27.3.10

Poligami, Berkah atau Musibah?

Isu poligami selalu memicu reaksi keras dan menjadi isu meresahkan terutama di kalangan perempuan. Padahal diantara kita masih banyak yang bingung ketika dimintai tanggapan tentang gagasan poligami. Sebagian besar orang masih memandang keluarga poligami dengan stigma negatif, meski keluarga poligami itu adalah contoh keluarga poligami yang baik.

Keluarga dari perkawinan poligami sampai detik ini masih identik dengan stereotipe bahwa keluarga semacam itu tidak akan bisa hidup rukun, miskin dan tidak berpendidikan.

Mereka yang mendukung poligami bakal dicap sebagai orang yang mau enak sendiri, tidak berpendidikan, tidak beradab sehingga muncul keprihatinan bahwa kemungkinan ada pemahaman yang kurang benar dari kalangan yang pro dan kontra terhadap isu yang sensitif ini.

Akibatnya, banyak orang yang merasakan sangat sulit untuk mengakui dukungan mereka terhadap poligami atau bahkan mengakui keinginan mereka untuk memiliki isteri lagi dengan niat yang baik, karena takut dicap dengan label-label yang buruk.

Poligami seharusnya tidak menjadi momok yang menakutkan jika ada perencanaan yang konsisten dan sikap tegas untuk menolak kekuatan-kekuatan dari luar yang membawa pengaruh negatif pada kehidupan keluarga. Situasinya akan lebih baik jika tetap berpegang teguh dan mengikuti agenda yang stabil yang akan membawa jiwa dari dua individu terkait secara utuh.

Ada baiknya, kita tidak kehilangan arah untuk mengindetifikasi berbagai persoalan yang mungkin timbul akibat poligamim dan bahwa ada legalitas keagamaan untuk melakukan poligami dan di sisi lain ada kalangan lelaki yang sengaja menyalahgunakan hak yang diberikan ini. Beberapa persoalan yang mungkin timbul dalam kehidupan poligami;

-Ketidakpercayaan salah seorang isteri yang meyakini bahwa cinta tidak bisa dibagi-bagi.

-Rasa cemburu di antara para isteri yang kadang-kadang memicu munculnya sikap negatif terhadap anak-anak mereka.

-Kepala keluarga yang ingin poligami tapi ceroboh, tidak punya komitmen dan tanggung jawab yang kuat untuk mempertahankan keluarganya.

-Pengaruh dari luar, seperti teman dan penasehat yang berpihak akan makin memicu kesalahpahaman dalam keluarga.

Jika manusia bersikap realistis, hidup adalah serangkaian kejadian yang penuh pasang surut tapi selalu ada solusi jika terjadi tekanan-tekanan. Bagi mereka yang memilih hidup berpoligami, butuh perjuangan keras untuk membuat hidup mereka jadi mudah dan ujian kehidupan selayaknya dipandang sebagai sebuah tanggung jawab yang sangat penting.

Dengan demikian, seharusnya tidak ada alasan untuk selalu memandang negatif ide poligami. Bahkan jika kehidupan poligami itu tidak sejahtera. Karena tidak ada indikasi akurat untuk sebuah perkawinan yang sukses dan lebih jauh lagi untuk masalah keluarga yang baik-baik.

Di luar sana, banyak perkawinan tunggal yang juga bisa gagal, karena salah satu pasangan berkhianat atau akibat persoalan yang lebih serius lagi, seperti bersikap tidak jujur yang bisa menimbulkan penderitaan panjang.

Tidak adil jika mengutuk poligami tanpa terlebih dulu menilai ada apa dibalik poligami itu. Sebaliknya, mereka yang ingin berpoligami harus berpikir lebih bijak sehingga tidak merusak citra poligami dan menjadi contoh yang buruk kehidupan keluarga poligami. (ln/iol)

Kebinasaan Umat

Oleh Drs. Ahmad Yani, Ketua LPPD Khairu Ummah

Suatu umat dan bangsa mengalami pasang surut, ada saat dimana mereka hidup dengan kemuliaan dan kejayaan, namun pada saat yang lain mereka hidup dalam kehinaan dan kesengsaraan hingga tercatat dalam sejarah sebagai umat yang terpuruk. Sebagai umat Islam dan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, kita tentu tidak ingin menjadi umat dan bangsa yang terpuruk. Karena itu, perlu kita cari sebab utama keterpurukan suatu umat atau bangsa agar kita bisa mencegahnya sejak dini dan bila itu sudah ada segera kita hentikan.

Paling tidak, setelah menceritakan keadaan umat-umat terdahulu, Al-Qur’an menyimpulkan tiga sebab mengapa terjadi kebinasaan pada suatu umat, Allah Swt berfirman: Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil diantara orang-orang yang telah Kami selamatkan diantara mereka diantara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka dan mereka adalah orang-orang yang berdosa (QS 11:116).

1. TIDAK MENCEGAH KERUSAKAN.

Terjadinya kerusakan di muka bumi, baik kerusakan fisik lingkungan hidup maupun kerusakan moral dan peradaban manusia merupakan faktor utama terjadinya kehancuran dan kebinasaan suatu umat dan bangsa, hal ini karena Allah Swt tidak suka kepada siapapun yang melakukan kerusakan sebagaimana firman-Nya: Dan janganlah kamu berbuat kerusakan (di muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS 28:77).

Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk mencegah manusia dari melakuhkan kejahatan dengan melakukan kerusakan di bumi ini, manakala hal ini kita lakukan, maka kita akan diselamatkan Allah Swt, sedangkan mereka yang mengabaikan upaya mencegah manusia melakukan kerusakan akan membuat mereka memperoleh azab atau siksa yang keras, baik di dunia maupun di akhirat, Allah Swt berfirman: Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik (QS 7:165).

Adanya orang-orang yang mencegah manusia dari melakukan kerusakan atau sering disebut dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar membuat umat ini tetap eksis, bahkan misi mewujudkan kehidupan manusia yang bersih dari dosa dan bermartabat tinggi masih berlanjut hingga hari ini dan insya Allah hingga kiamat nanti. Bila tidak ada lagi yang peduli terhadap perbaikan umat, niscaya binasalah umat Islam ini sebagaimana telah binasa umat-umat terdahulu. Oleh karena itu, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan tugas yang amat mulia sehingga menjadi kunsi keberuntungan di dunia dan akhirat, Allah Swt berfirman: Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS 3:104).

2. TENGGELAM DALAM KENIKMATAN DUNIA.

Pada dasarnya, dunia dengan segala kenikmatan yang terdapat di dalamnya bukanlah sesuatu yang harus dijauhi, ia boleh saja dinikmati namun tetap dalam kendali sehingga tidak menyimpang dari ketentuan Allah Swt sebagaimana yang dicontohkan oleh rasul-Nya. Ibarat orang yang sedang menikmati jernihnya air sungai atau air laut yang dikendalikan dengan kependaian berenang sehingga tidak sampai membahayakan dirinya. Karena itu bila suatu umat dan bangsa tidak memiliki kepandaian mengendalikan dunia, ia justeru akan tenggelam dalam kenikmatan itu yang membuatnya menjadi binasa. Rasulullah saw sudah mengingatkan soal ini kepada para sahabat yang berarti kepada kita semua dalam satu sabdanya: “Akan datang suatu masa dimana kamu akan diperebutkan oleh umat lain sebagaimana makanan lezat diperebutkan oleh orang yang lapar”. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Tidak, bahkan jumlah kamu banyak, tetapi seperti buih di lautan, karena kalian terserang penyakit wahn”. Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).

Tidak bolehnya manusia tenggelam dalam kenikmatan dunia karena memang dunia ini hanya sementara dan kenikmatannyapun tidak besar, masih ada hari akhirat yang kekal dan kenikmatan yang belum pernah dirasa, diraba dan dilihat, karenanya Rasulullah Saw memberikan perumpamaan dunia dengan akhirat seperti tetesan air dari jari dengan air yang ada di lautan, beliau bersabda: Perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke dalam laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apan yang diperolehnya (HR. Muslim dan Ibnu Majah).

Dari sini, menjadi jelas bagi kita bahwa seseorang disebut tenggelam dalam kenikmatan dunia bila ia mencari kenikmatan dunia dengan menghalalkan segala cara dan menikmatinya secara berlebihan hingga ia lupa bahwa kehidupan di dunia ini hakikatnya adalah untuk mencari bekal menuju kebahagiaan yang hakiki di akhirat nanti, Allah Swt berfirman: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (QS 102:1-4).

3. SENANG BERBUAT DOSA

Dosa adalah penilaian buruk yang diberikan Allah Swt atas perbuata manusia karena melanggar aqidah, syari’ah dan akhlak Islam. Dosa yang disenangi oleh manusia, apalagi bila hal itu termasuk dosa-dosa yang besar akan menjadi faktor kebinasaan bagi suatu umat atau bangsa, mereka akan mendapatkan azab yang besar, termasuk di dalamnya permusuhan antar sesama manusia yang menyebabkan perpecahan yang sangat sulit untuk dipersatukan, Allah Swt berfirman: Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami (QS 6:65).

Di dalam ayat lain, dikemukakan juga oleh Allah Swt tentang akibat dari dosa yang membuat mereka bisa binasa dengan azab yang diberikan Allah Swt sebagaimana firman-Nya: Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (QS 29:40).

KEBAIKAN KUNCI KESELAMATAN.

Manakala kita tidak ingin mengalami kebinasaan, maka tidak ada pilihan bagi kita kecuali terus memperbanyak melakukan kegiatan, melakukan gerakan perbaikan dan melestarikan nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, inilah kunci keselamatan bagi kita sebagai umat dan bangsa. Meskipun sudah banyak kezaliman, dosa dan kemaksiatan dilakukan oleh manusia, namun keberadaan (eksistensi) kita masih lestari disebabkan masih ada orang yang mau melakukan kebaikan sebagaimana yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya, bahkan mau memperjuangan tegaknya nilai-nilai kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari, Allah Swt berfirman: Dan Tuhanmu, sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat baik (QS 11:117).

Sinagog Itu Sudah Berdiri di Jantung Masjid Al-Aqsa?

Otoritas Israel akan menggelar upacara pembukaan sinagog yang berlokasi tepat di tengah kompleks Masjid Al-Aqsa pada tanggal 16 Maret mendatang. Untuk acara pembukaan itu, Israel sudah menyebarkan undangan bagi para pemukim Yahudi untuk hadir ke acara tersebut.

Situs Palestine Information Center dalam laporannya menyebutkan bahwa Israel sudah melakukan persiapan untuk acara pembukaan sinagog itu. Pendirian sinagog berkaitan dengan keyakinan orang-orang Yahudi terhadap ramalan seorang Rabbi Yahudi pada abad ke-18 yang mengatakan bahwa pada tanggal tersebut diatas, akan dibangun sebuah sinagog di atas reruntuhan Masjid Al-Aqsa.

Berdasarkan keyakinan itu, orang-orang Yahudi Zionis Israel dengan berbagai cara berusaha meruntuhkan Masjid Al-Aqsa dengan melakukan penggalian-penggalian dan perusakan di bagian-bagian masjid.

Terkait pembukaan sinagog itu, pemerintah Zionis dan kelompok-kelompok Yahudi di Israel diduga telah melakukan kesepakatan dengan Ketua Otoritas Palestina, Mahmud Abbas yang akan memfasilitasi acara pembukaan sinagog tersebut dan mengusir gerakan-gerakan Islam yang akan mempertahankan Masjid Al-Aqsa.

Sebagai bagian dari upaya membantu Israel, para milisi bersenjata dibawah komando Abbas telah menangkap 14 warga Palestina di daerah Tulkarem, Nablus, Jenin dan Qalqiya dengan tuduhan bahwa orang-orang tersebut berafiliasi dengan Hamas.

Pihak Israel juga sudah melakukan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya perlawanan dari kaum Muslimin Palestina saat acara pembukaan berlangsung. Sejak lama, Israel sudah memberlakukan pembatasan bagi jamaah Muslim Palestina yang akan masuk ke kompleks Masjid Al-Aqsa.

Otoritas Israel misalnya, menerapkan aturan hanya warga Palestina yang berusia 50 tahun ke atas yang boleh masuk masjid. Israel juga melakukan operasi penangkapan terhadap pemuda-pemuda Muslim Palestina di kota Yerusalem. (ln/PIC)

Gereja Katolik Belanda Diprotes Kaum Homo

Homoseksual dan lesbian merupakan kasus moral yang terus mengguncang dan memicu kontroversi hebat di Barat dan kalangan gereja

Hidayatullah.com--Ratusan penganut homoseksual dan simpatisan mereka, hari Ahad di Den Bosch, Belanda selatan, menggelar demonstrasi terhadap pastor Luc Buyens. Demo terhadap pastur ini karena telah menolak memberi komuni kepada seorang homoseksual dari Desa Reusel.

Mereka yang berdemonstrasi berbondong-bondong mendatangi gereja Katedral Sint-Jan di Den Bosch, menanggapi seruan COC, organisasi kalangan homoseksual Belanda, seruan Gaykrant, koran kalangan homoseksual, dan Lilianne Ploumen, Ketua Partai Buruh Belanda (PvdA). Baik kalangan homoseksual maupun heteroseksual diajak mendatangi misa di gereja katedral Sint-Jan.

Riuh rendah


Ahad pagi 28 Februari itu beragam orang mendatangi Basilik Sint-Jan. Bukan hanya kalangan homoseksual, tetapi juga para lesbian, transeksual, dan politisi.

