7.11.09

The Next ‘Noordin’?

Sosok yang dijadikan ikon berbahaya harus selalu ada. Ini sebagai alasan melanjutkan perburuhan teroris dengan segala kepentingan-kepentingan strategis lainya.

Keraguan atas matinya Noordin M Top dalam penyergapan di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Jebres, Solo, 17 September lalu akhirnya tertepis, setelah dipastikan melalui tes DNA dan sidik jari.

Namun, menurut Ketua Lajnah Siyasiah DPP HTI Harits Abu Ulya, andai Noordin bisa ditangkap hidup-hidup, ia bisa diinterogasi siapa dalang yang sebenarnya? Apakah benar seperti yang dituduhkan Densus 88 selama ini ataukah tidak?

Jawaban itu juga penting untuk memastikan apakah laptop yang berisi jaringan Noordin, rencana akan kembali membom Bali serta file-file lain itu memang benar disimpan oleh Noordin di dalam laptopnya bukan oleh pihak lain.

Meskipun sebenarnya cukup aneh mengapa laptop tersebut tidak rusak terbakar, tertembak, terkena reruntuhan bangunan yang dibom atau sengaja dirusak Noordin untuk menghilangkan barang bukti.

Padahal seperti yang dinyatakan Kapolri Bambang Hendarso Danuri bahwa polisi sempat memberikan peringatan kepada penghuni untuk menyerahkan diri, namun dibalas rentetan tembakan senjata disertai dengan teriakan heroik.

Peringatan berulang tidak digubris, Densus 88 kemudian mendobrak pintu hingga terjadi tembak menembak. Sebuah sepeda motor tertembak dan terbakar hingga apinya menjalar ke rumah. Para penghuni rumah itu mengamankan diri ke kamar mandi. Densus 88 lalu menjebol tembok dengan bom.

Berada dimana sebenarnya laptop tersebut sehingga tidak rusak?" Namun ini menjadi kabur karena tidak ada orang yang bisa mengakses langsung kecuali aparat, jadi. narasi-narasi berikutnya itu ya tergantung aparat mau seperti apa?" ujar Abu Ulya kepada Media Umat, Ahad (4/10) di Jakarta.

Seperti yang seringkali dikatakannya bahwa ada image building, pembangunan citra bahwa perang melanjutkan terorisme ini akan terus berlangsung. Tidak berakhir sampai kematian Noordin.

Karena proyek melawan teroris masih panjang episodenya. Seperti halnya asal muasal drama ini berawal, pasca peristiwa 911-2001, AS sudah mendeklarasikan perang melawan teror ini akan memakan waktu yang panjang.

"Dan kita tahu ini adalah salah satu di antara instrumen imperialisme yang harus dipelihara, berakhir atau berlanjut sangat bergantung kepada kepentingan," ujarnya. Dalam konteks lokal, perburuan Noordin sebagai dampak drama global ini juga tidak jauh berbeda, akan berlanjut kepada episode dengan bintang-bintang dan figuran baru yang akan menjadi ikon dalam proyek tersebut.

Noordin Berikutnya
Pada kasus bom Bali I, nama Noordin bukanlah pemeran utama. Tokoh yang muncul adalah Dr Azhari. la menjadi ikon baru dengan digambarkan sebagai pakar pembuat bom, pasca tewasnya Azhari dengan penggambaran yang tidakjauh beda juga disematkan kepada Noordin. Padahal hingga saat ini, polisi belum pernah membuktikan dan merekonstruksi keahlian mereka karena lebih suka mengeksekusi mati mereka.

Sapto Waluyo, alumni S. Rajaratnam School of International Studies, menyebutkan setelah Noordin tewas ditembak Densus 88, kini tampil tokoh lain yang belum begitu terkenal, antara lain Para Wijayanto. Tokoh ini sudah masuk daftar pencarian orang di Polri.

Sosok Wijayanto digambarkan media sebagai orang yang disegani Noordin. Dia merupakan senior Noordin saat pelatihan di Moro, Filipina. Wijayanto diduga kuat orang yang membujuk Noordin agar mau masuk ke Indonesia, dalam pelarian dari Malaysia.

Pengamat lain menyebut Syaifuddin Zuhri sebagai pelanjut Noordin karena la mampu merekrut calon 'pengantiri' (pelaku bom bunuh diri) dalam waktu singkat dari kalangan remaja yang lugu. Selain itu, masih ada tokoh sekelas Dulmatin dan Umar Patek yang bersembunyi di Filipina. Peran mereka mungkin akan segera tampil ke muka setelah Noordin tiada.

Mana di antara sejumlah figur misterius itu yang akan mewarisi bintang Noordin? Aparat kemungkinan bisa memunculkan siapa saja menurut selera mereka dan sesuai dengan genderang dari para pengamat intelejen, karena disinyalir masih ada ratusan kader yang memiliki kemampuan seperti halnya Noordin.

TargetSenyap
Sosok yang dijadikan ikon berbahaya harus selalu ada, sebagai alasan utama kerja melawan terorisme akan terus berlanjut dan ini by design untuk melanjutkan narasi perburuan teroris dengan segala kepentingan-kepentingan strategis lainya.

"Ini yang saya bilang, ada kepentingan strategis yang menjadi silent target, target senyap, dari operasi perang melawan terorisme," jelas Abu Ulya. Menurutnya, itu bias diamati dari berbagai indikasi, berbagai komentar, pendapat dan langkah-langkah pasca bom Marriott-Carlton dan media yang menjadi corong untuk mengolah dan menggiring opini publik pada satu stereotif terhadap Islam dengan segala simbolnya.

Belakangan dalam mencari solusi dari akar terorisme, terlihat ada pergeseran opini yang sudah tidak proporsional menyangkut ideologi terorisme dikaitkan dengan ideologi dari gerakan transnasionalisme, atau bahkan dibawa ke isu keutuhan NKRI sebagai parameter.

Menurut Ulya, ini akan bisa dijadikan sebagai pijakan generalisasi terhadap setiap kelompok lslam yang mengusung Islam sebagai kekuatan ideologi dan politik atau kelompok manapun yang dianggap membahayakan NKRI sekalipun masih berdasarkan asumsi dan perdebatan.

Jelaslah, lanjutnya, ada pihak yang menginginkan agar tragedi itu terus berlangsung, sehingga terorisme bak proyek keamanan yang berimplikasi pada pembesaran anggaran dan mobilisasi personal. Bahkan, saat ini telah muncul proposal untuk membentuk Badan Anti Terorisme Nasional yang akan menggantikan Desk Anti Terorisme di kantor Menko Polkam.

Usulan untuk merevisi UU Anti Terorisme serta membahas RUU Intelijen semakin kencang, meskipun RUU Rahasia Negara sudah ditarik kembali oleh pemerintah. Ini semua indikasi tentang Islam benar-benar sudah dianggap sebagai ancaman dan bahaya bagi Indonesia, padahal kalau mau jujur justru Indonesia sekarang merdeka lebih dari setengah abad tetap dalam kubangan problem sosial, ekonomi, politik dan hukum, keamanan karena ideologi yang diterapkannya.

Ideologi apa lagi kalau bukan ideologi transnasionalisme kapitalis-sekuler dengan demokrasinya yang diadopsi dan diagung-agungkan di negeri ini. "Bagi yang waras, melihat ini memang ironi..." pungkas Abu Ulya. [joko prasetyo]

MediaUmat, Edisi 21 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment