9.11.10

"Setelah Masuk Islam, Saya Merasa Lebih Terbebaskan sebagai Perempuan"

Bagi Sarah Thompson, pindah agama bukanlah persoalan yang mudah karena banyak hal-hal baru yang harus ia pelajari Bagi kebanyakan perempuan non-Muslim yang memutuskan menjadi seorang muslim, persoalan yang paling rumit adalah bagaimana memberitahukan keislaman mereka pada keluarga dan orang-orang tercinta.

Tapi Sarah bersyukur, ia tidak mengalami kerumitan itu saat mengumumkan bahwa dirinya telah menjadi seorang muslimah pada keluarganya. "Saya merasa benar-benar mendapat berkah karena reaksi keluarga saya lebih baik dibandingkan reaksi keluarga lainnya dari cerita yang pernah saya dengar," ungkapnya.

Sarah Thompson yang lahir dan dibesarkan di Noblesville, Indiana tumbuh di tengah keluarga yang mengklaim sebagai penganut Kristen. Namun Sarah selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam kehidupannya. Ia lalu mulai mempelajari dan memperdalam agama Islam.

"Saya seperti menemukan rumah bagi rohani saya," ujarnya tentang Islam

Sarah akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahun 2008 setelah selama enam bulan mempelajari agama Islam. Ketika ia memberitahu ibunya bahwa ia kini seorang muslimah, sang ibu hanya berkomentar, "Oke, tak mengapa, apa yang bisa saya lakukan?" Ibu Sarah lalu berlalu dan kembali dengan membawakannya beberapa kerudung penutup kepala.

Tapi tidak semua orang bersikap seperti ibunya. Beberapa kerabat Sarah, bahkan ayah kandung dan ayah tirinya sulit menerima keputusan Sarah menjadi seorang muslim. Namun kebanyakan teman Sarah memberikan dukungan, meski mereka kadang berpikir bahwa dirinya sudah gila karena memilih menjadi penganut agama Islam. Apalagi selama ini Sarah dikenal sebagai seorang feminis yang fanatik.

"Saya selalu menjadi seorang feminis yang fanatik, maka ketika sahabat-sahabat saya berpikir bahwa saya sudah gila, itu artinya mereka serius mengatakan itu. Tapi pengetahuan mereka tentang Islam sangat terbatas. Mereka melihat seorang perempuan yang berjilbab dan mengenakan cadar adalah kaum perempian yang tertindas, begitulah citra yang mereka miliki," tutur Sarah.

Lucunya, ujar Sarah, ketika menjadi seorang muslimah ia justru merasa lebih terbebaskan daripada ketika ia masih menjadi seorang Kristiani. "Saya tidak merasa tertindas, tapi saya tidak merasa terbebaskan ketika masih menganut agama Kristen. Setelah menjadi seorang muslim, saya merasa lebih bebas dan merdeka. Perlakuan terhadap kaum perempuan di beberapa negara cenderung karena pengaruh budaya dan tentu saja tidak islami. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa perempuan punya hak, laki-laki juga punya hak. Kami punya hak yang sama," papar Sarah.

Ia mengungkapkan, kedamaian dalam Islam yang membuatnya tertarik pada Islam. "Islam adalah agama komunitas tapi fokusnya adalah masing-masing individu dan hubungannya dengan Tuhan. Setiap hari Anda berdoa dan berusaha untuk melakukan kebaikan. Hanya Anda dan Tuhan yang tahu, apa yang telah Anda lakukan," ujar Sarah. (ln/mv)

Menemukan Kedamaian Islam di Balik Jilbab dan Niqab

Sara Bokker, dulunya adalah seorang model, aktris, aktivis dan instruktur fitness. Seperti umumnya gadis remaja Amerika yang tinggal di kota besar, Bokker menikmati kehidupan yang serba gemerlap. Ia pernah tinggal di Florida dan South Beach, Miami, yang dikenal sebagai tempat yang glamour di Amerika. Kehidupan Bokker ketika itu hanya terfokus pada bagaimana ia menjaga penampilannya agar menarik di mata orang banyak.

Setelah bertahun-tahun, Bokker mulai merasakan bahwa ia selama ini sudah menjadi budak mode. Dirinya menjadi "tawanan" penampilannya sendiri. Rasa ingin memuaskan ambisi dan kebahagian diri sendiri sudah mengungkungnya dalam kehidupan yang serba glamour. Bokker pun mulai mengalihkan kegiatannya dari pesta ke pesta dan alkohol ke meditasi, mengikuti aktivitas sosial dan mempelajari berbagai agama.

Sampai terjadilah serangan 11 September 2001, dimana seluruh Amerika bahkan diseluruh dunia mulai menyebut-nyebut Islam, nilai-nilai Islam dan budaya Islam, bahkan dikait-kaitkan dengan deklarasi "Perang Salib" yang dilontarkan pimpinan negara AS. Bokker pun mulai menaruh perhatian pada kata Islam.