Mereka memasang segitiga ungu (begitu Nazi mencap kaum homoseksual) pada pakaian mereka dan membawa beberapa papan protes. Karena protes, misa berlangsung tidak tenang. Tiga perempuan yang mengenakan gaun merah muda menyala dan rambut palsu, menarik perhatian orang ketika masuk gereja pada saat misa sudah mulai. Satpam dan pengawal katedral Sint-Jan gagal menjaga ketenangan. Polisi hadir di luar gereja, tetapi tidak sampai turun tangan.

Sebelumnya sudah diputuskan untuk tidak membagikan komuni. Selama berlangsung misa, pastor Geertjan van Rossem menjelaskan keputusan tidak membagikan hosti itu.

Menurutnya, pembagian komuni itu bukanlah sesuatu yang berlangsung dengan sendirinya. Komuni itu hanya untuk kalangan yang menjalani kehidupan seksualitasnya dengan tepat. "Sakramen yang sangat suci ini tidak seharusnya menjadi permainan protes," demikian pastor Van Rossem. Khotbahnya dibuat menjadi tidak mungkin karena para pengunjung misa dengan riuh rendah keluar dari gereja.

Paling suci


Aksi protes digelar karena Pastor Luc Buyens di Desa Reusel awal Februari lalu menolak memberi komuni kepada Gijs Vermeulen, seorang warga setempat yang kebetulan homoseksual. Sepekan kemudian berlangsung aksi protes di gereja Reusel, sehingga pastor Buyens membatalkan pembagian hosti.

Gereja berpendirian komuni adalah sakramen paling suci yang ditawarkan gereja. Orang yang menerima komuni menunjukkan bahwa mereka bersatu dengan gereja dan dengan Yesus Kristus.

Pendirian semacam ini menimbulkan protes. Kalangan homoseksual sekarang mengadukan para pastor kepada polisi.

Christian Ouwens dan Robert Cooijmans, keduanya warga Belanda selatan, berpendapat pastor telah melakukan diskriminasi. Untuk menjembatani jurang antara gereja katolik dengan kalangan homoseksual, pekan silam Uskup Den Bosch mengadakan pembicaraan dengan Henk Krol, pemimpin redaksi majalah Gaykrant.

Dari pembicaraan itu jelas bahwa gereja Katolik tidak sudi mengubah pendiriannya. Uskup Hurkmans menjelaskan, kalangan homoseksual boleh masuk gereja, tetapi tidak boleh menerima komuni. Selain itu, gereja juga menegaskan hubungan seks hanya bisa berlangsung di dalam pernikahan dan hanya antara pria wanita.

COC, organisasi pembela kepentingan kaum homoseksual, kecewa terhadap ucapan itu. "Pembicaraan itu berlangsung terbuka dan saling menghormati, tetapi hasilnya keras dan menyedihkan. Karena pesannya adalah komuni tidak bisa diterima oleh mereka yang menjalankan homoseksualitas atau lesbian. Itu sangat berat bagi orang Katolik," demikian Vera Bergkamp, wakil ketua COC.

Homoseksual dan lesbian merupakan kasus moral yang terus mengguncang dan memicu kontroversi hebat di Barat dan kalangan gereja hingga saat ini. Kalangan gereja Kristen kini diguncang hebat dalam soal penentuan batas-batas moral soal homoseksualitas. [rnw/www.hidayatullah.com]

Misi Kristen: Indonesia, Ladang Siap Panen

Di era reformasi, misionaris Kristen secara terbuka menyatakan tekad mengkristenkan Indonesia. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-281

Oleh: Dr. Adian Husaini*

SEJAK ratusan tahun lalu, para misionaris Kristen di Indonesia sudah berusaha keras mengubah bangsa Indonesia –yang mayoritas Muslim– menjadi sebuah negeri Kristen. Kini, sejumlah tokoh misi Kristen di Indonesia mendeklarasikan bahwa Indonesia merupakan sebuah negeri yang siap melakukan transformasi besar-besaran, menjadi negeri Kristen. Ibarat lahan, Indonesia sudah siap panen.

Sebuah buku berjudul Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003), menggambarkan ambisi dan harapan besar kaum misionaris Kristen di Indonesia tersebut.

Buku ini hanya setebal 97 halaman. Isinya pun kumpulan artikel ringkas dari berbagai tokoh Kristen dan aktivis misionaris di Indonesia, seperti Pdt. Natan Setiabudi, Niko Njotorahardjo, Bambang Widjaja, Eddy Leo, Ery Prasadja, Iman Santoso, Jeff Hammond, Rachmat T. Manulang, Jonathan Pattiasina, dan Daniel Pandji.

Dalam tulisannya yang berjudul ”Transformasi dan Kesatuan Tubuh Kristus”, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 2000-2005, Natan Setiabudi mendefinisikan Transformasi sebagai: ”perubahan diri dari dalam diri seseorang, sekelompok orang, atau masyarakat yang meluap ke dalam perilaku. Transformasi terjadi ketika orang, organisasi, atau masyarakat berjumpa dengan Tuhan.”

Dan Indonesia kini dikatakan kaum misionaris telah siap melakukan transformasi menjadi Kristen. Kesempatan emas saat ini tidak boleh disia-siakan, karena batas waktunya bisa lewat, sebagaimana pernah terjadi di masa Soeharto:

”Tuhan memberikan kesempatan yang luar biasa kepada orang Kristen dan China, karena pada waktu Suharto menjadi Presiden, ia begitu dekat dengan orang Kristen dan China. Kesempatan demi kesempatan diberikan kepada orang China dan Kristen untuk melakukan bisnis di berbagai bidang. Trio RMS (Radius, Mooy, Sumarlin) di bidang ekonomi beragama Kristen. Itu kesempatan yang diberikan kepada orang Kristen supaya bangsa ini menjadi bangsa yang mengenal Tuhan, tetapi orang Kristen dan gereja tidak siap, sehingga pada tahun 1990-an, waktu Suharto melirik kelompok lain, kelompok tersebut menuding bahwa dua kelompok (Kristen dan China) adalah biang keladi segala persoalan yang ada.” (hal. 45).

Sejak dulu, kaum misionaris Kristen selalu menggambarkan bahwa Indonesia adalah daerah yang diberkati Tuhan, yang siap menerima agama Kristen. Tahun 1962, Badan Penerbit Kristen (BPK), menerbitkan buku H. Berkhof dan I.H. Enklaar, berjudul Sedjarah Geredja, yang menggariskan urgensi dan strategi menjalankan misi Kristen di Indonesia:

“Boleh kita simpulkan, bahwa Indonesia adalah suatu daerah Pekabaran Indjil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan bibit Firman Tuhan. Djumlah orang Kristen Protestan sudah 13 juta lebih, akan tetapi jangan kita lupa.... di tengah-tengah 150 juta penduduk! Djadi tugas Sending gereja-gereja muda di benua ini masih amat luas dan berat. Bukan sadja sisa kaum kafir yang tidak seberapa banyak itu, yang perlu mendengar kabar kesukaan, tetapi juga kaum Muslimin yang besar, yang merupakan benteng agama yang sukar sekali dikalahkan oleh pahlawan2 Indjil.

Tahun 1964, tokoh Kristen Indonesia, Dr. W.B. Sidjabat, dalam bukunya, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, juga menyebutkan hambatan misi Kristen dari kaum Muslim Indonesia:

“Saudara2, kenjataan2 jang saja telah paparkan ini telah menundjukkan adanya suatu tantangan jang hebat sekali untuk ummat Kristen… Dalam hubungan ini saja hendak menundjukkan kepada ummat Kristen bahwa sekarang ini djumlah jang menunggu2 Indjil Kristus Jesus djauh lebih banyak daripada djumlah jang dihadapi oleh Rasul2 pada abad pertama tarich Masehi… Pekabaran Indjil di Indonesia, kalau demikian, masih akan terus menghadapi “challenge” Islam di negara gugusan ini… Seluruhnya ini menundjukkan bahwa pertemuan Indjil dengan Islam dalam bidang-tjakup jang lebih luas sudah “dimulai”. Saja bilang “dimulai”, bukan dengan melupakan Pekabaran Indjil kepada ummat Islam sedjak abad jang ketudjuh, melainkan karena kalau kita perhatikan dengan seksama maka “konfrontasi” Indjil dan Agama2 di dunia ini dalam bidang-tjakup jang seluas2nya, dan dalam hal ini dengan Islam, barulah “dimulai” dewasa ini setjara mendalam. Dan bagi orang2 jang berkejakinan atas kuasa Allah Bapa, jesus Kristus dan Roch Kudus, setiap konfrontasi seperti ini akan selalu dipandangnja sebagai undangan untuk turut mengerahkan djiwa dan raga memenuhi tugas demi kemuliaan Allah.”

Kini di era reformasi, kaum misionaris Kristen secara terbuka menyatakan tekad dan ambisinya untuk mengkristenkan Indonesia. Simaklah berbagai penggambaran dan optimisme kaum misionaris untuk Mengkristenkan Indonesia berikut ini. Ibaratnya, Indonesia adalah lahan yang sudah siap panen. Kaum Kristen diminta jangan sampai melewatkan kesempatan yang sangat berharga ini.

”Indonesia merupakan sebuah ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya! Ya, Indonesia siap mengalami transformasi yang besar. Hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, namun suatu pernyataan iman terhadap janji firman Tuhan. Ini juga bukan impian di siang bolong, tetapi suatu ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan memeriksa firman Tuhan, kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa Indonesia memiliki prakondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang Ia rencanakan,” demikian ungkapan Dr. Bambang Widjaja, Gembala Sidang Gereja Kristen Perjanjian Baru, dalam tulisannya berjudul ”Indonesia Siap Mengalami Transformasi” yang dimuat dalam buku ini.


Mengutip pendapat Dr. Wilbur Smith, sang misionaris ini menyatakan, setiap revival, yaitu tindakan Tuhan yang mengakibatkan transformasi bangsa, senantiasa terjadi saat suatu bangsa berada dalam kegelapan moral yang pekat dan depresi ekonomi yang berat. ”Bukankah keadaan itu yang sedang dilewati oleh bangsa kita? Kegelapan moral dan depresi ekonomi yang berat? Masyarakat yang lelah dan terlantar? Ya, itulah sebabnya saya tidak merasa terlalu berlebihan untuk berkata bahwa Indonesia siap menghadapi tuaian yang besar. Indonesia siap mengalami transformasi!” tulis Bambang lagi.

Kaum Kristen, kata Bambang, tidak boleh melewatkan kesempatan besar ini. Sebab, kesempatan itu ada batas akhirnya. Apabila batas akhir itu terlampaui, maka gandum yang tidak tertuai akan membusuk di ladang. Aktivis misi Kristen ini kemudian memprovokasi kaum Kristen: ”Petani yang bijaksana, saat melihat tuaian sudah di ambang pintu, ia akan merasa perlu menyiapkan tenaga penuai sebanyak-banyaknya karena ia tidak menginginkan hasil ladangnya sia-sia.”

Dalam tulisannya berjudul ”Transformasi-Kairos Bagi Indonesia”, Dr. Jeff Hammond, pemimpin Gerakan Sekota Berdoa, menceritakan sejumlah kesempatan emas bagi kaum Kristen yang dilewatkan begitu saja. Pada tahun 1271, katanya, Kublai Khan meminta didatangkan seratus orang misionaris ke wilayah kerajaannya. Tapi, misionaris yang datang Cuma dua orang, bahkan mereka kemudian lari ketakutan. Suatu kairos (kesempatan yang diberikan Tuhan) terlewatkan begitu saja.

Jeff Hammond berkisah lagi, setelah Perang Dunia II berakhir, Jenderal McArthur tiba di Jepang dan melihat bahwa kepercayaan masyarakat kepada agama Shinto dan Kaisar Hirohito sudah hancur. McArthur lalu mengirim pesan kepada pimpinan Gereja di Amerika yang berbunyi: ”Kirimkan seribu orang misionaris kepada saya, maka bangsa Jepang akan menjadi bangsa Kristen.”

Tetapi, permintaan McArthur itu tidak dipenuhi. ”Masa Kairos sekali lagi berlalu begitu saja dan kini bangsa Jepang menjadi salah satu bangsa yang paling sulit dijangkau dengan Injil,” tulis Jeff Hammond. Berikutnya simaklah paparan Jeff Hammond tentang kisah sukses misi Kristen yang selama ini sudah terjadi di Indonesia:

”Setelah peristiwa G30S/PKI, terjadi masa kairos di Indonesia sehingga dalam enam tahun (1965-1971) ada lebih dari tujuh juta orang di Pulau Jawa yang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Tuaian itu telah berjalan terus dan banyak gereja di mana-mana telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan berbagai gerakan yang mulai lahir telah berdampak selama tahun 1970-1980-an. Pada tahun 1997, suatu masa kairos baru di Indonesia telah mulai dan sekarang sedang berjalan dan sedang menuju suatu klimaks dan ledakan besar kuasa Tuhan yang akan membawa transformasi besar bagi seluruh bangsa Indonesia.”

Membaca kisah-kisah sukses misi Kristen seperti ini, sebagai orang Muslim Indonesia, kita patut bertanya-tanya, mengapa selama ini masyarakat Indonesia dan dunia internasional dijejali dengan berbagai cerita tentang kesulitan kaum Kristen dalam membangun gereja dan mengekspresikan agama mereka. Bahkan, cerita-cerita sedih tentang kebebasan beragama kaum Kristen inilah yang senantiasa diekspose keluar negeri, sehingga memberikan kesan bahwa Indonesia adalah negeri muslim yang sangat tidak toleran dan menindas kaum minoritas Kristen. Kini, banyak kalangan Kristen dan juga kaum liberal yang menjadikan isu ”kebebasan beragama” sebagai komoditas untuk menarik perhatian -- dan mungkin juga dana -- dari dunia internasional.

