9.1.10

Anak, Televisi, dan Buku

"Yang tidak diajarkan televisi adalah cara membunuh televisi," kata Taufik Ismail. Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan untuk melindungi anak-anak kita?

Oleh M. Anwar Djaelani

Kalimat Taufik Ismail di atas adalah petikan dari syair Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Bagi kita, apa yang diungkap Taufik Ismail itu semoga bisa menjadi energi pendorong agar kita bergegas menyelamatkan anak kita masing-masing dari bahaya televisi yang isinya penuh dengan vulgarisme, seperti kekerasan, pornografi, dan gosip.

Di tengah situasi buruk itu, ada fakta “berdasar laporan satu koran terbitan Surabaya di tahun 2007-- bahwa banyak orang tua yang dengan alasan menyenangkan anak, justru menyediakan televisi di masing-masing kamarnya.

Fenomena di atas sungguh mencemaskan, sebab “ternyata- banyak orang tua yang merelakan anaknya "diasuh" oleh kotak ajaib yang bernama televisi (TV). Bahkan, ada yang sejak berusia tiga tahun sudah "diasuh" TV.

Ada berbagai alasan yang diberikan orang tua soal disediakannya TV di kamar anak. Ada yang berdalih sekadar memenuhi permintaan anak. Ada yang beralasan karena ingin memberikan hiburan ke anak setelah lelah belajar.

Benarkah sikap orang tua itu di tengah situasi (hampir) semua TV memberhalakan rating, yang salah satu implikasi logisnya adalah mengabaikan moralitas? Beralasankah memberikan keleluasaan menonton TV tanpa kontrol, di tengah kenyataan bahwa bagian terbanyak isi siaran TV kita berpotensi merusak akhlak? Sudahkah para orang tua itu mengkalkulasi untung-rugi dari sikap memberikan kemerdekaan memegang kendali penggunaan TV? Relakah kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak diambil alih TV?

Sungguh, janganlah orang tua pura-pura tak tahu, bahwa anak-anak itu banyak belajar dari apa yang mereka tonton. Bukankah para orang tua patut mengerti bahwa daya imitasi (peniruan) anak-anak itu kuat sekali?

Ada laporan bahwa anak-anak mengkonsumsi siaran TV 30 - 35 jam tiap pekan. Artinya, dalam sehari anak-anak "berguru" ke TV sekitar 4,5 jam (Jawa Pos, 17/8/07). Apa akibatnya?

Lihatlah gaya berbahasa mereka. Perhatikanlah ekspresi mereka saat berkomunikasi dengan orang lain. Cermatilah cara mereka berdandan. Sangat terasa pengaruh siaran TV bagi mereka.

Yang jelas, berbagai bukti akibat negatif siaran TV terhadap perilaku anak telah nyata tersaji. Lihatlah akibat buruk acara Smack Down yang pernah ditayangkan salah satu stasiun TV. "Terinspirasi" adegan kekerasan, terbit keinginan untuk menirunya. Akibatnya, sejumlah anak cedera dan sebagian di antaranya meninggal. Masya-Allah!

Buku, Buku!

Sangat mendesak, untuk bersama-sama mengatasi masalah TV yang mampu "menyihir" anak-anak. Untuk itu, ada berbagai modus menjauhkan anak dari TV. Ada yang menerapkan model 'nonton tapi selektif'. Misalnya, yang boleh ditonton hanya siaran tertentu seperti berita, Kuliah/Ceramah Subuh, atau sinetron bernuansa religius.

Yang menarik, ada juga yang memilih untuk sama sekali "menceraikan" TV. Bukan karena tak ada uang untuk membeli TV, tapi semata-mata untuk menjauhkan sejauh-jauhnya “kotak ajaib yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan anak itu” dari rumah.

Tapi, mereka memberi substitusi/pengganti bagi tetap terpenuhinya hak-hak anak untuk terus mendapatkan informasi/ilmu pengetahuan. Sadar bahwa membaca itu memberi rangsangan paling kompleks bagi otak, maka disediakanlah perpustakaan pribadi di rumah. Koleksi buku diusahakan selalu bertambah. Jika melakukan rekreasi, pergi ke perpustakaan umum atau ke toko buku menjadi pilihan utama. Intinya, anak-anak dikondisikan untuk mencintai buku dengan membacanya.

Dengan cara itu, mereka yakin bahwa tanpa TV mereka tak akan pernah ketinggalan informasi mutakhir. Bukankah masih ada media pembelajaran yang lain seperti buku, ensiklopedi, dan lain-lain? Bukankah masih ada koran dan majalah, yang sekalipun juga punya peluang dampak negatif, tetapi tak sevulgar TV?

Diyakini, anak-anak itu tetap bisa tumbuh normal, sehat, cerdas, penuh percaya diri, dan santun jika mereka dijauhkan dari TV, yang telah ‘mengajarkan’ berbagai cara kekerasan (baik yang berdimensi seksual, kriminal, politik, dll). Sungguh, jauh lebih banyak manfaatnya jika kita suka ‘bermesraan’ dengan buku (atau bahan bacaan lain) ketimbang suka berdekat-dekat dengan TV.

Maka, masihkah kita akan betah berjam-jam memelototi TV? Relakah kita dibodohi TV yang lebih sering menjajakan mimpi? Sudikah anak-anak kita yang sedang tumbuh-kembang diasuh oleh ‘pengasuh’ bernama TV dengan mata pelajaran utama kekerasan dan pornografi?

Sebaliknya, seringkah kita berdialog dengan bacaan berkualitas? Kerapkah kita berdiskusi dengan buku-buku bermutu? Sudahkah kita merasakan ‘surga dunia’ dengan berlama-lama khusyu' ˜Taman Bacaan" atau di perpustakaan?

Rawatlah terus minat kita (terutama minat anak-anak kita) dalam membaca, agar selamat. Akrabilah buku. Baca, dan teruslah membaca! Khusus bagi yang beragama Islam, akan jauh lebih bermakna jika disertai niat untuk mengamalkan ayat ini: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (QS Al-‘Alaq [96]: 1). []

Dosen STAIL Pesantren Hidayatullah Surabaya

No comments:

Post a Comment