"Pada titik itu, saya masih mengasosiasikan Islam dengan perempuan-perempuan yang hidup di tenda-tenda, pemukulan terhadap istri, harem dan dunia teroris. Sebagai seorang feminis dan aktivis, saya menginginkan dunia yang lebih baik bagi seluruh umat manusia," kata Bokker seperti dikutip dari Saudi Gazette.

Suatu hari, secara tak sengaja Bokker menemukan kita suci al-Quran, kitab suci yang selama ini pandang negatif oleh Barat. "Awalnya, saya tertarik dengan tampilan luar al-Quran dan saya mulai tergelitik membacanya untuk mengetahui tentang eksistensi, kehidupan, penciptaan dan hubungan antara Pencipta dan yang diciptakan. Saya menemukan al-Quran sangat menyentuh hati dan jiwa saya yang paling dalam, tanpa saya perlu menginterpretasikan atau menanyakannya pada pastor," sambung Bokker.

Akhirnya, Bokker benar-benar menemukan sebuah kebenaran, ia memeluk Islam dimana ia merasa hidup damai sebagai seorang Muslim yang taat. Setahun kemudian, ia menikah dengan seorang lelaki Muslim. Sejak mengucap dua kalimat syahdat Bokker mulai mengenakan busana Muslim lengkap dengan jilbabnya.

"Saya membeli gaun panjang yang bagus dan kerudung seperti layaknya busana Muslim dan saya berjalan di jalan dan lingkungan yang sama, dimana beberapa hari sebelumnya saya berjalan hanya dengan celana pendek, bikini atau pakaian kerja yang 'elegan'," tutur Bokker.

"Orang-orang yang saya jumpai tetap sama, tapi untuk pertama kalinya, saya benar-benar menjadi seorang perempuan. Saya merasa terlepas dari rantai yang membelenggu dan akhirnya menjadi orang yang bebas," Bokker menceritakan pengalaman pertamanya mengenakan busana seperti yang diajarkan dalam Islam.

Setelah mengenakan jilbab, Bokker mulai ingin tahu tentang Niqab. Ia pun bertanya pada suaminya apakah ia juga selayaknya mengenakan niqab (pakaian muslimah lengkap dengan cadarnya) atau cukup berjilbab saja. Suaminya menjawab, bahwa jilbab adalah kewajiban dalam Islam sedangkan niqab (cadar) bukan kewajiban.

Tapi satu setengah tahun kemudian, Bokker mengatakan pada suaminya bahwa ia ingin mengenakan niqab. "Alasan saya, saya merasa Allah akan lebih senang dan saya merasa lebih damai daripada cuma mengenakan jilbab saja," kata Bokker.

Sang suami mendukung keinginan istrinya mengenakan niqab dan membelikannya gaun panjang longgar berwarna hitam beserta cadarnya. Tak lama setelah ia mengenakan niqab, media massa banyak memberitakan pernyataan dari para politisi, pejabat Vatikan, kelompok aktivis kebebasan dan hak asasi manusia yang mengatakan bahwa niqab adalah penindasan terhadap perempuan, hambatan bagi integrasi sosial dan belakangan seorang pejabat Mesir menyebut jilbab sebagai "pertanda keterbelakangan."

"Saya melihatnya sebagai pernyataan yang sangat munafik. pemerintah dan kelompok-kelompok yang katanya memperjuangkan hak asasi manusia berlomba-lomba membela hak perempuan ketika ada pemerintah yang menerapkan kebijakan cara berbusana, tapi para 'pejuang kebebasan' itu bersikap sebaliknya ketika kaum perempuan kehilangan haknya di kantor atau sektor pendidikan hanya karena mereka ingin melakukan haknya mengenakan jilbab atau cadar," kritik Bokker.

"Sampai hari ini, saya tetap seorang feminis, tapi seorang feminis yang Muslim yang menyerukan pada para Muslimah untuk tetap menunaikan tanggung jawabnya dan memberikan dukungan penuh pada suami-suami mereka agar juga menjadi seorang Muslim yang baik. Membesarkan dan mendidik anak-anak mereka agar menjadi Muslim yang berkualitas sehingga mereka bisa menjadi penerang dan berguna bagi seluruh umat manusia."

"Menyerukan kaum perempuan untuk berbuat kebaikan dan menjauhkan kemunkaran, untuk menyebarkan kebaikan dan menentang kebatilan, untuk memperjuangkan hak berjilbab maupun bercadar serta berbagi pengalaman tentang jilbab dan cadar bagi Muslimah lainnya yang belum pernah mengenakannya," papar Bokker.

Ia mengungkapkan, banyak mengenal muslimah yang mengenakan cadar adalah kaum perempuan Barat yang menjadi mualaf. Beberapa diantaranya, kata Bokker, bahkan belum menikah. Sebagian ditentang oleh keluarga atau lingkungannya karena mengenakan cadar. "Tapi mengenakan cadar adalah pilihan pribadi dan tak seorang pun boleh menyerah atas pilihan pribadinya sendiri," tukas Bokker. (ln/Saudi Gazette/Isc)

"Saya Memilih Islam, Meski Harus Melawan Budaya dan Keluarga"

Nama muslimnya Aysha. Muslimah ini berasal dari Hungaria Utara. Pertama kali mendengar tentang Islam ketika ia masih di sekolah menengah saat mata pelajaran sejarah. Sekedar informasi, Hungaria pernah berada dibawah pendudukan Turki selama 150 tahun.