Menurut Jeff Hammond, sejak Mei 1997, ada banyak nubuatan yang sangat signifikan tentang rencana Tuhan untuk membawa transformasi ke Indonesia. Ada lima nubuatan yang disebutnya, yaitu (1) Akan terjadi goncangan ekonomi di Indonesia, (2) Goncangan itu akan menyebabkan Presiden yang menjabat digulingkan, (3) Setelah itu akan muncul seorang presiden di dalam masa transisional, (4) Akan ada Presiden wanita, dan (5) Indonesia akan mengalami masa tuaian besar. Satu per satu nubuatan-nubuatan itu sedang digenapi.

Masih menurut Jeff Hammond, misi Kristen di Indonesia memandang tahun 2005 sebagai tahun tuaian dan tahun 2020 sebagai tahun penggenapan Amanat Agung di Indonesia. Maksudnya, pada tahun itu, Indonesia akan berangsur-angsur berubah dari impian menjadi kenyataan. Salah satu bentuk transformasi Indonesia adalah terjadinya petobatan sejati yang akan membawa berjuta-juta orang untuk mengenal dan menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi.

Jeff Hammond akhirnya mendesak kaum Kristen:

”Waktunya sudah hampir tiba. Jangan berlambat-lambat. Bergegaslah. Inilah waktu bagi Anda untuk terlibat dalam penciptaan Indonesia baru. Jangan hanya menjadi penonton atau pembaca sejarah, tetapi jadilah pencipta sejarah.” (hal. 29).

Misionaris Kristen lainnya, Ir. Rahmat T. Manullang mendesak kaum Kristen untuk segera berbuat, karena kondisinya sudah sangat genting dan kesabaran Tuhan hampir habis. Bangsa Indonesia harus segera menyembah Tuhan, sebagaimana yang dikonsepkan oleh kaum Kristen.

”Bangsa kita saat ini sedang dalam keadaan yang sangat genting, dan Tuhan ingin kita mengerti hal itu. Kesabaran Tuhan tinggallah sedikit, dan kita sebagai gereja harus peduli akan bangsa ini, jika tidak bangsa ini akan mengalami kehancuran. Dalam sisa waktu ini kita harus bergegas. Ada sesuatu yang Tuhan ingin agar kita lakukan. Yakinlah bahwa Tuhan tidak menginginkan bangsa Indonesia hancur. Namun, syaratnya hanyalah satu, yaitu Tuhan harus menemukan umat-Nya di negeri ini, yang percaya dan yang memberi hidupnya bagi Indonesia. Alkitab mengungkapkan bahwa Tuhan mencintai semua bangsa dan ingin agar mereka semua menyembah-Nya.” (hal. 49).

Bahkan, Indonesia dipandang sebagai daerah yang mendapatkan janji khusus, sesuai dengan gambaran Kitab Yesaya 60:7-9. Sebab, katanya, Indonesia adalah keturunan kedar Nebayot. Indonesia adalah keturunan Ismael Rohani terbesar, lebih besar dibandingkan dengan seluruh penduduk Timur Tengah. Karena itu, kaum Kristen diseru:

”Umat Tuhan harus setia memberikan yang terbaik, baik uang, pikiran, daya, atau apa pun dan menyerahkannya kepada Tuhan agar Ia menjamahnya sehingga terjadi multiplikasi sumber daya yang luar biasa. Umat Tuhan, inilah waktunya. Inilah saatnya janji Tuhan digenapi di Indonesia.” (hal. 51)

Dalam upaya mengkristenkan Indonesia inilah, para misionaris sangat menekankan peran gereja: ”Tugas gereja sebagai satu organisme yang telah ditebus oleh darah Kristus adalah meneruskan karya salib bagi banyak manusia yang diciptakan dan dikasihi-Nya, yaitu mereka yang bukan saja belum menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadi mereka, melainkan juga mereka yang tertindas dan diperlakukan tidak adil... Dalam hal ini, gereja adalah alat yang dipilih Tuhan untuk menjadi agen transformasi.” (hal. 73-74).

Bagi kaum misionaris, gereja bukan sekedar tempat ibadah, tetapi ”gereja melihat penginjilan sebagai mandat yang paling utama di dalam misinya.” (hal. 74); ”gereja melihat keadilan sosial di dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat (”buah”) dari penginjilan... mandat/misi gereja yang paling utama dan satu-satunya adalah penginjilan.” (hal. 75). Bahkan, ”penginjilan menjadi sesuatu yang lebih suci dibandingkan dengan mandat sosial budaya.” (hal. 75).

Inilah tekad kaum misionaris Kristen untuk mengkristenkan Indonesia. Segala daya upaya mereka kerahkan. Gereja-gereja terus dibangun di mana-mana untuk memuluskan misi mereka. Gereja-gereja dan gerakan misi terus bergerak untuk meraih tujuan, yang ditegaskan pada sampul belakang buku ini: ”supaya semua gereja yang ada di Indonesia dapat bersatu sehingga Indonesia dapat mengalami transformasi dan dimenangkan bagi Kristus.”

Memang, sejak dulu, kaum misionaris Kristen sudah menyadari dan merasakan, bagaimana beratnya melaksanakan tugas misinya ke dunia Islam. Jurnal Misi Kristen The Moslem World edisi Oktober 1946 mengutip ungkapan J. Christy Wilson, seorang Misionaris Kristen: “Evangelism for Mohammedans is probably the most difficult of all missionary tasks.” Seperti disebut sebelumnya, Berkhof juga menyebut, bahwa “kaum Muslimin yang besar yang merupakan benteng agama yang sukar sekali dikalahkan oleh pahlawan2 Indjil”. Dr. Sidjabat juga mengakui: “Pekabaran Indjil di Indonesia, kalau demikian, masih akan terus menghadapi “challenge” Islam di negara gugusan ini…”.

Itulah program, tekad, dan tantangan kaum misionaris Kristen? Lalu, apa jawaban umat Islam? Wallahu A’lam. (Depok/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com


Mereguk Mata Air Sabar 'Urwah bin Zubair

Abu Abdillah atau Urwah bin Zubair bin Al-Awwam adalah di antara sederet tabiin yang memiliki kucuran mata air hikmah untuk generasi umat sesudah beliau. Adik dari Abdullah bin Zubair ini memberikakan pelajaran tentang nilai sebuah kesabaran.

Suatu hari cucu Abu Bakar Ash-shiddiq ini mendapat tugas untuk menemui khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan, yaitu Damaskus di negeri Syam. Bersama dengan rombongan, ‘Urwah akan menempuh perjalanan dari Madinah menuju Damaskus yang saat ini menjadi negara Yordania.

Ketika melewati Wadil Qura, sebuah daerah yang belum jauh dari Madinah, telapak kaki kiri beliau terluka. Tabiin yang lahir pada tahun 23 Hijriyah ini menganggap biasa lukanya. Ternyata, luka tersebut menanah dan terus menjalar ke bagian atas kaki Urwah.

Setibanya di istana Al-Walid, luka di kaki kiri Urwah tersebut sudah mulai membusuk hingga betis. Urwah pun mendapatkan pertolongan dari Khalifah Al-Walid yang memerintahkan sejumlah dokter untuk memberikan perawatan.

Setelah melalui beberapa pemeriksaan, para dokter yang memeriksa salah seorang murid dari Aisyah binti Abu Bakar ini mempunyai satu kesimpulan. Kaki kiri Urwah harus diamputasi, agar luka yang membusuk tidak terus menjalar ke tubuh.

Urwah menerima keputusan tim dokter ini. Dan dimulailah operasi amputasi. Seorang dokter menyuguhkan Urwah semacam obat bius agar operasi amputasi tidak terasa sakit. Saat itu, Urwah menolak dengan halus.

Beliau mengatakan, “Aku tidak akan meminum suatu obat yang menghilangkan akalku sehingga aku tidak lagi mengenal Allah, walaupun untuk sesaat.”

Mendengar itu, para dokter pun menjadi ragu untuk melakukan amputasi. Saat itu juga, Urwah mengatakan, “Silakan kalian potong kakiku. Selama kalian melakukan operasi, aku akan shalat agar sakitnya tidak sempat kurasakan.”

Mulailah tim dokter memotong kaki Urwah dengan gergaji. Selama proses operasi itu, tabiin yang bisa mengkhatamkan Alquran selama dua hari ini tampak khusyuk dan tegar. Tidak sedikit pun suara rintihan keluar dari mulut beliau.

Melihat pengalaman yang tidak mengenakkan dari seorang cucu sahabat terkenal itu, khalifah Al-Walid menghampiri Urwah yang masih terbaring. Ia mencoba untuk menghibur.
Tapi, dengan senyum Urwah mengucapkan sebuah kalimat, “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu. Sebelum ini, aku memiliki dua kaki dan dua tangan, kemudian Engkau ambil satu. Alhamdulillah, Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang hari-hari sakit ini. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil, dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.”

Mendengar itu, Khalifah Al-Walid bereaksi, “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang tokoh yang kesabarannya seperti dia.”

Beberapa saat setelah itu, tim dokter memperlihatkan potongan kaki yang diamputasi itu kepada Urwah. Melihat potongan kakinya, beliau mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, tidak pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku itu ke arah kemaksiatan.”

Ujian yang Allah berikan kepada Urwah tidak sampai di situ. Malam itu juga, bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, Urwah mendapat kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya- meninggal dunia. Muhammad meninggal karena sebuah kecelakaan: ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam kandang kuda.

Dalam keheningan malam itu, Urwah berucap pada dirinya sendiri, “Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak, kemudian Engkau ambil satu dan masih Kau sisakan enam. Walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku, hari-hari sehatku masih lebih panjang dari masa pembaringan ini. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku, sesungguhnya Engkau masih menyisakan enam yang lain.”

Kedekatan Urwah bin Zubair dengan doa kepada Allah memang sudah menjadi karakter dalam kehidupnya. Suatu kali, ia pernah mendapati seorang yang shalat kemudian berdoa dengan tampak tergesa-gesa .

‘Urwah memberi nasihat kepada orang itu, “Wahai saudaraku, tidakkah engkau memiliki kebutuhan kepada Rabb-mu dalam shalatmu? Adapun aku, aku selalu meminta sesuatu kepada Allah, hingga jika aku menginginkan garam sekalipun.”

Selain doa, Urwah pun begitu dekat dengan Alquran. Sudah menjadi kebiasaan putera Asma bintu Abu Bakar ini membaca seperempat Alquran di siang hari, kemudian membaca seperempatnya lagi di saat shalat malam. Kebiasaan berlama-lama dalam shalat malam ini terus dilakukan hingga operasi amputasi yang ia alami. Karena sejak itu, ia tidak lagi bisa berdiri seperti sebelumnya.

Walaupun ketika ia melakoni di antara kesibukannya di sebuah kebun, Urwah selalu dekat dengan Alquran. Setiap kali masuk kebun, ia selalu membaca surah Al-Kahfi ayat 39.

Allah berfirman,

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا

Dan Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu ‘Maa syaa Allaah, laa quwwata illaa billaah’ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (Al Kahfi: 39)

Seperti itulah di anta hikmah yang diajarkan Urwah bin Zubair. Sabar dan yakin terhadap ayat-ayat-Nya, merupakan kunci sukses seseorang meraih kepemimpinan di dalam agama ini. Sebuah kepemimpinan dalam mengarahkan umat kepada jalan yang lurus sesuai dengan rambu-rambu agama yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. (mnh/berbagai sumber)

Stop Pencitraan Buruk Muslim Oleh Media!

Anggota parlemen Inggris menentang media yang dianggap menjelek-jelekkan wajah Islam dan muslim

Hidayatullah.com--Anggota Parlemen Inggris Diane Abbott mengeluarkan mosi awal berjudul 'Muslim di Inggris', yang menyambut partisipasi dan kontribusi muslim Inggris dalam masyarakat, termasuk di bidang politik.

Dalam mosi awal yang dimuat di situs parlemen Inggris, ia berharap dewan menentang citra buruk atas muslim yang dibuat oleh media dan menyatakan keprihatinan mendalam atas kunjungan Geert Wilders ke Majelis Tinggi Parlemen Inggris.

Abbott juga meminta agar lembaga perwakilan rakyat Inggris itu mengecam demonstrasi yang dilakukan oleh English Defence League di depan parlemen guna mendukung Wilders, beserta pesan kebencian di plakat yang mereka bawa, yang antara lain berisi tuntuan agar Masjid London Timur ditutup karena dianggap menimbulkan ketakutan, perpecahan, dan ketidakharmonisan.

Hingga saat ini sudah 53 anggota parlemen yang menyatakan dukungannya. Salah satu di antara mereka adalah George Galloway, yang pernah melakukan perjalanan bersama Viva Palestina untuk mengirim sumbangan ke Gaza tahun lalu. [di/paruk/www.hidayatullah.com]

SBY Diminta Amalkan Surat Al Mumtahanah:9

SBY diminta mengamalkan surat Al Mumtahanah karena beliau seorang muslim dan penggagas Majelis Zikir Nurus Salam

Hidayatullah.com--Menyikapi kedatangan Presiden AS Barrack Obama, yang dikabarkan ditunda hinggal bulan Juni, Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FU), Muhammad Khaththath, meminta kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono agar mengamalkan Surat al Mumtahanah ayat 9 yang berbunyi: ”Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu,dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S Al Mumtahanah:9).

Pesan ini, menurut Khathtath, disampaikan saat menghadiri diskusi bulanan Forum Kajian sosial Kemasyarakatan ke-55 yang berlangsung Hari Kamis (18/3) di Gedung Juang 45, Menteng Jakarta Pusat.

Menurut Khathtath, pesannya agar SBY mengamalkan surat Al Mumtahanah ini bukan tanpa alasan. Sebab, baginya, SBY adalah seorang Muslim dan penggagas Majelis Zikir Nurus Salam.

