4.6.11

Dengan Islam Kupinang Cinta: Melihat Dan Menangani Cinta Dengan Psikologi Islam


“Ketika kau terpikat cinta, Islamikanlah dia. Ketika sayapnya merengkuhmu, serahkanlah dia pada Al-Qur’an. Jadikanlah virus yang tersembunyi di balik sayapnya dan vaksin di hatimu.

Seumpama kita sesak napas terdekap olehnya, Al-Qur’an akan melapangkan kita, hingga kita menjadi sabar dan tegar. Dan kemudian, Allah akan menyinari pelayaran cinta kita dengan cahaya-Nya, hingga kita siap menjadi penyelam suci yang memancarkan kekudusan Tuhan.”

Kita tidak pernah mengerti, bagaimana cinta bisa hadir dalam diri. Cinta serasa datang begitu saja, tanpa aba-aba, tanpa rencana matang, lantas dengan polos cinta mengetuk pintu hati kita memberi kabar yang membuat kita kelu tak tentu arah.


Namun, makna cinta yang tersimpul dari kajian psikologi selama ini, telah menghadapkan kita pada dua jalan: Jalan kedewasaan ataupun gairah, serasa tidak ada Islam di dalamnya. Karena itu Freud pernah berujar bahwa libido adalah roda yang menggerakkan jati diri.

Selain itu, dengan triangular of love-nya, Sternberg pun mengalami benturan. Rasa-rasanya Triangular of Love ala J. Sternberg belum mampu menjelaskan konsep cinta antara anak dan orangtuanya, adik dan ayahnya. Sebab pada esensinya Konsep cinta Sternberg mengacu kepada cinta kepada pasangan dan komitmen mempertahankannya, belum lah menyertakan makna keislaman yang mendalam.

Cinta Dalam Islam
Sekarang problemnya adakah payung ilmu yang bisa menahan arti cinta secara menyeluruh. Apakah ada penjelasan cinta komperhensif dan bisa dibaca dari segala arah bagi kita sebagai umat muslim? Jawabannya? Mari kita lihat bagaimana Islam sebagai agama kita menjelaskan tentang tauhidi makna cinta yang amat mendalam.

Kata cinta dalam Al Qur’an disebut Hubb (mahabbah) dan Wudda (mawaddah), keduanya memiliki arti yang sama yaitu menyukai, senang, menyayangi.

Sebagaimana dalam QS Ali Imron : 14 “Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga).” Dalam ayat ini Hubb adalah suatu naluri yang dimiliki setiap manusia tanpa kecuali baik manusia beriman maupun manusia durjana.

Adapun Wudda dalam QS Maryam : 96 “ Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal sholeh, kelak Allah yang maha pemurah akan menanamkan dalam hati mereka kasih sayang.” Jadi Wudda (kasih sayang) diberikan Allah sebagai hadiah atas keimanan, amal sholeh manusia.

Dipertegas lagi dalam QS Ar Rum: 21 ketika Allah berfirman, “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah ia menciptakan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Dalam ayat inipun Allah menggambarkan ‘cenderung dan tentram’ yang dapat diraih dengan pernikahan oleh masing-masing pasangan akan diberi hadiah (ja’ala) kasih sayang dan rahmat.

Dalam fil gharibil Qur’an dijelaskan bahwa hubb sebuah cinta yang meluap-luap, bergejolak. Sedangkan Wudda adalah cinta yang berupa angan-angan dan tidak akan terraih oleh manusia kecuali Allah menghendakinya, hanya Allah yang akan memberi cinta Nya kepada hamba yang dkehendakiNya.

Allah yang akan mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu belanjakan seluruh kekayaan yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan mendapatkan kebahagiaan cinta jika Allah tidak menghendakiNya. Oleh karena itu terraihnya cinta—wudda pada satu pasangan itu karena kualitas keimanan ruhani pasangan tersebut. Semakin ia mendekatkan diri kepada sang Maha Pemilik Cinta maka akan semakin besarlah wudda yang Allah berikan pada pasangan tersebut.

Cinta inilah yang tidak akan luntur sampai di hari akhir nanti sekalipun maut memisahkannya, cinta atas nama Allah, mencintai sesuatu atau seseorang demi dan untuk Allah.

Problematika Cinta
Kita mungkin pernah sama-sama merasakan, ada suatu fase dalam hidup kita saat dimana pikiran, hati, kaki, tangan, dan jiwa kita ditentukan oleh cinta, bagaimana segala kebahagiaan itu ditentukan dari kesuksesan cinta dalam balutan standar manusia. Pada konten ini kemudian cinta berubah menjadi sayembara yang kerap melontarkan kata-kata penjara jiwa seperti “Hidupku akan mati jika diputus oleh kekasih” atau “Kita tidak bisa hidup tanpa kekasih”. Sedangkan, remaja kerap berkata, “Jika mempunyai kekasih, belajar akan lebih termotivasi”. Malah bisa jadi ada sumpah serapah yang terlontar kepada laki-laki atau perempuan yang telah mengkhianati cinta? Dan sebelum itu ketika saya kuliah, ada kawan berujar serius .”Akhi, pacaran adalah keniscayaan untuk merasakan cinta. Lo harus nyoba, kalau memang mau paham cinta”.