Selanjutnya, Aysha kuliah di universitas jurusan biologi molekular, di mana ia bertemu dengan banyak mahasiswa Muslim dari negara lain. Sejak lama sebenarnya Aysha bertanya-tanya mengapa Muslim selalu bangga dengan kemuslimannya. Aysha sendiri, ketika itu penganut agama Kristen Katolik. Ia cukup taat dengan agamanya, tapi ia masih meragukan dan tidak setuju dengan beberapa bagian dari ajaran agamanya, misalnya; bagaimana bisa Tuhan memiliki anak laki-laki. Ia juga tidak bisa mempercayai konsep Trinitas dalam ajaran Katolik.

Aysha kemudian sering berdiskusi dengan teman-temannya. Suatu ketika ia dan teman-temannya sedang makan malam dan terdengar suara azan. Saalah seorang temannya meminta mereka diam sejenak, tapi Aysha menolak. Meski demikian, Aysha mengaku sangat terkesan temannya itu dan merasakan sesuatu telah menyentuh hatinya.

Pada suatu musim panas, Aysha mengunduh program Al-Quran dari internet. Ia tidak tahu mengapa dan untuk apa ia melakukan hal. Aysha lalu mendengarkan ayat-ayat suci Al-Quran dalam bahasa Arab dan membaca terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sejak itu, Aysha banyak berpikir tentang agama Islam dan ia mulai banyak membaca banyak buku tentang Islam.

Setelah dua bulan terus memikirkan agama Islam, Aysha memutuskan untuk masuk Islam. Saya mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh dua sahabat saya, "La ilaha illa Allah, Muhammad rasul Allah".

"Saya memilih Islam, meski harus melawan budaya dan keluarga, terutama ibu saya," kata Aysha.

Bulan Ramadan pun tiba. Aysha membulatkan tekadanya untuk memulai kehidupan barunya sebagai seorang Muslimah bersama bulan suci Ramadan. Dan ia bersyukur karena berhasil melalui bulan Ramadan dengan sukses. Hal yang paling sulit buat Aysha sebagai seorang mualaf adalah saat ia belajar salat, karena ia tinggal di lingkungan non-Muslim dan ia tidak bisa bertanya pada orang-orang di sekelilingnya.

"Saya belajar sendiri bagaimana cara salat dari Internet, karena tidak ada yang menunjukkan pada saya bagaimana melaksanakan salat , bagaimana cara berwudhu, atau apa doa yang diucapkan sebelum melakukan kegiatan itu serta bagaimana etika dan hukum Islam itu," tutur Aysha.

Aysha pernah punya seorang teman pria yang membuatnya patah semangat. Temannya itu mengatakan bahwa Aysha tidak akan pernah bisa memahami Islam, karena Aysha tidak dilahirkan sebagai seorang Muslim. Ketika Aysha mengatakan bahwa ia ingin berpuasa pada bulan Ramadan, temannya itu mengatakan bahwa puasa bulan Ramadan bukan hanya menahan lapar. Waktu itu Aysha baru satu bulan menjadi seorang muslim.

"Saat itu saya ketakutan, bagaimana jika saya tidak pernah belajar menunaikan salat dalam bahasa Arab? Bagaimana jika saya tidak melakukannya dengan cara yang benar? Dan saya tidak punya jilbab atau sajadah untuk salat. Tak yang membantu saya, sehingga saya begitu ketakutan," ungkap Aysha.

"Tapi ketika saya mulai salat, saya berpikir Allah pasti sedang tersenyum melihat saya sekarang. Karena saya menuliskan bacaan-bacaan salat di selembar kertas di atas kertas, beserta instruksinya. Saya memegang kertas itu di tangan kanan dan membacanya dengan keras. Kemudian sujud dan membacanya lagi dan begitu seterusnya. Saya yakin saya terlihat sangat lucu. Tapi kemudian saya berhasil menghafal bacaan-bacaan salat dalam bahasa Arab begitu," cerita Aysha.

Aysha lalu membuka akun di Facebook. Di situs jejaring sosial itu, Aysha mendapat banyak teman baru dan banyak saudara sesama muslimah. Dari sahabat-sahabatnya di internet, Aysha mendapatkan banyak perhatian dan dukungan. Seorang laki-laki muslim melamarnya, dari lelaki itu Aysha mendapatkan jilbab pertamanya, sajadah dan buku-buku Islam. Ia juga mendapatkan Al-Quran pertamanya dalam bahasa Arab yang dikirim dari Yordania karena ia sulit mendapatkan Al-Quran di Hungaria. Sekarang, sudah lebih dari setahun Aysha memakai jilbab.