Pengelola majelis zikir sangat dekat dengan citra kesalehan seorang muslim. Dan seorang muslim yang saleh sudah pasti lebih mendahulukan Al-Quran dibanding pertimbangan lainnya.

Dengan kata lain, pengamalan ayat 9 dari surat Al Mumtahanah menunjukkan penolakan keras Forum Umat Islam dan kaum muslimin terhadap kedatangan Barrack Obama ke Indonesia. Surat Mumtahanah ayat 9 ini menjadi catatan dan pengecualian dari watak Islam sebagai din (agama, red) yang cinta damai.

Pembicara lain yang hadir, Ustadz Abu Lukman (aktivis muslim Inggris), juga menambahkan bahwa ”apabila pemimpin kalian berteman dengan penjajah, maka pemimpin kalian sama dengan mereka.”. [BM/www.hidayatullah.com]

Indonesia Lebih Kejam Kepada Anak Sendiri

Pemerintah kerap menyuarakan untuk mengedepankan dialog dalam penyelesaian, tapi terkadang dianggap “sadis” terhadap anak sendiri

Hidayatullah.com--Pemerintah kerap mencitrakan diri dengan sangat populis agar dalam menghadapi persoalan bangsa selalu mengedepankan dialog, bukan mempertontonkan sadisme, dan kekerasan. Kenyataannya, pemerintah telah melakukan pencideraan terhadap urgensi dialog itu sendiri.

Hal itu diungkapan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, terkait dilakukannya penembakan terhadap orang yang disangka “teroris”.

”Kenapa kepada rakyat sendiri kita begitu sadisnya. Padahal mereka baru diduga. Ditangkap hidup-hidup saja sebenarnya bisa. Tapi ini, masih bergerak sedikit, ditembak lagi,” kata Ismail, dalam perbincangan dengan Hidayatullah.com, Senin (15/3).

Hal tersebut, lanjut Ismail, merupakan tragedi besar bagi sebuah bangsa yang bernama Indonesia yang acap kali mengangkat jargon dialogisme yang sehat.

”Sehingga saya melihat, bangsa ini bagaikan bangsa yang tidak mengenal dialog. Saya melihat ini lebih kepada kepentingan elit sebetulnya,” jelasnya.

Terkait dengan pernyataan beberapa tokoh yang menilai kunjungan Obama ke Indonesia dalam beberapa hari ke depan, yang mengatakan tidak perlu ada penolakan dan Obama tetap mesti diterima sebagai seorang tamu, di mata Ismail, hal itu tidak masalah.

Namun, menurut Ismail, sikap penolakan terhadap kedatangan Obama adalah dari sisi mana seseorang melihatnya.

Ada dua jenis tamu, kata Ismail. Yakni tamu bermasalah dan tamu yang baik. Dalam hal ini, Obama digolongkan sebagai tamu yang bermasalah dengan kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang banyak mencederai umat Islam di berbagai negeri.

”Tergantung kita melihat Obama seperti apa. Kami menilai Obama adalah penjajah dan telah melakukan kemungkaran, maka kami tolak,” katanya.

Argumentasi salah satu tokoh publik yang melansir hadits Nabi SAW bahwa tamu kafir tetap harus diterima, kata Ismail, seharusnya hadits yang dipakai bukan itu.

Dalam hadits Nabi SAW juga, jelas Ismail, diperintahkan agar jika melihat kemungkaran maka tolaklah dengan kemampuan yang dimiliki.

”Inilah yang seharusnya dipakai. Kita tolak kemungkaran Obama,” pungkasnya. [ain/www.hidayatullah.com]

Soal Kebenaran, Benarkah Relatif?

Pluralisme agama adalah keyakinan penuh kontradiksi dan problematik, maka tidak selayaknya diyakini oleh orang yang masih mampu berpikir rasional


Oleh: Zarnuzi Ghufron*

SELAIN mengatakan bahwa tentang sesat yang tahu hanya Tuhan, kaum Islam liberal-pluralis juga mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif. Dengan ini, seolah-olah mereka ingin menyimpulkan: bahwa manusia itu tidak bisa membedakan mana yang sesat dan mana yang benar, karena yang sesat tak dapat diketahui dan yang benar juga tak jelas yang mana. Akibat cara berpikirnya ini, maka tak aneh jika mereka tak pernah khawatir kalau berbuat salah.

Ada sebuah pertanyaan yang yang meski dijawab oleh mereka: jika Tuhan dengan tegas memerintahkan umat manusia untuk menghidari kesesatan karena akan dibalas neraka bagi pelakunya dan Tuhan juga memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dengan balasan surga dan neraka bagi yang menolaknya, lalu bagaimana jika kesesatan dan kebenaran itu sendiri tidak bisa dimengerti dan diketahui oleh manusia. Dengan demikian, bagi Allah, perintah tersebut menjadi sia-sia, dan bagi manusia hal itu adalah tanggung jawab yang tidak akan sanggup mereka lakukan (taklif bima la yutoq), karena mereka diberi perintah dan akan diberi sanksi jika melanggar, tapi tak jelas isi perintahnya.

Jika sesat dan kebenaran tak jelas maksudnya, maka bagi manusia keduanya ibarat sebuah nama tanpa ada pemiliknya (al Ismu biduni al musamma) atau sifat tapi tak ada yang disifati (as sifat biduni al mausuf) atau lafadz tak bermakna.

Hal semacam ini sebenarnya bertentangan dengan pernyataan kaum liberal sendiri; bahwa lafadz adalah pertanda dari sebuah realitas atau ma'na dan realitas itu lebih dahulu ada dari lafadznya tsb.

Mencari Kebenaran

Faham relativisme kebenaran adalah bagian dari pluralisme agama yang mengatakan bahwa kebenaran pemahaman tentang Tuhan bagi setiap pemeluk agama adalah relatif, karena mereka sama-sama ingin mencari Tuhan, tapi Tuhan bersifat metafisik dan transendental, hingga akhirnya manusia menjadi beragam dalam memahami Tuhan yang absolut tersebut. Pemahaman manusia ini kemudian diwujudkan dengan nama-nama dan simbol-simbol yang saling berbeda antara pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya.

Agama-agama, menurut Fritjhof Schuon, penggagas faham Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent unity of religions) dibagi menjadi dua: tingkat eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah). Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai Tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki Tuhan yang sama yang abstrak dan tak terbatas.

Dari keterangan di atas dapat kita fahami bahwa kaum pluralis mengangap bahwa akidah semua agama adalah hasil karya manusia, dan pemahaman tentang Tuhan adalah hasil pencarian dan spekulasi manusia sendiri, tidak ada sumber dari Tuhan sendiri yang menjelaskan atau kalau boleh dikatakan manusialah yang menciptakan Tuhan-Tuhan mereka sendiri. Karena setiap agama membuat definisi sendiri-sendiri tentang siapa Tuhan, seperti apa sifat dan nama-Nya, sehinngga wajar jika hasilnya berbeda-beda.

Jika anggapan mereka demikian, maka teori pluralisme agama ini sebenarnya sudah dengan sendirinya tidak berlaku bagi agama Islam, karena asumsi kaum pluralis adalah bahwa pemahaman Tuhan oleh semua agama adalah hasil ciptaan manusia, dan asumsi tersebut ternyata berbeda dengan kenyataan yang ada di dalam agama Islam. Pengetahuan umat Islam tentang Allah, dengan nama-nama-Nya dalam asmaul husna dan segala sifat-Nya adalah bersifat "tauqifiyah", yaitu dari Allah sendiri yang diperkenalkan ke manusia lewat wahyu yang Dia turunkan kepada para Nabi yang Dia utus, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Bukan ciptaan umat Islam atau Nabi itu sendiri, dan di dalam agama Islam tidak ada lahan spekulasi untuk berkata tentang Tuhan

Oleh karena itu, Allah swt. dalam Al-Quran mengatakan bahwa orang yang berkata tentang Tuhan tanpa ada landasan wahyu adalah orang yang berkata tentang Tuhan tanpa pengetahuan.

"Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa Kitab (wahyu) yang bercahaya (yang menjelaskan antara yang hak dan yang batil).” (QS, Al Hajj:08)

"Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
(QS, Al Baqoroh:169)

"Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempuyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah yang Maha Kaya; Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?."
(QS, Yunus:68)

Orang yang ingin memahami sesuatu tanpa didasari ilmu pengetahuan maka tiada cara kecuali dengan mengira-ngira, berhipotesa atau bersepekulasi, karena kalau sudah ada ilmu pengetahuan yang meyakinkan pasti tidak perlu bersepekulsi. Dan orang yang meyakini sesuatu dari hasil spekulasi maka sebenarnya dia telah meyakini sesuatu yang dia sendiri sebenarnya tidak yakin dengan hal tersebut. Meyakini sesuatu yang tidak meyakinkan adalah keyakinan problematik, lalu kenapa diyakini?!

Dari masalah ini dapat kita metahui pula tentang pentingnya diuutusnya seorang Rasul sebagai penerima wahyu Tuhan. Keyakinan awal umat manusia adalah sama, bahwa alam dunia ini memiliki sang pencipta, yang menciptakan dan yang mengatur alam dunia ini atau mereka sebut Tuhan. Tapi, manusia tak bisa mengetahui secara pasti tentang siapa itu Tuhan, siapa nama-Nya dan bagaiman sifat-sifat-Nya. Akhirnya mereka saling berspekulasi tentang Tuhan. Dengan ini menjadi pentinglah diutusnya Rasul sebagai utusan Tuhan yang menujukan tentang siapa sebenarnya itu Tuhan, dan segala hal terkait dengan keberadaan-Nya agar manusia tidak terus-menerus bersepekulasi.

Selain itu para Rasul lewat wahyu memberi tahu umat manusia bahwa di balik alam nyata ini ternyata ada alam lain, alam yang sekarang tak mampu diketahui oleh panca indera, tapi hal itu ada dan ternyata mempunyai hubungan dengan manusia, yaitu alam ghaib, seperti malaikat, jin, syaitan, surga, neraka, surga, alam mahsar, hisab. Dari semua hal yang bersifat transendental dan metafisik tersebut semuanya tidak bisa diketahui kecuali dengan informasi yang dapat dipercaya(al khobar as shodiq), yaitu wahyu dari yang Maha Mengetahui (Allah swt.) yang diturunkan kepada orang yang jujur, terpercaya dan terjaga dari kesalahan, yaitu para Rasul. Jika tidak, maka tiada pilihan lain bagi manusia kecuali tidak mengakui adanya yang transenden dan metafisik tersebut atau mengakuinya tapi dengan jalan hipotesa atau spekulasi dan hal ini tidak meyakinkan karena hipotesa tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Bukti Kebenaran

Telah kita kita ketahui sebelumnya bahwa pengetahuan umat Islam tentang Tuhan dan yang lain yang bersifat metafisik adalah dari al khobar as shodiq, karena manusia tidak bisa mengetahui secara langsung dengan panca indera. Dan di antara hal yang membuktikan bahwa isi khobar tersebut adalah benar-benar meyakinkan, di antaranya sebagai berikut:

  1. Khobar tersebut. telah diterima dari sekian banyak Rasul yang dapat dipercaya, mulai dari Nabi Adam as. Sampai Nabi Muhammad saw. dan kondisi antar satu Nabi dengan Nabi yang lainnya adalah sangat plural baik dari segi masa, tempat atau negara, tabiat umat mereka, kondisi sosial dan budaya waktu itu, dan lain-lain. tapi khobar tersebut tetap sama isinya. Hal ini bisa terjadi karena yang menurunkan wahyu tersebut adalah satu (Allah swt.) dan yang menerima(para Rasul) orang yang jujur, dan isi sebuah berita, selama tetap asli, berita tersebut tidak terpengaruh oleh kondisi waktu, tempat, sosial, dan kultur sang penerima berita, dan juga bila ada sebuah berita yang dikabarkan kepada semisal "si A", kemudian diberitakan lagi yang lain semisal ke "si B", tapi isinya ternyata berbeda, berarti ada salah satu dari keduanya yang dibohongi. Dan mustahil Allah swt berbohong kepada Rasulnya.
  2. Dan sangat mustahil seandainya setiap Nabi dan Rasul berspekulasi secara sendiri-sendiri, tapi mampu menghasilkan hasil spekulasi yang sama dari segala sisi dari masalah yang dispekulasikan.
  3. Masalah akidah adalah nauu' al khobar (jenis berita), oleh karena itu akidah para Nabi dan Rasul adalah sama. Berbeda dengan syari'at, syari'at adalah nuu' al insa (jenis pengadaan) sehingga bisa berbeda-beda, karena untuk mengatur kehidupan umat yang berbeda-beda.

Kesimpulan

Relativitas kebenaran pengetahuan tentang Tuhan oleh umat beragama hanya bisa terjadi bila seluruh umat beragama "tanpa terkecuali" memperoleh pengetahuan tersebut lewat akal budi mereka, dengan berhipotesa, spekulasi atau sejenisnya, tanpa ada wahyu yang dapat dijadikan petunjuk, hingga tidak bisa dipastikan mana yang benar dan mana yang salah, seperti yang dianggap kaum pluralis sendiri. Tapi, telah kita ketahui bahwa pengetahuan tentang yang transendental tersebut tidak dapat diketahui dengan benar kecuali dengan al khobar as shodiq dan sejak dahulu para Rasul telah menerima khobar tersebut.

Maka dengan ini, dari sekian banyak pengetahuan tentang Tuhan yang tadinya mungkin relatif, menjadi tidak relatif lagi, karena yang lain masih berhipotesa, dan belum bisa memastikan benar tidaknya dan al khobar as shodiq yang pasti benar telah memastikan hipotesa-hipotesa tersebut salah.

