nabi Muhammad SAW serta mengikuti semua perintah Allah dan RasulNya dan meninggalkan larangan Allah dan RasulNya.

Dengan ‘Erbakan’, tentu saja kami berharap ia menjadi pahlawan Islam masa depan yang siap berjuang keras untuk menegakkan Kalimatullah di seluruh penjuru bumi sehingga Kalimatullah menjadi yang tinggi dan yang lain menjadi rendah.

Bayi kami ini begitu lucu. Pernah foto lucunya kami upload di Facebook, muncul komentar yang menyebutnya sangat ‘ganteng’. Kami yakin, pujian itu bukan karena dan untuk kami. Itu adalah pujian tentang sempurnyanya ciptaan Allah.

Kami yakin bahwa sibuah hati kami adalah bentuk lain dari balasan Allah setelah kami berjuang untuk tetap dijalanNya. Setelah aku ‘berjihad’ untuk bisa mencintai istriku. Dan setelah istriku berjuang keras untuk tetap tulus dan tegar menungu cinta itu mengalir untuknya dari bibir dan jiwaku.

Trimakasih ya Allah atas anugrah cinta yang Engkau berikan kepada kami…

Penulis adalah seorang Kepala Rumah Tangga. Tinggal di asrama PHB Lamprit, Kuta Alam, Banda Aceh.

No comments:

Post a Comment