Aysha mengalami periode yang sangat buruk dengan ibunya. Ibu Aysha selalu mengatakan bahwa Aysha akan menjadi teroris, bahwa Aysha akan meninggalkan ibunya seperti Aysha meninggalkan agama Katolik yang dianutnya dan bahwa Aysha juga akan meninggalkan Hungaria, negara kelahirannya.Ibu Aysha menaruh semua makanan yang mengandung daging babi di dalam lemari es dan tentu saja Aysha menolak untuk memakannya. Hal seperti itu kadang memicu pertengkaran besar antara Aysha dan ibunya.

"Ibu tidak senang melihat saya salat dan berjilbab. Saya selalu salat di dalam kamar agar ibu tidak melihat aku salat dan mengenakan jilbab. Ibu selalu berkata,'Aku melahirkan seorang anak Kristen, bukan seorang Muslim yang berjilbab'," kisah Aysha menirukan ucapan ibunya.

"Jadi, kami punya masalah serius, tapi saya tidak pernah kasar pada Ibu. Alhamdulilah, ibu sudah tenang sekarang dan tampaknya ia menerima keislaman saya. Saya benar-benar bersyukur kepada Allah untuk itu. Sekarang saya keluar rumah dengan berjilbab, dan ibu tidak mengatakan apa-apa," ungkap Aysha.

Hubungan Aysha dengan sang ayah, yang sejak lama dingin dan tidak saling bertegur sapa, juga membaik setelah Aysha memeluk Islam. Aysha mencoba membuka kembali komunikasi dengan ayahnya, dan kini ayah Aysha mulai mengunjunginya secara teratur.

"Ya, hidup saya adalah ujian besar tapi saya bersyukur pada Tuhan karena memiliki kesabaran dan harapan. Pada hari kiamat saya akan sangat bersyukur atas semua itu. Jadi aku berusaha untuk menjadi lebih baik dan lebih baik, dan belajar lebih banyak dan lebih banyak untuk memahami agama saya," ujar Aysha.

Ia melanjutkan, "Saya percaya semuanya sudah ditakdirkan, jadi apa pun yang Allah katakan akan terjadi kepada saya, tidak bisa berubah, tapi saya dapat memilih untuk menjalani hidup dengan baik."

"Saya sedang membantu sesama di Debrecen. Saya membuat proyek mengumpulkan pakaian bekas untuk kamp pengungsi.. Ada banyak Muslim di sana yang tidak punya rumah karena perang. Jadi kami mengumpulkan pakaian, kami pergi ke sana dan saya membuatkan roti Pakistan untuk anak-anak dan perempuan, mereka sangat bahagia dan sangat menyenangkan bisa bertemu mereka," papar Aysha.

Ia juga mencoba memberikan bimbingan pada para pengungsi yang ingin masuk Islam atau baru saja masuk Islam. Di kamp pengungsi Aysha bertemu dengan dua muslimah Hungaria yang baru masuk Islam. Pada mereka, Aysha memberikan buku-buku, sajadah dan Al-Quran. "Alhamdulillah. Kami salat bersama dan mereka benar-benar bahagia," kata Aysha haru.

Aysha menyatakan bahwa ia selalu berusaha memberikan kesan bahwa umat Islam adalah umat yang ramah dan memiliki hati yang penuh kasih sayang. Dulu, Aisyah akan bersuara keras jika ada seseorang melontarkan pernyataan yang membuatnya merasa terganggu. Tapi sekarang, Aysha selalu memberikan contoh yang baik sebagai seorang muslimah, kemanapun ia pergi. Aysha, meski baru masuk Islam satu setengah tahun yang lalu, kini sudah menunaikan salat lima waktu dengan rutin, banyak membaca buku Islam dan Al-Quran, berusaha mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah dan sekarang sedang belajar bahasa Arab. (ln/iol)

Kecenderungan Baru Mualaf di Inggris

Caroline Bate adalah tipikal perempuan Inggris yang terpelajar. Ia pernah mempelajari bahasa Rusia dan Jerman sebelum akhirnya memilih jurusan manajemen dan mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang itu dari Universitas Cambridge.Lalu apa yang membuat Caroline istimewa? Yang membuatnya istimewa adalah minatnya terhadap agama Islam. Caroline mempelajari Islam dan merasa dirinya sebagai Muslim meski secara resmi ia belum mengucapkan dua kalimat syahadat.

Caroline mewakili kalangan muda, kulit putih dan terpelajar di Inggris yang cenderung memiliki minat untuk mempelajari agama Islam. Sejumlah masjid di London mengakui adanya kecenderungan yang makin meningkat itu, bahkan bukan hanya berminat mempelajari Islam tapi juga menyatakan diri masuk Islam, terutama sejak peristiwa serangan 11 September 2001 di AS. Seperti Caroline, warga Inggris yang masuk Islam kebanyakan berasal dari kalangan kelas menengah yang sudah mapan, punya karir yang bagus dan memiliki latar belakang kehidupan pribadi dan sosial yang bahagia.

Dalam artikel "Wajah Baru Islam" yang dimuat di situs Islam For Today, penulisnya, Nick Compton menyebutkan bahwa trend semacam itu bukan hal yang baru di Inggris. Ia menyebutkan sejumlah warga asli Inggris ber "darah biru" yang memutuskan untuk menjadi seorang muslim, misalnya Jonathan Birt, putera dari Lord Birt yang masuk Islam pada tahun 1997 dan Joe Ahmed Dobson, putera mantan Menteri Kesehatan Inggris.