Dan realitas yang ada bahwa dari sekian banyak pemahaman umat beragama tentang Tuhan semuanya saling kontradiksi, dan sifat di antara dua hal atau lebih yang saling kontradiksi adalah saling membatalkan di antara yang satu dengan yang lainnya, tidak bisa benar secara bersamaan. Dan al khobar as shodiq telah menunjukan mana yang benar.

Di dalam akidah Islam tidak ditemukan dan diterima keyakinan yang kontradiksi, karena hal itu tidak rasional. Pluralisme agama adalah keyakinan penuh kontradiksi dan problematik, maka tidak selayaknya diyakini oleh orang yang masih mampu berpikir rasional. Dan pernyataan kaum liberal/pluralis yang mengatakan bahwa akidah Islam terpengaruh sosial dan kultur waktu turunnya wahyu adalah pernyataan yang keluar karena tidak faham objek masalah.

Ingat! Kondisi sosial dan kultur antarsatu Nabi dengan yang lainnya adalah lebih plural dari kondisi sekarang, tapi kenapa tidak berpengaruh, hal ini yang harus mereka jawab. Dan seandainya mereka mengatakan bahwa relativitas kebenaran terletak pada pemahaman wahyu tersebut, bukan pada kebenaran wahyunya, maka dengan ini ilmu matematika bukan lagi ilmu pasti lagi bagi mereka, karena wahyu mengatakan Tuhan itu hanya satu. Jika pemahaman hanya satu masih relatif kebenarannya, maka satu tambah satu belum tentu dua, tapi masih relatif, mungkin dua, tiga, dan seterusnya. Wallahu a'lam bisshowab.

*
)Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syari'ah Univ. Al Ahgaff, Hadramaut, Yaman. Dan sekarang menjadi Ketua Forum Diskusi Mahasiswa Indonesia (FoKus-Indo)di Unv. Al Ahgoff

Habis Century, Terbitlah Dulmatin

Tak ada mendung, tiada hujan. Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar di tengah hari bolong. Persis seperti itulah kemunculan berita penangkapan teroris di Aceh dan Pamulang, Ciputat. Tapi berbeda dengan suara halililintar yang mengejutkan banyak orang, agaknya kabar terbaru tentang pemberantasan teroris kali ini tak membuat khalayak tercengang. Alih-alih terhenyak, publik justru menaruh curiga: Kok tiba-tiba ada teroris? Mengapa justru terkuak saat SBY sedang dirundung masalah Bank Century?

Di www.detik.com, ada sebuah postingan menarik dari pembaca: SBY Selalu Diuntungkan Densus 88, tulisnya. Benarkah demikian?

Sebuah isu, untuk kasus-kasus tertentu, menurut saya, tak lahir begitu saja ke permukaan. Dia tidak by accident; tp by design. Istilahnya: manajemen isu. Isu yang direncanakan akan diblow up sedemikianrupa dengan tujuan untuk menetralisir isu yang bisa merusak citra,; mengalihkannya dan berharap berdampak pada keuntungan sang pembuat isu.

Apakah penangkapan teroris di Aceh dan Pamulang adalah sebuah isu yang didesign? Sangat mudah menelaahnya: perhatikan momentum kelahiran isu tersebut dan adakah pihak yang diuntungkan dari hal itu. Ada tiga momentum munculnya isu trror kali ini: pansus Century, kunjungan SBY ke Australia dan semakin dekatnya kedatangan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia.

Kita melihat teramat banyak kebetulan yang aneh. Pertama, penggerebakan teroris oleh Densus 88 di Aceh dan Pamulang dilakukan setelah gonjang-ganjing Pansus Century. Kita semua tahu, ujung dari pansus ini merusak citra positif SBY di mata publik. Berderet pertanyaan mengelitik bisa diajukan di sini: Mengapa penggerebekan dilakukan setelah pansus usai? Mengapa tidak dilakukan saat pansus masih ramai? Jika polisi beralasan belum cukupbukti untuk menangkap, argumen ini bisa dengan mudah dipatahkan.

Bukankah pengintaian telah dilakukan cukup lama? Masa sih sebegitu lama polisi tak memiliki bukti untuk langsung meggerebek mereka. Pada akhirnya, Densus 88 memilih untuk menggerebek pasca Pansus Century agar isu ini tidak tenggelam oleh Century yang jauh lebih seksi.

Keberhasilan penangkapan teroris, dalam konteks ini, tentu teramat menguntungkan SBY. Publik sejenak akan melupakan kasus Century. Sukses ini sekaligus diharapkan dapat mendongkrak kembali citra positif SBY yang sempat turun.

Kedua, isu teroris muncul saat SBY berkunjung ke Australia. Apa reaksi pejabat Negeri Kangguru itu saat SBY mengumumkan kematian Dulmatin di depan Parlemen setempat? SBY mendapat aplaus meriah. Puja puji pun mengalir deras membasahi tubuh SBY. “Ini adalah operasi yang sangat sulit dan memakan waktu panjang. Keberhasilan ini pantas diberikan untuk bangsa Indonesia lewat aparat keamanannya yang telah menunaikan tugas ini,”PM Australia Kevin Ruud.

Sementara itu media-media di Australia menggambarkan keberhasilan Indonesia sebagai kemenangan besar Polri. Pada titik ini, sangat penting bagi SBY untuk memberikan kabar gembira kepada pemerintah Australia. Salah satunya karena Australia telah banyak memberikan bantua dana untuk pemberantasan terorisme. Tahun 2004 saja, mereka berkomitmen meningkatkan bantuan bagi Polri dari Aus$ 10 juta menjadi Aus$ 20 juta untuk jangka waktu lima tahun. Sebagai pihak penerima bantuan, tentu saja SBY harus memberikan laporan yang menyenangkan, bukan?

Ketiga, isu teroris lahir hanya beberapa pekan menjelang kedatangan Presiden AS Barack Obama. AS, sebagai negara yang memimpin perang melawan teroris, akan sangat gembira jika ada negara yang “dipimpinnya” berhasil menumpas teroris. Sukses ini adalah cara paling elegan bagi SBY untuk memberi kesan positif kepada “bos” yang akan bertamu ke rumah. Apalagi jika mengingat tak sedikit bantuan materi maupun materi yang telah diberikan AS kepada Indonesia.

Tak jau beda dengan kita yang akan kedatangan tamu besar, bos atau orang yang kita hormati. Berbagai persiapan kita lakukan: membersihkan rumah, menyiapkan makanan terbaik, hingga memasang umbul-umbul, jika diperlukan. Apalagi si bos ini telah banyak berjasa bagi kita diantaranya sering memberikan kita pinjaman uang dalam jumlah banyak.

Kita harus menyambutnya dengan gembira dan meriah. Kita pun siap-siap memberikan laporan menyenangkan seputar pinjaman yang si bos berikan. “Dananya sudah saya gunakan dengan baik, bos.” Kurang lebih begitulah jawaban yang kita siapkan.
Kepada Obama, kita pun demikian. “Mr President, bantuan yang Anda berikan telah digunakan untuk memberantas teroris. Dulmatin telah tewas.”

Tak hanya tentang teroris. Orang-orang JIL, kaum SEPILIS juga akan melaporkan hal yang sama. Apakah sebuah kebetulan tiba-tiba saja ada rencana memidanakan nikah sirri? Apakah kebetulan tiba-tiba saja ada Uji Materi UU Penistaan Agama di MK? Dan apalah kebtulan tiba-tiba saja beberapa hari lalu pentolan JIL, Ulil Abshar Abdalla melakukan Orasi Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki?

Tak ada yang kebetulan. Karena kita tahu sendiri, mereka selama ini bergerak dengan dana dari AS. Dan AS berkepentingan untuk itu karena mereka memiliki agenda sekulerisasi dan liberalisasi di Tanah Air. Paling tidak, jika ada utusan Obama yang bertanya kepada mereka tentang program apa yang telah dilakukan, dari dana yang sudah diberikan, jawabannya telah tersedia.

Ya, habis Century, terbitlah Dulmatin, dan Datanglah Obama.

Erwyn Kurniawan, Editor Maghfiroh Pustaka

Menelaah Berita Kompas dan Republika tentang Dulmatin

Koran Kompas terlihat pro dengan tindakan Polri/Densus 88 dalam menangani kasus Dulmatin
Oleh: Nuim Hidayat*
Kematian Dulmatin (9/3) menjadikan media massa berlomba-lomba menyiarkan berita tentang ‘teroris’. TVOne dan MetroTV bersaing menyajikan liputan langsung beberapa hari dari Pamulang. Bahkan TVOne telah mendahuluinya dengan siaran langsung operasi polisi di pegunungan Aceh, sebelum terjadinya ‘operasi pembunuhan‘ Densus 88 di Gg Asem dan Gg Madrasah di Pamulang.

Kedua TV ini juga menghadirkan pengamat-pengamat teroris, jaringan Noordin atau jaringan al Qaida. Ada siaran langsung dari TVOne pada 10 Maret yang ‘cukup nakal’ ketika seorang reporternya (perempuan) menyiarkan langsung dari tempat kejadian dengan mewawancarai seorang laki-laki tua di Pamulang, tempat kejadian. Saksi yang melihat kejadian penembakan itu menyatakan melihat langsung bagaimana seorang polisi membekuk korban yang akhirnya terjatuh, kemudian didor tiga kali disitu. Ia mengucapkan kesaksian itu, sambil mempraktikkan penembakannya dengan memegang reporter itu!

Beberapa pengamat menyesalkan operasi tembak langsung di tempat yang dilakukan Densus 88. Karena belum jelas di pengadilan kesalahan-kesalahan mereka. Entah mendapat tekanan siapa, Densus 88 akhir-akhir ini menjadi garang dan cenderung menafikan pengadilan untuk menghukum para ‘teroris’. Beberapa pengamat lainnya membuat stigmatisasi dengan mengaitkan Dulmatin dan kawan-kawannya dengan pengalaman mereka di Afghanistan, Moro, dan Ambon. Seolah-olah adalah perbuatan kriminal yang tak terampunkan bagi mereka yang merelakan dirinya berjihad di ketiga tempat itu. Apa yang dikatakan pengamat, memang tergantung pada ideologi dan keilmuan yang dimiliki mereka.

Menarik apabila kita membandingkan sekilas (untuk detilnya Anda bisa baca sendiri) apa yang diberitakan Kompas dan Republika hari ini (10/3/2010) tentang peristiwa yang menyangkut Dulmatin ini. Dari sini, kita akan melihat bagaimana ideologi sebuah media berjalan dalam meliput atau menyikapi sebuah peristiwa. Seperti kita ketahui, berita adalah laporan suatu peristiwa. Dan lebih jelas lagi, sikap sebuah media semakin terang dengan melihat tajuknya.

Tentang Dulmatin atau teror ini, Kompas di halaman depan membuat tiga artikel di halaman satu (halaman paling bergengsi). Artikel pertama berjudul “Aliansi Susun Taktik Baru (judul besar), Dulmatin Persiapkan Semua Proyek Pelatihan (judul kecil)”. Artikel kedua berjudul “Ada Harapan Hubungan RI dengan Australia Cerah”, dan artikel ketiga bertitel “Teroris Memanfaatkan Kelompok di Aceh”.

Di artikel-artikelnya Kompas terlihat pro dengan tindakan Polri/Densus 88 dalam menangani kasus Dulmatin. Kompas mengutip panjang lebar keterangan dari Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Ansyaad Mbai. Dengan Ansyaad Mbai Kompas juga menurunkan artikel wawancara khusus.

Ada satu hal yang menarik ketika Kompas mau mengutip ucapan yang ‘sedikit berseberangan’ dengan keterangan Polri. Meski hanya satu alinea.

Kompas menulis: “Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail, justru menilai, operasi pemberantasan terorisme saat ini masih jauh dari komprehensif. Pemerintah hanya menerapkan cara legal formal melalui operasi kepolisian. Fenomena kembalinya aksi mantan napi teroris adalah cermin kegagalan upaya deradikalisasi.”

Selain menurunkan artikel berita, Kompas juga menurunkan dua artikel opini tentang Dulmatin. Artikel pertama berjudul “Aceh Bukan Rumah Teroris” (Hamid Awaluddin) dan artikel kedua berjudul “Ancaman Terorisme Baru” (Arianto Sangaji).

Dalamn tajuknya, Kompas hari ini menurunkan judul ‘Setelah Tewasnya Dulmatin’. Kita cuplikkan :

“Kepastian tewasnya Dulmatin, satu dari tersangka teroris di Pamulang, setelah Noordin M Top dan Azahari, melengkapi keberhasilan polisi. Polisi perlu kita apresiasi. Mengutip Kepala Polri, masih ada satu target. Namanya dirahasiakan, tetapi diduga Umar Patek –ahli perakit bom berdaya ledak tinggi. Dulmatin dan Umar Patek masuk dalam daftar pencarian orang. Upaya Polri, bahkan sampai tiga personel Densus 88 tewas dalam penyergapan di Aceh, tidaklah sia-sia. Perlu disyukuri. Keberhasilan ini bukanlah titik akhir. Terorisme masih hidup, tidak hanya di Indonesia, juga di berbagai belahan dunia lain. Sebagai gerakan, terorisme bermakna strategis dalam bentuk peledakan bom dan simbolis dalam bentuk penanda keberadaan. Terorisme merupakan bentuk nihilisme dengan ciri matinya kebebasan, dominasi kekerasan dan pemikiran yang diperbudak….”

Di alinera terakhir tajuk Kompas tertulis :

“Apa tindak lanjut konkret? Upaya kuratif perlu dibarengi sikap terus ngeh yang diwujudkan memoderasi pemahaman keagamaan secara progresif dan proaktif! Membangun sikap keberagamaan sebagai sesama peziarah, terbuka dan bersemangat plural, jati diri Indonesia.”