Saat itu saya tertegun, meretas senyum kepadanya, dan melambungkan mata ke atas untuk mengeri arti cinta sejati. Tanpa disadari kita sudah meletakkan sesuatu yang pasti kepada manusia yang lemah, individu yang tak tahu masa depan itu sendiri

Ketika kita mulai menjajakan cinta dan pada akhirnya kita gantungkan harapan cinta itu kepada manusia, pasti yang ada kekecewaan, karena kemampuan manusia terbatas. Ia tidak bisa memastikan, ia tidak bisa menjadi penentu pasti, manusia tetaplah manusia dengan segala kelemahannya. Adagium, sepandai-padaninya tupai melompat akhirnya jatuh juga, tidak bias makhluk, dan bukan sekedar pepatah dalam rangka mengingatkan ikhtiar manusia, karena pada kenyatannya, Allah telah menggariskan kemampuan manusia jauh sebelum adagium itu hadir. Sehubungan ini Allah SWT berfirman:

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa, 28).

“Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54).

Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa, mirip, dan memiliki kesamaan. Bahkan jauh melompat dari kedua ayat di atas, pada momentum ayat yang lainnya, Allah terang-terangan mengidentifikasikan manusia dalam keadaan yang begitu rentan terhadap hati. Dalam surah ke 70 ayat 19, Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”,

Tidak berakhir disitu, kemudian Allah menjelaskan lagi perihal makhluk hidup ini yang akan membuat kita terangsang untuk lekas mengintropeksi diri, muhasabah, dan kembali kepada khittah kehidupan cinta, yakni firman yang berbunyi selang dua ayat berikutnya, “dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.

Problematika cinta manusia, sudah jauh di lukiskan dengan amat baik oleh Ibnu Qayyim. Dikaji mendalam oleh Imam ghazali, dan mundur ke belakang di tulis dengan amat menyentuh oleh Ibnu Taimiyyah. Tentu kapasitas penulis teramat jauh dengan kemampuan ulama besar itu yang kerap dikaji pada tiap malam di sebuah mesjid indah di Depok, dengan kitab Fenomenal Tazkiyatunnufus.

Ada banyak varian dari timbulnya problematika cinta, salah satunya bagaimana kita salah mengelola qalbu dalam cinta. Qolbu adalah wilayah yang urgen dalam kehidupan, hingga Rasulullah pernah mengeluarkan hadisnya yang menyentuh,

Ketahuilah sesungguh dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.

Banyaknya manusia yang terpuruk dalam cinta dan dikuasai hawa nafsu tak lepas karena kita mengingkari kesucian qolbu, hati, dan nilai-nilai fitrah dalam diri. Wilayah sensitif ini menjadi lupa untuk kita perhatikan karena sudah demikiannya kita jauh dari Allah, dan merasa diri sombong dengan meletakkan ayat-ayat ilahi sebagai prioritas kedua dalam mengarungi cinta. Naudzubillah.

Kekuatan Hati
Saudaraku, percayalah, hati yang cemas, kikir, gelisah, kotor, dan merasa lelah menjalani hidup, dikarenakan kita sudah meletakkan standar-standar duniawi sebagai syarat kebahagiaan hakiki. Kita rela menyiksa hidup dengan syarat-syarat wahn yang sebenarnta tak bisa kita lakukan. Kalau kita mau jujur saja, secara hakiki, kesemua itu malah jauh dari sumber kebahagiaan yang sebenarnya, yakni ketenangan batin bagaimana kita selalu dekat dengan Allah.

Saudaraku, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu pernah berkata bahwa “Tidak sempurna keselamatan qalbu seorang hamba melainkan setelah selamat dari lima perkara: syirik yg menentang tauhid bid’ah yang menyelisihi As-Sunnah, syahwat yg menyelisihi perintah kelalaian yg menyelisihi dzikir dan hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.” Hamba yg memiliki qalbun salim akan selalu mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yg mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan tempat di surga.

Saudaraku, salah satu kunci kenyamanan hidup dimulai dari bagaimana kita mampu membangun suasana hati. Jika hati kita ikhlash dan bersih dengan penuh ketawadhuan, sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia, yang tadinya kita pandang kurang ternyata teramat cukup, sesuatu yang kita lihat kecil dan tak berdaya berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa yang kita lihat sedikit, dan ternyata terlampau banyak. Dan itu di mulai dari hati.

Sekarang apakah kita mau melepaskan segala ego, kesombongan, dan sebongkah egoisme besar dalam diri kita. Kini, apakah kita juga rela berhenti sejenak melepas atribut keduniawian kita untuk menghadap one by one dengan Allah dengan berkata jujur di depan SinggasanaNya. Jika kita berani, rasakanlah ada aliran kesejukan dan ketenangan yang sebelumnya tidak kita rasakan. Ia menetramkan. Ia pun mampu merubah paradigma kita tentang cinta, hidup, dunia, ujian, psikologis, dan sebagainya.

Jika tidak itu kembali kepada diri pribadi, apakah kita masih ingin bertahan lama pada topeng-topeng yang khusus diciptakan Allah untuk menguji keimanan kita? Demi Hidup yang digenggam olehNya, peracayalah itu kembali kepada kita.

Maka apabila hari kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada tiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh surgalah tempat tinggalnya.” (An Naziat ayat 34-42).

Allahua'lam. (pz)

No comments:

Post a Comment