Seperti di negara Barat lainnya, isu Islam radikal juga mengemuka di Inggris pasca peristiwa 11 September. Di Inggris, tokoh muslim Abu Hamza Al-Masri ditudingsebagai tokoh radikal yang telah mencekoki anak-anak muda Muslim dengan pemikiran ekstrim. Tapi di sisi lain, justeru makin banyak kalangan kulit putih dari kelas menengah di Inggris yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka mengetahui Islam dari teman-temannya, dari buku bacaan dan dari para juru dakwah di Inggris yang meyakinkan mereka bahwa Islam bukanlah agama misionaris seperti agama Kristen.

Caroline memiliki pengalaman unik bagaimana pertama kali mengenal Islam dan meyakininya sebagai agama yang sempurna dan paling masuk akal. Semuanya berawal ketika teman sekolahnya menikah dengan seorang muslim asal Tunisia. "Tadinya saya cuma ingin mempelajari sisi budayanya dan bukan agamanya. Tapi dari literatur yang saya baca mendorong saya untuk juga membaca tentang ajaran Islam, yang menurut saya sangat masuk akal dan sempurna," kata Caroline.

Lain lagi pengalaman Roger (bukan nama sebenarnya) yang berprofesi sebaga dokter. Ia mengatakan, sekitar satu setengah tahun yang lalu ia sering membicarakan tentang Islam dengan rekan-rekan kerjanya yang Muslim. "Semua yang saya dengar tentang Islam dari media massa adalah Hizbullah, kelompok gerilya dan sejenisnya. Lalu saya mulai mengajukan beberapa pertanyaan tentang Islam pada kolega saya yang Muslim dan saya sangat prihatin dengan ketidaktahuan saya selama ini," aku Roger yang kemudian memutuskan masuk Islam.

Bagi para mualaf itu, memeluk Islam ibarat melakukan 'operasi penyamaran'. Mereka harus membaca, bicara, mendengarkan dan belajar tentang Islam secara diam-diam. Yang paling berat adalah ketika mereka harus mengakui keislaman mereka pada teman-teman dan keluarga. Banyak diantara mualaf baru itu yang menghadapi rasa takut, skeptis bahkan respon berupa sikap kebencian.

Eleanor Martin, seorang artis di era tahun 1990-an yang kemudian dipanggil Aisya adalah salah seorang mualaf di Inggris yang mengalami masa-masa berat itu. Ia mengenal Islam dari Mo Sesay, seorang muslim, dalam satu acara yang sama-sama dibintangi oleh Eleanor.

"Yang ada di pikiran saya tentang Islam adalah orang Islam suka membunuh dan lelaki muslim suka memukul perempuan. Tapi pikiran itu berubah setelah saya melihat perilaku Mo Sesay. Kami berdiskusi dan Sesay membuka mata saya tentang Islam yang sebenarnya," ungkap Eleanor yang masuk Islam pada tahun 1996.

Awalnya, Eleanor menyembunyikan keislamannya karena takut menghadapi reaksi keras dari teman-teman dan keluarganya. "Saya sangat khawatir dengan reaksi ayah. Ia seorang Kristiani yang taat dan memilih berhenti dari pekerjaannya untuk menjadi pendeta," ujar Eleanor.

Ia lalu bertemu dengan seorang aktor Amerika keturunan muslim Afrika bernama Luqman Ali. Keduanya menikah dan Eleanor punya alasan untuk memberitahukan keislamannya pada keduaorangtuanya. "Saya pulang ke rumah dan berkata, 'saya ingin mengabarkan bahwa saya sudah menikah dan saya sekarang seorang muslim'. Ibu saya menyambut gembira tapi ayah saya langsung berkomentar 'saya pikir saya ingin minum-minum sekarang'," tutur Eleanor menceritakan pengalamannya masuk Islam.

Namun sebagian mualaf mengakui bahwa tinggal di negara yang multi etnis lebih mudah bagii seorang mualaf. Stefania Marchetti kelahiran Milan, Italia yang hijrah ke London untuk kuliah mengakui, kemungkinan akan sulit baginya untuk masuk Islam di Italia. "Media massa Italia sangat anti-Islam dan masyarakat Italia pada umumnya beranggapan bahwa semua lelaki muslim adalah teroris dan semua perempuan muslim adalah budak," ungkap Marchetti yang awalnya beragama Katolik dan masuk Islam pada tahun 2001.