Koran Republika


Republika di halaman depan juga membuat tiga artikel. Artikel pertama berjudul “DNA Dulmatin Cocok (judul besar), The 10 Million Dollar Man (judul kecil).” Artikel kedua berjudul “Presiden SBY: Hilangkan Saling Curiga.” dan artikel ketiga berjudul “Yang Pulang untuk Berpulang.” Republika tidak menurunkan artikel opini tentang Dulmatin.

Berlainan dengan arah Kompas, Republika cenderung kritis dengan tindakan Polri/Densus 88 dalam menangani kasus Dulmatin. Republika menyindir pengumuman terbunuhnya Dulmatin pertama kali ke publik dilakukan Presiden SBY di depan Parlemen Australia. Republika menulis lead beritanya: “Ratusan orang di gedung parlemen Australia menyambut pengumuman itu dengan tepuk tangan” dan memberikan judul gambar Presiden SBY sedang berpidato dengan tulisan: “Makin Mesra”.

Empati Republika kepada Dulmatin (meski Republika tidak setuju dengan aksi teror), makin terlihat di artikelnya yang ditulis oleh wartawannya Darmawan Sepriyosa: “Yang Pulang untuk Berpulang.” Di artikel itu Darmawan menceritakan riwayat hidup Dulmatin, kehebatannya, dan kebohongan pemerintah Filipina yang berulang-ulang mengumumkan kematian Dulmatin.

Di akhir tulisannya, Darmawan menulis: “Sudah lama wanita itu mengaku menyerahkan nasib sang anak kepada Tuhan. Ia bahkan berujar, jika Dulmatin meninggal, tak usah repot membawa jenazahnya pulang ke rumah. “Mati dimana saja tidak masalah karena semua di tangan Allah,” kata dia, wanita tegar itu. “Bila ajal tiba, tak soal tempat berkubur…”

Di tajuknya yang berjudul Sampai Kapan Terorisme? Republika mengritik sikap pemerintah dalam menangani terorisme. Republika menulis:

“Cara Indonesia membasmi terorisme benar-benar mengikuti cara Amerika Serikat. Awalnya penegakan hukum, yaitu tangkap, interogasi dan adili. Kini hanya ada satu cara: tembak di tempat…”

“Selama ini pemerintah menyebut bahwa jaringan terorisme berakar pada pejuang Indonesia di Afghanistan serta mujahidin Muslim di Ambon dan Poso. Mereka awalnya adalah orang-orang yang memiliki semangat membela sesama umat Islam yang dibiarkan dunia internasional terus dijajah Uni Soviet. Mereka juga awalnya orang-orang yang bersemangat membela umat Islam di Poso dan Ambon yang dibiarkan oleh polisi dan tentara dibantai pihak lain. Namun setelah wilayah konflik tersebut damai, mereka tak mampu beradaptasi dengan situasi normal. Sebagai masyarakat sipil, tentu mereka tak memiliki sistem dan prosedur adaptasi. Hal itu berbeda dengan pasukan militer. Selesai bertugas di medan perang, mereka harus mengikuti terapi dan proses adaptasi terlebih dulu sebelum kembali ke keluarganya…”

Selamat membaca!

Penulis adalah Dosen Ilmu Jurnalistik, STID M Natsir

Pro-Kontra Isu Terorisme Aceh (antara Skandal BC dan Kedatangan Obama)


Oleh: Harits Abu Ulya; Ketua Lajnah Siyasah DPP-HTI

Ketika kasus “skandal century” mencapai antiklimak melalui sidang paripurna DPR (3/3/2010), isu terorisme muncul lagi dan memegang estafet.

Peristiwa ini mencuat dipermukaan sejak media memberitakan upaya penggerebakan kelompok bersenjata yang tengah mengadakan latihan militer di pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar yang diduga berlangsung sejak September. Penggerebekan tersebut dilakukan pada Senin malam, 22 Februari lalu.

Jaringan kelompok ini sempat terendus di Pancal dan Saree (lembah Seulawah-Aceh besar). Polisi mengaku menangkap sejumlah orang dari dua tempat ini, yang kemudian di boyong ke Jakarta. Selain itu juga terendus kembali posisinya di sekitar perbukitan Desa Bayu, Kemukiman Lamkabeu, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar hingga akhirnya pecah kontak tembak pada hari Kamis.

Korbanpun berjatuhan di pihak polisi dan kelompok Jalin. Masyarakat sipil juga menjadi korban dalam peristiwa ini.

Selama pengepungan dan kontak senjata, angka korban, dari pihak Brimob 11 luka-luka (satu kemudian dievakuasi ke Jakarta untuk perawatan intensif), 3 personel meninggal (termasuk satu anggota Densus 88 Antiteror).

Dari kelompok bersenjata 18 Ditangkap (semuanya diboyong ke Jakarta, termasuk dua orang yang ditangkap pada hari Senin karena diduga menjadi pemasok senjata (8/3) di Jawa Barat dan Jakarta), 2 meninggal (di Padang Tiji dan Lamkabeu), 2 senjata dan ratusan butir peluru disita. Dari pihak warga sipil 2 meninggal (satu di Jalin dan satu di Desa Bayu), 1 luka-luka. (acehkita.com, 8/3)

Lagi-lagi kita disuguhi “drama” demikian mudahnya penghakiman terhadap kelompok bersenjata ini dengan sebutan 'teroris'. Hanya karena ditemukan beberapa barang yang diduga milik kelompok bersenjata tersebut terkait dengan simbol-simbol Islam (misalnya, buku-buku Islam dan atribut pakaian koko dll), dan ditangkapnya beberapa orang dari luar Aceh yang terlibat.

Demikian pula kejahatan media bertabur pada isu ini, karena dengan mudahnya menjustice (menghakimi) bahwa ini adalah kelompok teroris bahkan berlebihan dengan membangun opini, kelompok teroris ini berusaha menjadikan wilayah Aceh Besar di jadikan “AKABRI-nya” teroris, dan di jadikan “Mindanao”nya, dan sebutan-sebutan hiperbol (berlebihan) lainya.

Seolah media menemukan momentum untuk kembali membuat narasi, yang dalam beberapa waktu mengalami kesulitan untuk melakukan “image bulding” pasca tewasnya Noordin M Top dan di eksekusinya Syaifudin Zuhri di Ciputat agar isu terorisme bisa di terima oleh publik dan menjadi payung moral setiap langkah penanganan oleh pihak kepolisian sekalipun dengan cara-cara yang diduga sarat melanggar HAM, karena banyak orang-orang yang diduga teroris di eksekusi mati saat penggerebekan.

Para pengamat juga tidak mau ketinggalan ikut menabuh genderang “analisis” yang tidak jarang sangat prematur, berdasarkan sangkaan dan dugaan semata-mata, tapi seolah sepakat untuk mentahbiskan keterkaitan kelompok ini dengan jaringan Jama’ah Islamiyah bahkan jaringan al Qoidah. Ditambah dengan munculnya blok di internet pengakuan Tandzim al Qaidah Aceh (yang sulit di verifikasi kebenarannya), dan menyematkan kepadanya tentang potensi ancaman terhadap keamanan Indonesia bahkan untuk keamanan Selat Malaka.

Wajar Pro dan Kontra

Tentu bagi masyarakat Aceh istilah teroris menjadi suatu yang ganjil, karena dalam kamus sejarah Aceh tidak pernah mengenal dan tidak ada teroris. Maka ini melahirkan tanda tanya dan pro-kontra, masyarakat kembali di hadapkan pada sikon yang tidak nyaman dengan sweeping dibanyak tempat dan ini membangkitkan trauma masa lalu selama konflik.

Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Pase melalui juru bicaranya Dedi Syafrizal dalam jumpa pers di kantor Partai Aceh Lhokseumawe (1/3), menilai bahwa pemberitaan adanya gerakan terorisme di Aceh merupakan isu murahan.

Bahkan dinilai tidak rasional jika ada teroris yang muncul di Provinsi Aceh. Berita bahwa adanya gerakan teroris di Aceh sangat tidak berdasar. Ini diduga hanya sebuah rekayasa oleh oknum tertentu untuk kepentingan kelompok maupun pribadi. Kondisi itu seperti sudah direncanakan bukan terjadi dengan tiba-tiba.

Malah setiap pergerakan membuat warga sipil mendapat musibah. “Kami mengklaim bahwa tidak ada gerakan teroris di Aceh umumnya dan Aceh Utara khususnya. Apalagi ada informasi sudah berada di Aceh sejak tahun 2005. Ini sangat tidak dapat diterima oleh akal sehat. Kami menilai ini hanya kerjaan orang-orang yang tidak menginginkan Aceh tetap damai.

Adapun alasannya sangat gampang dilihat dengan kondisi daerah Aceh saat ini. Dari sejumlah pemberitaan terkait isu teroris jaringan jamaah Islamiah, bahwa target mereka adalah pihak asing. Sedangkan saat ini orang asing yang berada di Aceh sangat sedikit dan itupun sedang dalam misi kemanusiaan.

“Dari sejumlah deretan peristiwa pasca perdamaian, ada sejumlah anggota KPA yang menjadi korban. Termasuk kejadian penggrebekan yang dikabarkan tempat latihan terorisme di Aceh Besar. Itu juga membuat anggota KPA (dengan nama julukan “ayah rimba” ) menjadi korban.(Rakyat Aceh.com,2/3)

Anggota Komisi VIII DPR-RI Sayed Fuad Zakaria mempertanyakan sejauh mana dugaan adanya keberadaan jaringan teroris di Aceh dan kenapa baru sekarang diketahui. Mantan Ketua DPRA ini menambahkan, sebagaimana diketahuinya, daerah Aceh yang merupakan paling ujung Sumatera ini justru tidak pernah terdengar adanya kelompok jaringan Jamaah Islamiyah yang selama ini dicap sebagai kelompok teroris.(Rakyat Aceh.com, 2/3)

Membaca Sebuah Kejanggalan

Isu terorisme kali juga tidak lepas dari kejanggalan yang berefek munculnya pro-kontra.

Pertama; Mengingat isu ini muncul sedemikian rupa di saat antiklimak kasus skandal Bank Century yang dibawa ke sidang paripurna DPR dan menghasilkan keputusan melalui voting opsi- C yang mengarah kepada “kontraksi kekuasaan” jika hasil sidang DPR ini dilanjutkan keputaran berikutnya.

Kedua; Begitu juga isu ini muncul jelang kedatangan Obama ke Indonesia, dan seolah menjadi sesuatu yang harus dimunculkan melalui perhatian pemerintah ketika presiden RI (SBY) saat memimpin rapat terbatas bidang politik, hukum dan keamanan (Polhukam).

SBY menagih tindak lanjut pemberian grasi dan pemberantasan terorisme. SBY juga mengingatkan pemberantasan terorisme tetap menjadi agenda dalam penegakan hukum dan HAM. (detik.com, 5/3)

Begitu juga dengan sigap SBY memberikan pernyataan resminya melalui media televisi, bahwa kelompok Jalin tidak terkait dengan GAM dan lebih condong kepada justifikasi kelompok tersebut adalah teroris dan sikap ini juga di aminkan oleh penguasa setempat (Aceh; Irwandi Y).

Ketiga: Selain itu, proyek kontra-terorisme menjadi salah satu prioritas 100 hari program kerja pemerintahan SBY, dalam 100 hari itu diharapkan bisa dirumuskan blue print tentang penanganan terorisme ini dan implementasinya tentu membutuhkan waktu panjang dan lebih dari 100 hari. Hal ini menjadi salah satu substansi dari pertemuan National Summit di Jakarta pada 29-31 Oktober 2009.

Lebih lagi komitmen pada isu terorisme ini juga menjadi kesepakatan dan pembicaraan antara Obama dan SBY saat pertemuan terbatas di Singapura dan saat kunjungan Obama ke Indonesia akan kembali menjadi substansi dan komitmen kedua belah pihak Indonesia-AS.

Negeri tetangga (Singapura) menjadi basis upaya kontra terorisme untuk kawasan Asia Tenggara, dalam kasus ini juga buru-buru mengeluarkan pernyataan warning atas acaman perompak di Selat Malaka yang kemudian dikaitkan dengan aksi terorisme di Aceh.

Keempat: Sementara fakta di lapangan menunjukkan perihal yang berbeda dengan statemen politik pemerintah dan pihak kepolisian, demikian juga opini yang dibangun media (terutama sebuah media TV yang seolah mendapatkan hak eksklusif untuk menayangkan dan reportase langsung dari lapang, yang ini tidak bisa dilakukan oleh media lain karena tidak diberikan akses untuk melakukan hal yang sama).

Karena beberapa fakta di lapangan (dari investigasi penulis dapatkan) membeberkan beberapa hal berikut: Dalam proses penyergapan tanggal 3 maret 2010, ada korban salah tembak yaitu “ayah Rimba” (nama panggilan) dia merupakan mantan salah satu panglima sagoe di wilayah Aceh Besar. Kenapa seorang panglima sagoe bisa ada ditempat penyergapan tersebut ?

“Ayah Rimba” berdalih sedang memancing di tempat tersebut, ini merupakan hal sangat janggal. Pengakuan dari salah satu aparat yang terlibat penyergapan menyebutkan bahwa terdapat sms dalam pesawat HP “Ayah Rimba” isinya “kapan turun, saya sudah siapkan mobil dibawah”.

Tentu substansi sms ini melahirkan pertanyaan keterkaitan sekelompok orang yang diduga teroris dengan mantan kombatan GAM sekalipun bersifat personal “Ayah Rimba”. Begitu juga adanya nama Yudi yang ditangkap pada penyergapan 3 Maret juga ada keterkaitan dengan kelompok masa lalu di Aceh.

Kelima: Banyaknya korban jiwa dari pihak polri menunjukan bahwa kelompok bersenjata Jalin begitu menguasai medan lapangan dan sangat terlatih dalam perang gerilya. Pertempuran hanya berlangsung disekitar lembah gunung Seulawah, dan dalam waktu yang cukup panjang 22 jam. Ini menunjukan bahwa taktik dan strategi perang gerilya yang cukup berpengalaman, dengan jumlah personel polri ratusan tidak mampu menyelesaikn pertempuran sengit yang hanya melawan puluhan teroris. Kemampuan menguasai medan dan taktik gerilya hanya dimiliki oleh orang-orang yang terlatih dan biasa dengan habitat hutan.

Keenam: Mengapa mereka memilih tempat di pengunungan Jalin Jantho ? Pegunungan Jalin Jantho adalah tempat yang paling kondusif untuk melakukan latihan perang. Masing-masing wilayah dimasa lalu dibawah seorang panglima, dalam kontek pasca perdamaian fakta dilapangan tidak semua kombatan selaras dan loyal dengan seluruh keputusan politik pimpinan tertingginya.

Kekecewaan sangat mungkin terjadi, dan diwilayah-wilayah tertentu komponen yang bersebrangan mengakomodir aktifitas (latihan dan semisalnya) orang-orang yang sevisi dan seideologi. Karena suatu hal yang aneh jika ada sekelompok orang berlatih perang tanpa terhendus oleh warga, dan di aceh itu bisa terjadi karena jaminan atau sepengetahuan “penguasa” wilayah tersebut.

Seperti halnya pernyataan salah seorang anggota DPRK Lhokseumawe dari Partai Aceh, Sudarwis sejauh ini, pihak KPA punya jaringan mulai dari tingkat pemerintahan hingga pedesaan. Jadi menurutnya tidak mungkin ada aksi lain yang tidak terpantau oleh mereka. (RakyatAceh.com,2/3).

Menjadi lebih aneh,kalau aktifitas kelompok bersenjata dan di tuduh kelompok teroris ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu seperti pernyataan Irwandi (Gubernur, Aceh 9/3). Pertanyaannya, kenapa baru saat ini diungkap dan dilakukan penyergapan? Bukankah langkah penangangan terorisme juga menempuh strategi preventif? Hingga tidak perlu menunggu kelompok ini tumbuh dan berkembang besar.

Dan masih banyak fakta yang ditutupi dengan isu terorisme, dari sebuah fenomena “friksi lokal” terkait sebuah visi politik perjuangan untuk masa depan Aceh. Dan friksi ini dikawatirkan mengancam kelangsungan perjanjian Helsinski, dan karena pertimbangan politik harus dibelokkan kepada isu teroris, dan harus diseterilkan keterkaitan dengan kelompok masa lalu.

Langkah dan dukungan politik kelompok lokal Aceh telah banyak memberi keuntungan kepada penguasa saat ini. Lebih jauh lagi, kita menghendus upaya-upaya mendiskriditkan dan mewaspadai dayah-dayah (pesantren di Aceh) karena di duga melindungi atau menjadi tempat persembunyian “teroris”, karena kelompok yang berseberangan dengan faksi GAM yang berkuasa saat ini memang banyak basis dukunganya adalah dari kalangan dayah.

Di tambah orang-orang dayah memiliki pemahaman yang utuh dan benar tentang Islam dan syariatnya, tentu akan memiliki prespektif yang bersebarangan terhadap kekuasaan di Aceh saat ini yang dianggap tidak respech kepada upaya penerapan syariah Islam.

Tentu memungkinkan pada titik ini, isu teroris akan menemukan relevansinya dengan Islam dan kelompok-kelompok yang mengusung sayariat Islam. Suatu yang mungkin juga, ketika aksi kelompok Jalin meng-eskalasi lebih luas teritorialnya dan dukunganya maka posisi TNI yang saat ini di posisikan “diam” akan kembali berperan di Aceh, dengan misi baru pemberantasan terorisme, padahal sesungguhnya nanti yang di lakukan adalah memusuhi orang-orang Islam yang coba memperjuangkan syariat. Umat akan di jadikan musuh, dan skenario busuk adu domba seperti ini niscaya terjadi.

Tidak cukup sampai disitu, untuk meyakinkan keterkaitan kelompok Jalin itu dengan pihak-pihak yang di stempel teroris adalah, dengan narasi “kelompok teroris Pemalang” menjadi pengekspor tindak terorisme di Aceh.Bahkan hari Selasa 9/3 di Pamulang ada sebuah drama baru “terorisme”, 2 orang di eksekusi dengan prosedur yang “kontra-HAM”, dan media secara masif melakukan stigmatisasi terhadap Islam dan kelompok Islam hanya karena ada simbol-simbol “cadar”, “jubah”, jenggot dan semisalnya.

Di sinilah umat akan mudah di giring, untuk membenarkan kesimpulan-kesimpulan kelompok bersenjata di Aceh adalah kelompok teroris. Ada peristiwa di Aceh Besar dan ada drama eksekusi “teroris” di Pamulang. Seolah klop sudah desain “proyek kontra terorisme” di tengah-tengah kisruh Century gate dan kedatangan Obama yang akan meneguhkan pembicaraan tentang “terorisme” dengan pemerintah Indonesia.

Umat wajib waspada

Pada titik inilah, umat Islam di Indonesia harus memahami dan waspada upaya-upaya mendiskriditkan Islam dan umatnya terkait dengan isu terorisme karena beberapa hal berikut;

Pertama: Terorisme adalah sebuah isu dan menjadi proyek global AS paska peristiwa 9/11/2001 untuk melakukan penjajahan di negeri-negeri kaum muslimin yang memiliki potensi strategis untuk kepentingan kapitalis global, di mana pemerintah AS menjadi pengusungnya.

Kedua: Indonesia bagian dari dunia Islam yang memiliki nilai strategis dari berbagai aspek. Baik demografi maupun SDA (sumber daya alam) dan geopolitik dikawasan Asia Pasifik maupun didunia Islam. Indonesia menjadi salah satu basis langkah kontra terorisme (yang secara tegas menempatkan Islam dan kelompok-kelompok yang dianggap radikal dan fundamentalis sebagai obyek proyek kontra teroris) dan kelompok ini dianggap sebagai sebab pemicu munculnya tindakan terorisme. Lebih dari itu,kelompok ini dipandang sebagai potensi ancaman terhadap eksistensi kapitalisme global yang di usung AS.

Ketiga: Isu terorisme terbukti bagi AS di dunia Islam khususnya Indonesia mampu menciptakan keterbelahan di antara kaum muslimin. Umat Islam di adu domba dengan katagori-katagori serta pengelompokan, Islam moderat-fundamentalis dsb.

Keempat : Isu terorisme akan terus diusung dan menjadi perhatian penguasa negeri ini (yang terjebak dalam proyek global AS), sampai terget pembungkaman seluruh komponen Islam yang dianggap mengancam eksistensi sekulerisasi dan liberalisasi betul-betul bisa di bungkam.

Kelima: Dalam konteks kekinian, isu terorisme terbukti menguntungkan pihak-pihak tertentu keluar dari problem politik “century gate” dan delegitimasi kekuasaan yang ada.Dan menjadi alasan Indonesia meminta kembali kerja sama liliter dengan AS karena telah menunjukkan komitmennya terkait pengelolaan dan penanganan isu terorisme ini.

Keenam : Isu terorisme hakikatnya salah satu strategi penjajahan AS untuk terus bertahan di dunia Islam.Tentu dengan bantuan dan loyalitas daripenguasa-penguasa negeri kaum muslimin yang berkhianat kepada Allah swt,Rasul SAW dan umat Islam.Karena terbukti Islam dan kaum muslimin menjadi korban.

Ketujuh: Umat perlu intropeksi terkait jalan dan metode perjuangannya, jika yang dikehendaki adalah tegaknya syariat Islam di muka bumi ini. Karena tindakan “teroris” bukanlah jalan yang dituntunkan Rasulullah SAW untuk menegakkan syariat dan Khilafah Islam. Karena metode kekerasan dan teror akan menjadi bumerang terhadap perjuangan Islam dan nasib umat Islam.

Semoga Allah menolong Islam dan umatnya yang tulun di jalan perjuangan Islam, sekalipun para pembenci Islam siang dan malam merancang untuk menjatuhkan dan memadamkan cahaya Allah SWt (Islam). Wallahu a’lam.

Pro-Kontra Isu Terorisme Aceh (antara Skandal BC dan Kedatangan Obama)


Oleh: Harits Abu Ulya; Ketua Lajnah Siyasah DPP-HTI

Ketika kasus “skandal century” mencapai antiklimak melalui sidang paripurna DPR (3/3/2010), isu terorisme muncul lagi dan memegang estafet.

Peristiwa ini mencuat dipermukaan sejak media memberitakan upaya penggerebakan kelompok bersenjata yang tengah mengadakan latihan militer di pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar yang diduga berlangsung sejak September. Penggerebekan tersebut dilakukan pada Senin malam, 22 Februari lalu.

Jaringan kelompok ini sempat terendus di Pancal dan Saree (lembah Seulawah-Aceh besar). Polisi mengaku menangkap sejumlah orang dari dua tempat ini, yang kemudian di boyong ke Jakarta. Selain itu juga terendus kembali posisinya di sekitar perbukitan Desa Bayu, Kemukiman Lamkabeu, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar hingga akhirnya pecah kontak tembak pada hari Kamis.

Korbanpun berjatuhan di pihak polisi dan kelompok Jalin. Masyarakat sipil juga menjadi korban dalam peristiwa ini.

Selama pengepungan dan kontak senjata, angka korban, dari pihak Brimob 11 luka-luka (satu kemudian dievakuasi ke Jakarta untuk perawatan intensif), 3 personel meninggal (termasuk satu anggota Densus 88 Antiteror).

Dari kelompok bersenjata 18 Ditangkap (semuanya diboyong ke Jakarta, termasuk dua orang yang ditangkap pada hari Senin karena diduga menjadi pemasok senjata (8/3) di Jawa Barat dan Jakarta), 2 meninggal (di Padang Tiji dan Lamkabeu), 2 senjata dan ratusan butir peluru disita. Dari pihak warga sipil 2 meninggal (satu di Jalin dan satu di Desa Bayu), 1 luka-luka. (acehkita.com, 8/3)

Lagi-lagi kita disuguhi “drama” demikian mudahnya penghakiman terhadap kelompok bersenjata ini dengan sebutan 'teroris'. Hanya karena ditemukan beberapa barang yang diduga milik kelompok bersenjata tersebut terkait dengan simbol-simbol Islam (misalnya, buku-buku Islam dan atribut pakaian koko dll), dan ditangkapnya beberapa orang dari luar Aceh yang terlibat.

Demikian pula kejahatan media bertabur pada isu ini, karena dengan mudahnya menjustice (menghakimi) bahwa ini adalah kelompok teroris bahkan berlebihan dengan membangun opini, kelompok teroris ini berusaha menjadikan wilayah Aceh Besar di jadikan “AKABRI-nya” teroris, dan di jadikan “Mindanao”nya, dan sebutan-sebutan hiperbol (berlebihan) lainya.

Seolah media menemukan momentum untuk kembali membuat narasi, yang dalam beberapa waktu mengalami kesulitan untuk melakukan “image bulding” pasca tewasnya Noordin M Top dan di eksekusinya Syaifudin Zuhri di Ciputat agar isu terorisme bisa di terima oleh publik dan menjadi payung moral setiap langkah penanganan oleh pihak kepolisian sekalipun dengan cara-cara yang diduga sarat melanggar HAM, karena banyak orang-orang yang diduga teroris di eksekusi mati saat penggerebekan.

Para pengamat juga tidak mau ketinggalan ikut menabuh genderang “analisis” yang tidak jarang sangat prematur, berdasarkan sangkaan dan dugaan semata-mata, tapi seolah sepakat untuk mentahbiskan keterkaitan kelompok ini dengan jaringan Jama’ah Islamiyah bahkan jaringan al Qoidah. Ditambah dengan munculnya blok di internet pengakuan Tandzim al Qaidah Aceh (yang sulit di verifikasi kebenarannya), dan menyematkan kepadanya tentang potensi ancaman terhadap keamanan Indonesia bahkan untuk keamanan Selat Malaka.

Wajar Pro dan Kontra

Tentu bagi masyarakat Aceh istilah teroris menjadi suatu yang ganjil, karena dalam kamus sejarah Aceh tidak pernah mengenal dan tidak ada teroris. Maka ini melahirkan tanda tanya dan pro-kontra, masyarakat kembali di hadapkan pada sikon yang tidak nyaman dengan sweeping dibanyak tempat dan ini membangkitkan trauma masa lalu selama konflik.

Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Pase melalui juru bicaranya Dedi Syafrizal dalam jumpa pers di kantor Partai Aceh Lhokseumawe (1/3), menilai bahwa pemberitaan adanya gerakan terorisme di Aceh merupakan isu murahan.

Bahkan dinilai tidak rasional jika ada teroris yang muncul di Provinsi Aceh. Berita bahwa adanya gerakan teroris di Aceh sangat tidak berdasar. Ini diduga hanya sebuah rekayasa oleh oknum tertentu untuk kepentingan kelompok maupun pribadi. Kondisi itu seperti sudah direncanakan bukan terjadi dengan tiba-tiba.