Masjid-masjid di Inggris memberikan bimbingan bagi para mualaf baru dalam menjalani kehidupan baru mereka sebagai muslim. Berdasarkan sensus tahun 2001, jumlah Muslim di Inggris mencapai 1,6 juta jiwa. Sejak sensus itu terjadi kenaikan jumlah muslim di Inggris sebanyak 400.000 orang. Dan menurut Mendagri Inggris, Jacqui Smith pada tahun 2008 tercatat 10 ribu jutawan Muslim di Inggris dan secara umum komunitas Muslim Inggris telah memberikan kontribusi sebesar 3,1 miliar pounsterling per tahun bagi perekonomian Inggris. (ln/IFT/MualafOnline)

Herrington, "Jika Menginginkan Kebenaran, Bergaullah dengan Muslim"

"Saya menyadari cara terbaik untuk merasakan bagaimana menjadi seorang Muslim adalah dengan menjalani hidup seperti mereka," kata Cassidy Herrington, seorang mahasiswi, non-Muslim dan wartawan di harian Kentucky Kernel, sebuah media yang dikelola oleh mahasiswa di Universitas Kentucky, AS.

Keinginannya untuk mengenal lebih dekat dan memahami kehidupan sebagai Muslim itulah yang mendorongnya untuk mencoba "menjadi seorang muslimah" dengan cara mengenakan jilbab selama satu bulan penuh.

"Selama sebulan saya mengenakan jilbab, bergulat dengan persepsi yang ditunjukkan orang asing, teman bahkan keluarga saya sendiri," kata Herrington.

"Karena persepsi-persepsi itu, saya berjuang ketika harus menuliskannya. Pengalaman saya berjilbab sangat pribadi, tapi saya berharap dengan berbagi atas apa yang saya lihat, akan membuka ruang dialog yang lebih terbuka dan kritis," sambungnya,

Awalnya, Herrington khawatir akan reaksi komunitas Muslim ketika melihatnya yang non-Muslim mengenakan jilbab. Untuk itu, ia merasa harus mendapatkan persetujuan dari komunitas Muslim sebelum mulai mengenakan jilbab.

Tanggal 16 September, Herrington mendatangi sebuah organisasi Muslim Student Association (MSA) dan mengenalkan dirinya. Ia mengaku sangat grogi ketika pertama kali datang ke kantor itu. Di sana ia bertemu dengan Heba Sulaeiman, mahasiswi yang menjabat sebagai Presiden MSA, yang menyambut gembira setelah mendengar rencana dan maksud kedatangan Herrington ke tempat itu.

"Ide yang mengagumkan," kata Herrington menirukan respon Suleiman.

Herrington merasakan ketegangan dan kegelisahan yang dirasakannya mulai mencair. Ia mengucapkan "Assalamu'alaikum" saat mengenalkan dirinya di hadapan sejumlah anggota MSA dan ia mendengar belasan orang yang hadir membalasnya dengan ucapan "wa'alaikumsalam."

Ketika akan meninggalkan kantor MSA, beberapa orang remaja muslim mendekatinya. "Saya tidak akan melupakan seorang diantara mereka mengatakan 'ini memberi saya harapan', sementara remaja yang lain berujar 'saya muslim, dan saya bahkan tidak bisa melakukan hal itu'," tutur Herrington.

Ia tidak terlalu menanggapi perkataan remaja-remaja tadi sampai kemudian ia merasakan bahwa "proyek" yang dilakukannya bukan sekedar menutupi rambutnya dengan kerudung, tapi ia akan mewakili sebuah komunitas dan sebuah agama. "Konsekuensinya, saya harus benar-benar menjaga perilaku saya saat mengenakan jilbab," ujar Herrington.

Dua minggu setelah datang ke MSA, ia bertemu lagi dengan Heba Suleiman dan temannya, Leanna yang mengajarkannya mengenakan jilbab. "Meski ini inisiatif saya sendiri, saya merasa tidak seorang diri dan ini sangat membantu ketika saya merasa ingin melepas jilbab dan menghentikan proyek pakai jilbab ini," kata Herrington.

"Saya menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasanya. Saya bersepeda dan merasakan sensasi desiran angin yang menyelinap di sela-sela jilbab yang saya kenakan. Saya berjalan di depan etalase toko dan melihat sepintas refleksi wajah orang asing sampai saya terbiasa dan menyadari bahwa refleksi wajah orang asing itu adalah saya sendiri," tutur Herrington menceritakan pengalamannya setelah mengenakan jilbab.

"Mengenakan jilbab menjadi kegiatan rutin saya tiap pagi. Suatu hari, berangkat bersepeda ke tempat kuliah, dan ketika sampai baru sadar kalau saya lupa mengenakan jilbab," tukasnya sambilnya tersenyum.

Herrington mengakui jilbabnya kadang membuatnya tidak nyaman. Ketika berbelanja di toko grosir, ia merasa orang-orang memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu apakah itu cuma perasaannya saja, tapi ia merasa terasing dari orang-orang yang ia kenal dekat. "Teman kuliah, para profesor dan teman-teman semasa sekolah menengah tidak mengatakan apapun tentang jilbab saya, dan itu menyakitkan. Kadang, terjadi gap setiap kali kami berbincang-bincang," ungkap Herrington.

Suatu ketika, ia makan di sebuah restoran Timur Tengah King Tut. Pemilik restoran bernama Ashraf Yusuf memuji proyek jilbabnya dan menanyakan apakah ia akan tetap mengenakan jilbab setelah proyeknya selesai. Herrington hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Seorang non-Muslim yang mengenakan jilbab, hanya mengenakan penutup kepala," kata Yusuf.