Malah setiap pergerakan membuat warga sipil mendapat musibah. “Kami mengklaim bahwa tidak ada gerakan teroris di Aceh umumnya dan Aceh Utara khususnya. Apalagi ada informasi sudah berada di Aceh sejak tahun 2005. Ini sangat tidak dapat diterima oleh akal sehat. Kami menilai ini hanya kerjaan orang-orang yang tidak menginginkan Aceh tetap damai.

Adapun alasannya sangat gampang dilihat dengan kondisi daerah Aceh saat ini. Dari sejumlah pemberitaan terkait isu teroris jaringan jamaah Islamiah, bahwa target mereka adalah pihak asing. Sedangkan saat ini orang asing yang berada di Aceh sangat sedikit dan itupun sedang dalam misi kemanusiaan.

“Dari sejumlah deretan peristiwa pasca perdamaian, ada sejumlah anggota KPA yang menjadi korban. Termasuk kejadian penggrebekan yang dikabarkan tempat latihan terorisme di Aceh Besar. Itu juga membuat anggota KPA (dengan nama julukan “ayah rimba” ) menjadi korban.(Rakyat Aceh.com,2/3)

Anggota Komisi VIII DPR-RI Sayed Fuad Zakaria mempertanyakan sejauh mana dugaan adanya keberadaan jaringan teroris di Aceh dan kenapa baru sekarang diketahui. Mantan Ketua DPRA ini menambahkan, sebagaimana diketahuinya, daerah Aceh yang merupakan paling ujung Sumatera ini justru tidak pernah terdengar adanya kelompok jaringan Jamaah Islamiyah yang selama ini dicap sebagai kelompok teroris.(Rakyat Aceh.com, 2/3)

Membaca Sebuah Kejanggalan

Isu terorisme kali juga tidak lepas dari kejanggalan yang berefek munculnya pro-kontra.

Pertama; Mengingat isu ini muncul sedemikian rupa di saat antiklimak kasus skandal Bank Century yang dibawa ke sidang paripurna DPR dan menghasilkan keputusan melalui voting opsi- C yang mengarah kepada “kontraksi kekuasaan” jika hasil sidang DPR ini dilanjutkan keputaran berikutnya.

Kedua; Begitu juga isu ini muncul jelang kedatangan Obama ke Indonesia, dan seolah menjadi sesuatu yang harus dimunculkan melalui perhatian pemerintah ketika presiden RI (SBY) saat memimpin rapat terbatas bidang politik, hukum dan keamanan (Polhukam).

SBY menagih tindak lanjut pemberian grasi dan pemberantasan terorisme. SBY juga mengingatkan pemberantasan terorisme tetap menjadi agenda dalam penegakan hukum dan HAM. (detik.com, 5/3)

Begitu juga dengan sigap SBY memberikan pernyataan resminya melalui media televisi, bahwa kelompok Jalin tidak terkait dengan GAM dan lebih condong kepada justifikasi kelompok tersebut adalah teroris dan sikap ini juga di aminkan oleh penguasa setempat (Aceh; Irwandi Y).

Ketiga: Selain itu, proyek kontra-terorisme menjadi salah satu prioritas 100 hari program kerja pemerintahan SBY, dalam 100 hari itu diharapkan bisa dirumuskan blue print tentang penanganan terorisme ini dan implementasinya tentu membutuhkan waktu panjang dan lebih dari 100 hari. Hal ini menjadi salah satu substansi dari pertemuan National Summit di Jakarta pada 29-31 Oktober 2009.

Lebih lagi komitmen pada isu terorisme ini juga menjadi kesepakatan dan pembicaraan antara Obama dan SBY saat pertemuan terbatas di Singapura dan saat kunjungan Obama ke Indonesia akan kembali menjadi substansi dan komitmen kedua belah pihak Indonesia-AS.

Negeri tetangga (Singapura) menjadi basis upaya kontra terorisme untuk kawasan Asia Tenggara, dalam kasus ini juga buru-buru mengeluarkan pernyataan warning atas acaman perompak di Selat Malaka yang kemudian dikaitkan dengan aksi terorisme di Aceh.

Keempat: Sementara fakta di lapangan menunjukkan perihal yang berbeda dengan statemen politik pemerintah dan pihak kepolisian, demikian juga opini yang dibangun media (terutama sebuah media TV yang seolah mendapatkan hak eksklusif untuk menayangkan dan reportase langsung dari lapang, yang ini tidak bisa dilakukan oleh media lain karena tidak diberikan akses untuk melakukan hal yang sama).

Karena beberapa fakta di lapangan (dari investigasi penulis dapatkan) membeberkan beberapa hal berikut: Dalam proses penyergapan tanggal 3 maret 2010, ada korban salah tembak yaitu “ayah Rimba” (nama panggilan) dia merupakan mantan salah satu panglima sagoe di wilayah Aceh Besar. Kenapa seorang panglima sagoe bisa ada ditempat penyergapan tersebut ?

“Ayah Rimba” berdalih sedang memancing di tempat tersebut, ini merupakan hal sangat janggal. Pengakuan dari salah satu aparat yang terlibat penyergapan menyebutkan bahwa terdapat sms dalam pesawat HP “Ayah Rimba” isinya “kapan turun, saya sudah siapkan mobil dibawah”.

Tentu substansi sms ini melahirkan pertanyaan keterkaitan sekelompok orang yang diduga teroris dengan mantan kombatan GAM sekalipun bersifat personal “Ayah Rimba”. Begitu juga adanya nama Yudi yang ditangkap pada penyergapan 3 Maret juga ada keterkaitan dengan kelompok masa lalu di Aceh.

Kelima: Banyaknya korban jiwa dari pihak polri menunjukan bahwa kelompok bersenjata Jalin begitu menguasai medan lapangan dan sangat terlatih dalam perang gerilya. Pertempuran hanya berlangsung disekitar lembah gunung Seulawah, dan dalam waktu yang cukup panjang 22 jam. Ini menunjukan bahwa taktik dan strategi perang gerilya yang cukup berpengalaman, dengan jumlah personel polri ratusan tidak mampu menyelesaikn pertempuran sengit yang hanya melawan puluhan teroris. Kemampuan menguasai medan dan taktik gerilya hanya dimiliki oleh orang-orang yang terlatih dan biasa dengan habitat hutan.

Keenam: Mengapa mereka memilih tempat di pengunungan Jalin Jantho ? Pegunungan Jalin Jantho adalah tempat yang paling kondusif untuk melakukan latihan perang. Masing-masing wilayah dimasa lalu dibawah seorang panglima, dalam kontek pasca perdamaian fakta dilapangan tidak semua kombatan selaras dan loyal dengan seluruh keputusan politik pimpinan tertingginya.

Kekecewaan sangat mungkin terjadi, dan diwilayah-wilayah tertentu komponen yang bersebrangan mengakomodir aktifitas (latihan dan semisalnya) orang-orang yang sevisi dan seideologi. Karena suatu hal yang aneh jika ada sekelompok orang berlatih perang tanpa terhendus oleh warga, dan di aceh itu bisa terjadi karena jaminan atau sepengetahuan “penguasa” wilayah tersebut.

Seperti halnya pernyataan salah seorang anggota DPRK Lhokseumawe dari Partai Aceh, Sudarwis sejauh ini, pihak KPA punya jaringan mulai dari tingkat pemerintahan hingga pedesaan. Jadi menurutnya tidak mungkin ada aksi lain yang tidak terpantau oleh mereka. (RakyatAceh.com,2/3).

Menjadi lebih aneh,kalau aktifitas kelompok bersenjata dan di tuduh kelompok teroris ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu seperti pernyataan Irwandi (Gubernur, Aceh 9/3). Pertanyaannya, kenapa baru saat ini diungkap dan dilakukan penyergapan? Bukankah langkah penangangan terorisme juga menempuh strategi preventif? Hingga tidak perlu menunggu kelompok ini tumbuh dan berkembang besar.

Dan masih banyak fakta yang ditutupi dengan isu terorisme, dari sebuah fenomena “friksi lokal” terkait sebuah visi politik perjuangan untuk masa depan Aceh. Dan friksi ini dikawatirkan mengancam kelangsungan perjanjian Helsinski, dan karena pertimbangan politik harus dibelokkan kepada isu teroris, dan harus diseterilkan keterkaitan dengan kelompok masa lalu.

Langkah dan dukungan politik kelompok lokal Aceh telah banyak memberi keuntungan kepada penguasa saat ini. Lebih jauh lagi, kita menghendus upaya-upaya mendiskriditkan dan mewaspadai dayah-dayah (pesantren di Aceh) karena di duga melindungi atau menjadi tempat persembunyian “teroris”, karena kelompok yang berseberangan dengan faksi GAM yang berkuasa saat ini memang banyak basis dukunganya adalah dari kalangan dayah.

Di tambah orang-orang dayah memiliki pemahaman yang utuh dan benar tentang Islam dan syariatnya, tentu akan memiliki prespektif yang bersebarangan terhadap kekuasaan di Aceh saat ini yang dianggap tidak respech kepada upaya penerapan syariah Islam.

Tentu memungkinkan pada titik ini, isu teroris akan menemukan relevansinya dengan Islam dan kelompok-kelompok yang mengusung sayariat Islam. Suatu yang mungkin juga, ketika aksi kelompok Jalin meng-eskalasi lebih luas teritorialnya dan dukunganya maka posisi TNI yang saat ini di posisikan “diam” akan kembali berperan di Aceh, dengan misi baru pemberantasan terorisme, padahal sesungguhnya nanti yang di lakukan adalah memusuhi orang-orang Islam yang coba memperjuangkan syariat. Umat akan di jadikan musuh, dan skenario busuk adu domba seperti ini niscaya terjadi.

Tidak cukup sampai disitu, untuk meyakinkan keterkaitan kelompok Jalin itu dengan pihak-pihak yang di stempel teroris adalah, dengan narasi “kelompok teroris Pemalang” menjadi pengekspor tindak terorisme di Aceh.Bahkan hari Selasa 9/3 di Pamulang ada sebuah drama baru “terorisme”, 2 orang di eksekusi dengan prosedur yang “kontra-HAM”, dan media secara masif melakukan stigmatisasi terhadap Islam dan kelompok Islam hanya karena ada simbol-simbol “cadar”, “jubah”, jenggot dan semisalnya.

Di sinilah umat akan mudah di giring, untuk membenarkan kesimpulan-kesimpulan kelompok bersenjata di Aceh adalah kelompok teroris. Ada peristiwa di Aceh Besar dan ada drama eksekusi “teroris” di Pamulang. Seolah klop sudah desain “proyek kontra terorisme” di tengah-tengah kisruh Century gate dan kedatangan Obama yang akan meneguhkan pembicaraan tentang “terorisme” dengan pemerintah Indonesia.

Umat wajib waspada

Pada titik inilah, umat Islam di Indonesia harus memahami dan waspada upaya-upaya mendiskriditkan Islam dan umatnya terkait dengan isu terorisme karena beberapa hal berikut;

Pertama: Terorisme adalah sebuah isu dan menjadi proyek global AS paska peristiwa 9/11/2001 untuk melakukan penjajahan di negeri-negeri kaum muslimin yang memiliki potensi strategis untuk kepentingan kapitalis global, di mana pemerintah AS menjadi pengusungnya.

Kedua: Indonesia bagian dari dunia Islam yang memiliki nilai strategis dari berbagai aspek. Baik demografi maupun SDA (sumber daya alam) dan geopolitik dikawasan Asia Pasifik maupun didunia Islam. Indonesia menjadi salah satu basis langkah kontra terorisme (yang secara tegas menempatkan Islam dan kelompok-kelompok yang dianggap radikal dan fundamentalis sebagai obyek proyek kontra teroris) dan kelompok ini dianggap sebagai sebab pemicu munculnya tindakan terorisme. Lebih dari itu,kelompok ini dipandang sebagai potensi ancaman terhadap eksistensi kapitalisme global yang di usung AS.

Ketiga: Isu terorisme terbukti bagi AS di dunia Islam khususnya Indonesia mampu menciptakan keterbelahan di antara kaum muslimin. Umat Islam di adu domba dengan katagori-katagori serta pengelompokan, Islam moderat-fundamentalis dsb.

Keempat : Isu terorisme akan terus diusung dan menjadi perhatian penguasa negeri ini (yang terjebak dalam proyek global AS), sampai terget pembungkaman seluruh komponen Islam yang dianggap mengancam eksistensi sekulerisasi dan liberalisasi betul-betul bisa di bungkam.

Kelima: Dalam konteks kekinian, isu terorisme terbukti menguntungkan pihak-pihak tertentu keluar dari problem politik “century gate” dan delegitimasi kekuasaan yang ada.Dan menjadi alasan Indonesia meminta kembali kerja sama liliter dengan AS karena telah menunjukkan komitmennya terkait pengelolaan dan penanganan isu terorisme ini.

Keenam : Isu terorisme hakikatnya salah satu strategi penjajahan AS untuk terus bertahan di dunia Islam.Tentu dengan bantuan dan loyalitas daripenguasa-penguasa negeri kaum muslimin yang berkhianat kepada Allah swt,Rasul SAW dan umat Islam.Karena terbukti Islam dan kaum muslimin menjadi korban.

Ketujuh: Umat perlu intropeksi terkait jalan dan metode perjuangannya, jika yang dikehendaki adalah tegaknya syariat Islam di muka bumi ini. Karena tindakan “teroris” bukanlah jalan yang dituntunkan Rasulullah SAW untuk menegakkan syariat dan Khilafah Islam. Karena metode kekerasan dan teror akan menjadi bumerang terhadap perjuangan Islam dan nasib umat Islam.

Semoga Allah menolong Islam dan umatnya yang tulun di jalan perjuangan Islam, sekalipun para pembenci Islam siang dan malam merancang untuk menjatuhkan dan memadamkan cahaya Allah SWt (Islam). Wallahu a’lam.