Herrington pernah juga dikirimi email dari seseorang. Ketika ia membuka email berisi file audio, terdengar suara bacaan salat dari Makkah, tapi tiba-tiba terdengar suara tembakan tiga kali lalu suara lagu kebangsaan AS.

Herrington menegur orang yang mengiriminya email itu dan orang itu mengatakan bahwa ia cuma bercanda. Herrington mulai mengerti bahwa memang ada masalah fobia dan sikap tidak toleran terhadap Islam dan Muslim.

"Email itu membuktikan bahwa banyak orang yang tidak akurat memandang Islam," imbuhnya.

Sebulan penuh mengenakan jilbab, selama bulan Oktober kemarin, memberikan pemahaman baru bagi Herrington bahwa tak ada yang perlu ditakuti dengan eksistensi komunitas Muslim. "Faktanya, banyak tentara AS yang muslim, yang ikut membela negeri ini. Apa yang Anda lihat atau Anda dengar dari media tentang Islam, bisa saja keliru. Kalau Anda menginginkan kebenaran, bergaullah dengan muslim," tandasnya.

Untuk saat ini, Herrington mungkin sudah melepas kembali jilbabnya, ia juga minta maaf pada orang-orang yang merasa telah tertipu dengan identintasnya. Tapi dengan pengalamannya berjilbab, semoga Allah Swt menganugerahkan hidayah dan cahaya Islam bagi Herrington. (ln/KK)

Michael: Kebenaran Itu Hanya Ditemukan Dalam Islam

Michael David Shapiro adalah seorang Yahudi Rusia. Dulu, ia tidak terlalu yakin dengan adanya Tuhan. Cita-citanya menjadi seorang bintang penyayi rock, tapi sekarang ia bekerja sebagai sekretaris dan tinggal di sebuah apartemen.

Pencarian jati dirinya dimulai ketika ia berusia 19 tahun. Suatu malam, berniat ke dapur dan bertemu dengan rekannya seorang kulit hitam. Ia bertanya pada rekannya itu,"Bolehkah saya menyimpan vodka di kulkas malam ini?". Tak diduga, pertemuan itulah yang mengubah hidup Michael secara drastis.

Teman kulit hitam yang dijumpainya di dapur adalah seorang Muslim dan dia adalah Muslim pertama yang pernah Michael jumpai. Dengan rasa ingin tahu yang tinggi, Michael mengajak lelaki kulit hitam itu berbincang-bincang tentang agama Islam. Tentang semua hal yang pernah Michael dengar seperti salat lima waktu, jihad dan sosok Nabi Muhammad saw.

Kemudian, teman mereka bernama Wade, seorang Kristiani bergabung dalam perbincangan itu. Jadilah mereka bertiga malam itu berdialog dengan Yahudi, Kristiani dan Muslim. "Ternyata kami menemukan banyak perbedaan dan banyak persamaan antara ketiga agama itu," kata Michael.

Setelah perbincangan itu, minat Michael yang selama ini hanya berkutat pada sex, narkoba dan pesta-pesta jadi berubah total. Ia mulai berminat untuk mencari kebenaran, mencari Tuhan, mencari bagaimana cara menjadi pengikutNya.

Ketika itu, kata Michael, ia memulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana pada dirinya sendiri seperti 'berapa sebenarnya jumlah Tuhan?'. Michael berpikir bahwa jumlah Tuhan pasti cuma satu. Tuhan akan lebih kuat jika cuma satu. Karena jika Tuhan dua, kalau ada salah satunya yang berbeda pendapat maka akan terjadi pertentangan dan pertikaian. "Maka saya berpikir bahwa Tuhan itu satu," kata Michael.

Ia juga memikirkan tentang eksistensi Tuhan dan menganalisa keyakinan atheist dan keyakinan theist-theist lainnya. Saya teringat akan kata bijak "Setiap disain pasti ada disainernya". Bertolak dari kata bijak itu, mata saya terbuka bahwa Tuhan itu ada. "Saya tidak bisa menjelaskannya mengapa, saya hanya bisa merasakannya," ujar Michael.

Hal-hal baru yang ditemukannya, membuat Michael berpikir bahwa ia harus bertanggungjawab untuk mematuhi Sang Pencipta dan itu artinya ia harus memeluk satu agama. Pertanyaan lain pun menyusul, 'darimana ia akan memulai? karena secara harfiah jumlah agama bisa ribuan dan ia perlu memperkecil jumlah itu. Langkah pertama yang Michael lakukan adalah mengelompokan agama-agama monoteis dan itu sejalan dengan keyakinannya bahwa Tuhan itu satu. Ia mencoret Budha dan Hindu dari daftarnya dan melingkari tiga agama monoteis yaitu Islam, Kristen dan Yudaisme.

Karena ia seorang Yahudi. Michael mulai mempelajari Yudaisme terlebih dulu, mulai dari konsep Tuhan, nabi-nabi, 10 larangan Tuhan, Taurat dan tentang 'roh keyahudian', satu hal yang menarik perhatian dan membuat Michael ragu. Ia berpikir, ide tentang 'roh keyahudian' tidak universal karena 'jika seseorang dilahirkan sebagai Yahudi, maka orang itu punya jiwa Yahudi dan harus menjadi pengikut Yudaisme. Bagi Michael, ide semacam itu diskriminatif. Ia berpendapat bahwa semua manusia diciptakan sama. "Mengapa seseorang yang dilahirkan dalam agama tertentu harus tetap memeluk agama itu meski jika seseorang itu menemukan bahwa keyakinan yang dianutnya salah?" itulah pertanyaan yang muncul di benak Michael dan ia tidak sejalan dengan konsep tersebut.

Hal lainnya yang membuat Michael ragu dengan Yudaisme, tidak ada konsep yang jelas tentang neraka dalam Yudaisme. Jika konsep itu tidak ada, kenapa seseorang harus berbuat baik atau melakukan dosa? "Jika saya tidak takut akan hukuman yang berat, jadi kenapa saya harus bermoral," pikir Michael.

Michael akhirnya meninggalkan Yudaisme dan beralih belajar kekristenan. Agama ini juga membuat Michael mundur karena konsep trinitas dalam kristen yaitu bapak, putera dan roh kudus. Ia berpendapat, bagaimana bisa Kristen mengklaik percaya hanya pada satu Tuhan, jika menganut konsep trinitas.

Michael juga menganggap sejarah Yesus dalam Kristen aneh dan tak masuk akal. Dalam doktrin Kristen, Yesus adalah anak Tuhan yang harus dibunuh untuk menyelamatkan manusia dari "dosa asal" yang dilakukan Nabi Adam. Dalam Kristen, Yesus mati untuk menebus dosa-dosa manusia.

Doktrin itu membuat Michael berpikir bahwa dalam agama Kristen seluruh umat manusia itu dilahirkan sebagai pendosa, yang melakukan perbuatan yang salah. Itu artinya, seorang bayi yang baru dilahirkan sudah berdosa karena melakukan hal-hal yang salah. "Doktrin yang aneh. Karena dosa satu orang, maka semua manusia harus menderita. Pesan moral apa yang disampaikan oleh doktrin semacam itu? Pemikiran seperti ini tidak masuk logika saya," ujar Michael.

Michael lalu mempelajari Islam. Ia menemukan bahwa Islam berarti patuh dan berserah diri. Prinsip dalam Islam adalah Tuhan yang Esa, salat lima waktu sebagai wujud ketaatan pada Tuhan, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan pergi haji jika mampu secara finansial. Konsep yang buat Michael tidak terlalu sulit untuk dipahami.

Apa yang Michael pelajari tentang Islam tidak ada yang bertentangan dengan logikanya, termasuk kitab suci al-Quran dengan keajaiban-keajaiban yang mengagumkan dan ajaran-ajaran yang tak lekang oleh waktu. Michael menemukan fakta-fakta ilmiah yang sudah dijelaskan dalam kitab suci al-Quran sejak 1400 tahun yang lalu.

Dari sekian banyak hal yang Michael pelajari tentang Islam lewat buku-buku dan riset. Satu hal yang paling membuatnya tertarik adalah kata "Islam" yang dijadikan nama agama Islam disebut beberapa kali dalam al-Quran.

"Dari studi-studi yang sudah saya lakukan sebelumnya, saya tidak menemukan satu kalipun kata 'Yudaisme' ditemukan dalam Kitab Perjanjian Lama atau kata 'Kekristenan' dalam Kitab Perjanjian Baru. Saya heran mengapa saya tidak menemukan dua kata itu dalam dua kitab tersebut!" tukas Michael.

Ia lalu berpikir lebih dalam menemukan jawabannya. Kata Judaism bisa dipisah menjadi "Juda-ism". Begitu juga dengan Christianity bisa dipenggal menjadi "Chris-ianity". Siapakah Juda? Juda adalah salah satu pemimpin suku Yahudi. Jadi nama agama Judaisme diambil dari nama orang. Hal yang sama buat Kekristenan yang diambil dari kata Christ nama untuk Yesus.

Michael akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Christianity dan Judaism tidak disebut-sebut dalam kitab suci karena kedua nama itu datangnya dari manusia dan bukan dari Tuhan. Sedangkan Islam adalah nama agama yang datangnya dari Tuhan.

"Oleh sebab itu ajaran Kristen dan Yudaisme tidak kredibel. Setidaknya dari perspektif saya, kedua ajaran tersebut tidak murni, tidak logis dan tidak lengkap," kata Michael.

Ia melanjutkan,"Islam adalah satu-satunya nama agama yang disebut-sebut dalam al-Quran. Ini punya arti yang besar buat saya."

"Saya sadar, bahwa saya harus mengikuti ajaran Islam. Kemudian saya memilih menjadi seorang Muslim. Saya telah menemukan kebenaran. Saya sudah keluar dari kegelapan dan menemukan cahaya ... cahaya Islam," tandas Michael. (ln/readingislam/iol)